Cerpen Gus tf Sakai (Koran Tempo, 9 Maret 2014)
DARTO berontak, berusaha berteriak. Tetapi tenaganya bagai tak ada dan suaranya bagai tertahan di tenggorokan. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Saat jemari lentik itu semakin kuat mencekik, Darto tak lagi tahan. Tubuhnya seolah sudah hendak meledak ketika sesuatu, tiba-tiba, seperti mengguncang-guncang pundaknya. “Bangun, Darto! Bangun!”
Darto terlepas dari cekikan. Napasnya gelagapan.
Dibukanya mata. Wajah Tarno di hadapannya. “Kau mimpi, heh?”
Mimpi? Ah iya. Benar mimpi. Gangga Sri….
“Ayo bangun! Tak kaulihat ini semua!”
Darto menggerakkan tangan, mengusap-usap leher. Gangga Sri… cekikan itu benar-benar nyata. Sepasang mata merah. Embus napas dingin. Eh, dingin? Seiring dengan munculnya perasaan lega, kesadaran Darto mulai sempurna. Ia rasakan tangannya yang dingin. Dan seperti basah. Air?
“Sudah tinggi! Banjir!”
Kalimat Tarno terakhir, tak pelak, membuat Darto terduduk. Barulah ia benar-benar sadar akan semua. Dan pikiran normalnya segera bekerja. Darto ingat, sebelum tadi ia tertidur air sudah masuk setinggi mata kaki. Tetapi lihatlah kini. Air sudah menenggelamkan kaki-kaki dipan, dan tak sampai sejengkal lagi akan mencapai bantal butut tempat kepalanya barusan tergeletak. Tiba-tiba Darto juga sadar, tangan kirinya yang dingin dan basah, yang tadi ia gunakan mengusap-usap leher, pastilah sebelumnya terjulur masuk ke air. Sudah pukul berapa ini?
“Pukul tiga!” ujar Tarno, seperti tahu isi kepala Darto, bagai masih menghardik. Pukul tiga? Darto melayangkan pandang ke pintu yang masih terbuka. Di bawah cahaya samar pendar bohlam 15 watt, ia melihat ekor pik-ap Buk Madura juga masih tersorong ke depan pintu. Bibir air, yang sedikit beriak, hampir-hampir telah mencapai bibir bak mobil.
“Kau… tak berangkat?” Darto bersuara.
“Berangkat bagaimana! Emang pik-ap itu sampan!” ketus Tarno.
ADALAH biasa, bila pasang naik, rumah-rumah dan gubuk-gubuk di Muara Baru itu digenang air. Itulah sebab kenapa Darto juga berlaku biasa, tetap bisa tidur seperti malam-malam lainnya. Malam-malam lain yang dimaksud Darto tentu saja adalah malam saat ia memutuskan tak pulang dan memilih tidur di kamar Tarno.
Tentu saja tak tepat disebut kamar Tarno, karena sebenarnya kamar ini milik dan bagian dari rumah Buk Madura yang teletak di bagian samping, menempel ke rumah utama. Mereka berdua tak lebih cuma buruh yang bekerja pada Buk Madura lalu menumpang menginap di rumah juragannya. Dan karena pekerjaan Tarno adalah sopir yang bertugas menemani Buk Madura mengantar ikan ke berbagai pasar ikan yang berangkat malam dan pulang dinihari, Tarnolah yang selalu menginap. Itu sebab kenapa kamar ini disebut, tak hanya oleh Darto, tetapi juga oleh buruh-buruh pelabuhan lepas lain di sekitar, sebagai kamar Tarno.
Dan sebenarnya pula, gubuk Darto tak begitu jauh. Hanya sekitar dua kilometer arah ke barat, di seberang, di bantaran Waduk Pluit. Tetapi selalu, bila pekerjaan mengangkut ikan dari Tempat Pelelangan Ikan ke rumah Buk Madura selesai telah sangat malam lalu diniharinya langsung disambut oleh pekerjaan lain, Darto memilih untuk menginap. Lebih praktis, tak harus bolak-balik. Begitu pulang ia bisa langsung tidur sepanjang siang. Tetapi hari ini, dinihari nanti, ah, air begini tinggi. Dan hujan mulai pula kembali turun. Tetapi, ah, yang kemudian terpikir dan kini mengganggu Darto: mimpi itu. Gangga Sri. Bukan hanya karena cekikan yang seakan nyata. Tetapi karena, sebelum menjelma Ganga Sri makhluk halus penguasa waduk, sosok mengerikan itu hadir dalam wujud istrinya, Surti.
