Cerpen Thelma Wibikusuma (Koran Tempo, 16 Maret 2014)
IA masih naik beruang. Begitulah ia ketika pertama kali kulihat. Di sebuah foto. Di internet.
Ya, sampai kini aku tak dapat mengetahui apakah ia benar-benar naik beruang atau tidak. Waktu itu aku belum mengenalnya. Seperti diketahui, internet adalah sarang segalanya. Kebenaran, kebohongan, yang berguna dan yang tidak, semua campur baur jadi satu.
Seperti gado-gado.
Kubungkuskan untuknya, gado-gado dari warung Bu Har, yang letaknya di tepi jalan raya di mulut gang tempat tinggalku.
Aku dijemput sebuah Mercy, yang tampak seperti mobil sewaan atau milik pejabat yang dipinjamkan padanya. Bukan milik pengusaha.
Rusia terlalu jauh, terlalu berbeda iklim dengan negara kami untuk diajak berbisnis yang cepat menghasilkan uang.
Yang menjemputku pun orang kami sendiri, bersama dengan orang asing. Mungkin pengawal orang yang akan kutemui itu.
Maka kutanyai orang asing yang ternyata memang pengawal itu. Urusan beruang, katanya, tanyakan saja pada atasan saya. Ia tak berwenang menjawab.
Walah, kok sama saja dengan negara kami pada era 1980-an.
Sopirnya, orang Sidoarjo yang merantau ke Jakarta dua belas tahun yang lalu. Dia memberi jawaban menggantung saat kutanya siapa yang meminjamkan mobil ini pada orang-orang asing itu untuk kepentingan pribadi. Jelas ini bukan kepentingan negara.
Kemarin sore kulihat di telepon genggamku (yang bisa kupakai chatting dan browsing) ia berjabat tangan dengan presiden negaraku. Ia kelihatan bagaikan dewa. Tinggi kekar. Kulihat komentar seseorang di bawah berita itu: demikianlah seharusnya tampilan seorang pemimpin negara. Orang itu memberi tautan ke halaman Facebook-nya. Saat kuklik, ada nama lengkap, alamat, dan sebagainya. Ditulisnya juga ia akan ke negara lain, entah apa aku lupa, tiga hari lagi. Dipampangkannya foto tiketnya.
Jaga kesehatan Pak, jangan sampai keracunan seperti Munir….
Jadi, setelah melewati beberapa pemeriksaan, aku disuruh duduk di sebuah ruangan. Gado-gadonya kuberikan pada si sopir Mercy setelah aku melihat bangunan hotel tempat ia menginap. Bangunan yang mewah sekali. Aku jadi keder, takut dihina karena membawakan makanan murah. Juga aku baru sadar, perut mereka beda dengan perut kami. Seperkasa apa pun seseorang, kalau tidak biasa makan cabai, ia bisa berabe juga.
Jantungku seperti berlompatan di dada. Sekitar 15 menit aku menunggunya.
Aku ingat perkenalan kami. Di sebuah chat di website. Waktu itu aku 100% yakin ia berbohong saat memberikan identitasnya. Aku sendiri memberikan identitas palsu.
Sampai di mobil tadi pun aku masih setengah percaya setengah tidak. Sekarang pun aku masih belum sepenuhnya percaya.
Pintu terbuka. Bukan dia. Orang asing lain. Oh, pikirku, jadi pengawal pribadi pemimpin Rusia itu berpura-pura jadi dia untuk menarik perhatian lawan bicara?
Ternyata aku dipersilakan ke ruangan lain.
Pintu ke ruangan itu berpelitur mengkilap. Bukan berarti pintu-pintu lain yang kulewati di hotel ini tidak berpelitur mengkilap. Hanya saja debaran jantung terlalu cepat, terlalu panjang durasinya, membuat mataku memperhatikan detil-detil yang sebelumnya tidak kulihat.
Pria bermata biru yang tadi menjadi sasaran prasangka burukku membukakan pintunya.
Aku masuk. Ada orang-orang. Mereka memberi isyarat untuk belok ke kiri. Ada pintu berpelitur lain, yang dibukakan oleh seorang pria bermata biru lain, yang berpakaian resmi sama seperti yang tadi.
Oh debaran jantung dan indera yang tiba-tiba menajam….
Dan di sanalah ia duduk. Benar-benar dia. Atau orang yang mirip dengan dia. Kudengar beberapa diktator mempunyai ”kembaran“, orang-orang yang dioperasi plastik agar mirip dengan mereka, untuk ditaruh di acara-acara di mana mereka boleh jadi sasaran penembak jitu.
Jadi aku tak tahu yang kujumpai benar-benar si pemimpin Rusia atau bukan.
Sesaat kemudian, ia mengiyakan saat kutunjukkan foto ia mengendarai beruang. Namun bisa jadi ia membodohiku. Bisa jadi pula orang yang ada di hadapanku ini hanya orang yang dioperasi plastik agar mirip ia. Maka jawabannya tidak harus kupercaya.
PERTEMUAN itu terjadi lima belas tahun yang lalu. Sejak itu beberapa kali aku bertemu dengannya, juga dengan seorang pengusaha asal Singkawang yang meminjamkan Mercy untuk mengantar-jemput aku.