Ah, mimpi yang aneh. Tetapi Darto tak bisa berpikir lama. Ada suara gerutu dari rumah utama, lalu teriakan memanggil Tarno. Buk Madura. Janda lima puluhan tahun yang nama aslinya Fatimah dan oleh anak-anaknya dipanggil Bo Pat itu ternyata cuma memberi tahu, meneriakkan tanggul Latuharhari bobol. Gerakan Tarno yang bergegas, yang seperti melompat dari dipan dan menimbulkan riak dan kecipak, menyadarkan Darto bahwa barang apa pun yang ada di dipan sudah harus dipindahkan.
“Langsung ke atas saja,” kata Tarno saat kembali muncul di pintu. Ke atas yang dimaksud lelaki masih bujangan, walau sudah tiga puluhan tahun, seusia Darto, itu adalah ke rumah utama, ke tempat Buk Madura. Berbeda dari kamar Tarno yang terbuat dari papan, rumah utama adalah bangunan permanen dengan lantai lebih tinggi dan sebagian berlantai dua.
Pasang, hujan, dan tanggul yang bobol. Jadi, inikah yang menyebabkan air begini tinggi?
WALAU sudah menduga, ketika melangkah memanggul barang-barang yang bisa dipanggul dan sampai di pintu kamar, Darto tercengang. Jalan, atau tepatnya gang utama, di depan rumah Buk Madura telah menjelma jadi sungai. Malam, atau tepatnya dinihari, juga tak lagi seperti dinihari karena kesibukan rumah-rumah di kiri kanan gang tak ubahnya bagai siang. Pintu-pintu dan jendela semua terbuka. Dalam serapah gaduh, di bawah tirai hujan dan buram cahaya, orang-orang bolak-balik mengangkat ini-itu ke tempat lebih tinggi atau ke lantai dua.
Tak sampai satu jam, tinggi air mencapai satu meter. Sampah-sampah terangkat, mengapung, ikut mengalir. Udara sehari-hari yang amis ikan, kini, berganti bau lumpur dan selokan. Pikiran Darto berkelebat ke Surti, juga anaknya Cahyo, tetapi ia tak mungkin meninggalkan Tarno. Empat anak Buk Madura semua perempuan, hanya ia dan Tarno yang bisa mengangkat, memindahkan barang-barang berat. Lagi pula, sehari-hari, segala yang berkaitan dengan peti-peti, ember-ember, dan ikan-ikan, memang adalah tugas Darto dan Tarno.
Listrik tiba-tiba mati, tetapi hari telah mulai terang. Saat Darto selesai membuat sampan dari potongan-potongan papan dan kulkas bekas, tak seorang pun lagi yang bertahan di lantai satu. Dan ketika Darto naik ke sampan lalu mulai mendayung, gang itu benar-benar telah serupa sungai: tak hanya sampan Darto, tetapi banyak sampan atau rakit lain, dari berbagai bahan darurat lain, telah hilir-mudik kian ke mari. Beberapa rumah setelah rumah Buk Madura, seorang Buk Madura lain minta menumpang di sampan Darto. “Sampai ujung gang,” katanya. Memang, ada banyak Buk Madura di kawasan pelabuhan Muara Baru. Mereka adalah para perempuan juragan ikan. Mereka menyebut diri mereka pelele, tetapi orang-orang lebih senang menyebut mereka Buk Madura karena perempuan-perempuan juragan ikan itu semua berasal dari Madura.
Sampai di ujung gang, Buk Madura turun. Darto membantunya, menggapai naik ke teras lantai dua sebuah rumah. Hari semakin terang. Pagi telah menjelang. Saat Darto keluar dari gang dan masuk ke Jalan Muara Baru, sungai itu kini benar-benar nyata: tak hanya sampan-sampan atau rakit buatan, tetapi juga sampan-sampan sebenarnya. Juga perahu-perahu motor. Juga perahu karet. “Rumah pompa lumpuh! Pompa penyedot macet!” teriak orang-orang. Oh! Pantas! Setelah hujan, pasang, dan tanggul yang jebol, pompa-pompa di Waduk Pluit ternyata tak berfungsi. Tentu saja air cepat naik. Serta-merta tinggi. Telah berapa sentimeterkah ini?