Aku keliru. Ternyata ada komoditi yang cepat mendatangkan uang bagi pengusaha yang bekerja sama dengan Rusia. Memang untuk apa pemimpin negara dingin membeku itu datang ke negara kami bila tidak ada itu?
Tapi aku, si pengusaha Singkawang itu, dan si pemimpin Rusia melakukan bisnis lain.
Gado-gado Bu Har memang tidak jadi dicicipi oleh pemimpin Rusia itu. Namun empat bulan kemudian, putri bungsu Bu Har kukirimkan sebagai contoh. Kubekali dia dengan jaket banyak-banyak.
Namaku tidak penting. Pengusaha Singkawang itu menggaetku untuk bekerja sama memenuhi pesanan. Murni kebetulan aku terseret dalam bisnis mereka. Bisnis apa? Kau tak akan percaya.
TEMPAT tinggalku sengaja tidak kupindahkan. Tetap di gang sempit, meski hartaku beranak pinak karena bisnis yang kugeluti. Namun pertemuan dengan rekan bisnis selalu kulakukan jauh dari sana.
Mobil mewah itu menjemputku berkali-kali.
Sebelum itu klienku hanya orang-orang dalam negeri. Orang-orang bergosip bahwa aku menjual diri.
Wah, bukan, aku bukan orang bodoh. Gadis-gadis yang kupekerjakan itulah yang menjual diri. Cerita-cerita yang beredar dari mulut ke mulut mengatakan bahwa gadis-gadisku kubuat kecanduan obat tertentu, dan mereka mendapat jatah dariku bila bekerja keras. Itu cerita bohong. Sekitar setengah jumlah mereka tidak pernah menyentuh obat. Mereka pintar. Salah satunya adalah putri bungsu Bu har, sang penjual gado-gado di mulut gang.
Namun dengan adanya bisnis baruku, aku jadi bertanya-tanya apakah anak buahku yang tak mau menyentuh obat-obatan karena takut kecanduan itu benar-benar pintar. Sudah kukatakan kau tak akan percaya bisnis apa yang kugeluti dengan pengusaha Singkawang dan pemimpin Rusia itu. Jelas bukan bisnis jual diri.
GADO-GADO Bu Har kehilangan rasanya sejak hari itu, hari yang seharusnya jadi hari kepulangan putri bungsunya. Tentu aku tidak bodoh. Semua anak buahku kusuruh mengabaikanku bila kami berpapasan di luar. Tak boleh ada yang tahu tentang bisnisku. Mereka pun tidak saling mengenal. Tak terkecuali putri Bu Har. Ia berkata ada tiket promo ke negara tetangga. Bukan ke Rusia.
Bu Har mengisahkan berulang-ulang pada siapa pun yang mau mendengar, ia tidak mengecek karena putrinya itu kos di Jakarta bagian lain. Agar dekat dengan tempat kerjanya.
Ya, ia bekerja kantoran. Dan ia bekerja padaku hanya sebagai sambilan.
Putri Bu Har tak pernah tahu tempat tinggalku. Aku tahu bahwa ia anak sang penjual gado-gado karena semua anak buahku kumintai fotokopi KTP. Selama ini kami tak pernah bertemu di luar urusan pekerjaan.
Aku menghibur Bu Har saat kebetulan membeli gado-gadonya pagi itu. Aku butuh makan lebih banyak serat, dan hanya ia yang menjual gado-gado di sekitar situ. Menyetir tak mungkin karena mobilku ada di bengkel. Berjalan lebih jauh aku malas.
Kukatakan padanya selama tak ada kabar yang menyatakan sebaliknya, anak bungsunya mungkin masih hidup. Penjual gado-gado itu memberiku ekstra kerupuk. Kukatakan padanya bahwa aku yakin jantung putrinya masih berdetak. Tapi mana mungkin aku tahu pasti, karena aku baru saja menerima kabar bahwa penerima donor jantung itu barusan meminta ginjal baru. Yah, tidak tepat disebut donor, bila diserahkan dengan tidak rela, bukan?
Basa-basi kukatakan pada penjual gado-gado yang tinggal sendirian itu agar jangan menelan obat penenang walaupun ia susah tidur memikirkan nasib anaknya. Di negara ini memberi nasihat tanpa diminta adalah tanda keramah-tamahan. Ia menjawab bahwa sejak muda ia tak pernah minum obat, bahkan obat sakit kepala pun tak pernah. Dan awal tahun ini ia ikut pemeriksaan darah kolektif yang memberi potongan harga, dan semua kadarnya normal. Kutanyakan golongan darahnya. Sama dengan putrinya, sama dengan orang yang jadi tuan rumah bagi jantung putrinya.
Aku pamit lalu menghubungi orang kepercayaanku setelah makan beberapa suap. Kuberikan alamat dan ciri-ciri Bu Har. Ia adalah pria perantau yang kuberi gado-gado yang tak jadi kuberikan kepada pemimpin Rusia itu.
Dari sopir rekan bisnisku, pria perantau itu sekarang jadi eksekutorku.
Kalau nanti Bu Har tidak berjualan lagi, aku yakin akan ada penjual gado-gado lain di tempat yang sama.
Dan gado-gado yang pernah hendak kuberikan kepada (mungkin) si penunggang beruang ternyata segera turun kasta jadi penghuni tempat sampah.
Thelma Wibikusuma
tinggal di Sidoarjo, Jawa Timur
Leave a Reply