Ah Surti. Ah Cahyo. Darto mendayung semakin gegas.
Hari itu Kamis, 17 Januari 2013.
KELUAR dari Jalan Muara Baru, masuk ke sebuah gang, muncul di Waduk Pluit, astaga, Darto tak ubahnya bertemu laut! Di hadapannya hanya hamparan air, air, dan air. Bila tak sangat tahu bahwa di situ adalah waduk, mungkin Darto telah merasa ia salah arah, tersesat mendayung ke utara, ke arah laut. Tetapi toh Darto tak mungkin pangling. Nun di sana, di seberang, di belakang gubuk-gubuk bantaran waduk, Darto bisa melihat Apartemen Laguna, Hotel Aston Pluit, dan Emporium Pluit Mall tegak menjulang.
Tak ada lagi daratan! Bila dilihat dari udara, waduk berluas 80 hektare yang kini tinggal 60 hektare karena gubuk-gubuk di bantaran itu, tentulah bagai menyatu dengan laut. Tak lagi turun hujan, tetapi Darto telah tak peduli pada apa pun, kecuali bergegas berdayung ke seberang, ke salah satu gubuk itu. Ada beberapa kawasan di pinggir barat waduk: Taman Burung, Gamas, dan Pohon Jati. Dan gubuk Darto terletak di kawasan Pohon Jati.
Ah Surti. Ah Cahyo.
Dua-tiga ratus meter lagi, tetapi Darto telah dengan jelas melihat pemandangan itu: gubuk-gubuk hampir tenggelam, orang-orang berdiri di atap. Dada Darto berdetak, dirinya mendadak cemas. Adakah Surti dan Cahyo bersama orang-orang di atap itu? Usia Cahyo empat tahun, Surti tak pandai berenang. Beberapa orang terlihat diturunkan ke perahu, mungkin diselamatkan ke tempat lain. Sebuah jet ski melintas di depan Darto. Dua orang di atasnya. Melihat meluncur dari mana, jet ski itu sepertinya berasal dari perumahan mewah Pantai Mutiara.
Sampai di dekat gubuknya, Darto tak melihat Surti dan Cahyo. Ia teriaki tetangga-tetangga di atap-atap gubuk, bertanya, tetapi tak seorang pun menjawab pasti. Ada yang bilang Surti dan Cahyo menyelamatkan diri ke Pluit Junction, tetapi ada yang mengatakan mereka mengungsi ke Lions Club. Ada yang bilang melihat Cahyo dan Surti menumpang rakit ke halte Transjakarta Pluit, tetapi ada yang mengatakan, subuh sekali, bersama beberapa tetangga lain, mereka berombongan ke lapangan futsal Cometa. Ah… Darto memanggil, berteriak, “Surrtiiii! Cahyooo!”
Tak ada jawaban. Darto ulangi beberapa kali. Tetap tak.
Darto mendayung di sela atap-atap gubuk. Memasuki gang, terus ke Jalan Pluit Timur Raya. Lokasi paling dekat, lapangan futsal Cometa, adalah tempat pertama. Lebih satu jam Darto mencari, berteriak-teriak di sana, “Surrtiiii! Cahyooo!”
Tak ada.
Lions Club. Juga tak ada.
Pluit Junction. Tetap tak.
Ketika di tempat terakhir, halte Transjakarta Pluit, Surti dan Cahyo tetap tak ada, Darto mulai panik. Tiba-tiba ia ingat mimpinya: Gangga Sri, sebelumnya berwujud Surti. Oalah! Apakah?
Bergegas, Darto kembali mendayung. Bukan ke tempat lain, tetapi kini kembali ke waduk. Di Jalan Pluit Utara Raya, seperti gila Darto berteriak. Bukan memanggil Surti dan Cahyo, tetapi kini, “Gangga Sriiii! Ganggaa Sriiiiii!(*)
Gus tf Sakai tinggal di Payakumbuh, Sumatera Barat.
Leave a Reply