Cerpen Ida Refliana (Jawa Pos, 15 Desember 2013)
YANG menanam luka di tubuhku adalah yang memetik kuldi di tubuh Ibu. Pada awalnya ia muncul sebagai lelaki santun di sebuah wilayah yang dipenuhi orang-orang suci. Betapa tidak, kesucian desa ini terlihat dari berdirinya rumah-rumah ibadah di beberapa tempat, rumah-rumah ibadah dari beragam agama dan sekte. Semua penduduknya begitu khusyuk menjalankan ritual keyakinan agama mereka. Islam, Kristen, Hindu, dan Budha, juga beberapa aliran keyakinan yang tidak pernah ditemukan dalam KTP masyarakat di sana. Namun keberagaman berharmonisasi.
Cerita ini dikisahkan ibuku pada suatu malam sebelum ia pergi meninggalkan jasadnya. Ibuku sangat cantik. Bermata embun dengan senyum serekah mawar. Pujian itu datang dari satu-satunya lelaki bernama Juna. Ibu dalam keadaan sakit berat saat itu, ia terlentang di atas ranjang di sebuah kamar tanpa pintu dan jendela. Satu-satunya tempat masuk di ruangan berukuran 6 x 4 meter itu sebuah kotak persegi di langit-langit kamar. Ada sebuah tangga kayu di bawahnya, setiap tiga jam sekali pintu kotak persegi itu terbuka sedikit, dan cahaya dari kamar melesat seperti bilah pedang menusuk sepasang mata yang sangat kubenci. Setiap pagi dan sore ia turun membawa serantang nasi. Dia letakkan makanan di meja dengan sikap yang dingin. Tergesa-gesa kemudian ia menaiki tangga, begitu tubuh besarnya menghilang papan penutup kotak persegi terlepas blam!
Aku tidak mengerti pada semua yang dibilang Ibu tentang kekasihnya. Lelaki itu selalu menunggunya di mulut jalan Desa. Berpenampilan layaknya seorang opsir polisi. Ia hanya tersenyum santai sambil bersandar di batang pohon belimbing wuluh. Sebelah kakinya menekuk 25 derajat membuat kemiringan letak sarung pistol di pinggangnya. Gadis-gadis yang mengiringi perjalanan ibuku kontan berlarian setelah menyaksikannya. Tidak hanya para gadis-gadis yang ketakutan menghadapi orang-orang bergaya seperti itu. Tapi, semua yang bermukim di wilayah ini menganggap militer adalah sekelompok orang-orang sinis. Orang-orang yang tidak bersahabat. Barangkali itu jua yang membuat kehidupan masyarakat di sana begitu tenang seperti suasana di pemakaman. Kau baru akan mendengar suara-suara yang berbeda jika ada sebuah kematian. Suara orang-orang yang bersedih, yang terluka, namun hanya bisa melampiaskan kekecewaan dengan mengubur perih sedalam-dalamnya di dasar hati.
Begitu pula yang dilakukan para pemuda desa yang kalah bertarung memerebutkan ibuku. Lelaki itu tampil persis sebuah lakon di panggung opera, mengacungkan pelatuk pistolnya ke kening si calon mertua.
‘’Tak ada yang boleh menikahi putrimu kecuali aku!’’ tantang Lelaki itu.
Aku tidak bisa membayangkan bagaimana pucatnya wajah kakek dan nenekku di saat tersebut. Berduyun-duyun orang membanjiri halaman rumah kakek. Dan, seorang Guru Desa yang menjadi tunangan ibuku hanya bisa bersembunyi di antara penonton. Menikmati kekalahannya dengan wajah dungu.
‘’Kauhitung semua kerugian si Karim atas anakku, lalu siapkan seluruh belanja bagi pesta adat selama tiga hari itulah syarat-syarat menikahi anakku!’’
***
Setiap luka tidaklah muncul dengan tiba-tiba. Luka-luka punya sejarah lahir. Dan, setiap kelahiran luka berasal dari benih bernama cinta. Namun cinta bagaimanakah yang tumbuh di hati lelaki itu? Cinta durjanakah? Cinta suci?
‘’Kamu bukan anak yang lahir di luar nikah,’’ terang ibuku dengan terbata. Lalu kami menangis sambil berpelukan.
Aku tidak tahu apakah aku mengerti saat itu. Apa yang ditangisi Ibu sungguh tidak paham. Lelaki itu pernah bilang kalau ia menjadikan ibuku permaisuri di rumah kami. Dia selalu menyanjung kecantikan ibuku. Tapi, di rumah kami yang baru, di sebuah wilayah yang berbeda, kami menemukan ia telah berujud lain. Meja makan di rumah kami bertahun-tahun sunyi. Lelaki itu selalu datang tengah malam dalam keadaan mabuk. Di kesempatan lain, ia menyuruh siapa saja untuk datang ke rumah menyampaikan bahwa Ibu adalah satu-satunya orang yang bisa memadamkan api di tubuhnya. Kau tahu apa yang sudah dilakukan lelaki itu? Ia baru saja menyarangkan peluru di perut lelaki pemilik bar. Tapi pria itu tidak mati.
‘’Ayahmu punya luka di tubuhnya…’’ desah ibuku setiapkali ia pulang setelah menengok suaminya di rumah tahanan.
Aku tetap tidak mengerti yang diucapkan ibuku. Ia masih mencintainya. Padahal selama lelaki itu tidak berada di rumah, udara terasa lebih dingin. Kucing-kucing di dapur kadang ikut menggigil. Selain karena lapar, mereka jarang menemukan sisa-sisa makanan. Kulihat Ibu lebih banyak menghabiskan waktu menatapi kalender. Membuat tanda lingkaran merah di tanggal tepat saat ayahku masuk sel tahanan.
***
Mulanya kusepelekan saja dugaan ini. Mungkin karena aku masih terlalu kecil untuk bisa berpikir salah. Ayahku tiba-tiba berujud seekor anjing, lagipula aku sudah terlanjur menganggapnya sebagai lelaki yang hebat. Dia sebetulnya sangat penyayang, terutama di saat Ibu sedang sakit, ia bisa membuat makanan apa saja, lalu memasaknya dengan rasa yang lumayan lezat.
Meski aku sering tidak paham bahasa lisannya, tapi kami sering berjam-jam menghabiskan waktu mengobrol berdua. Kami seperti dua orang teman bermain.
Saat itu umurku delapan tahun. Ia menyambut aku pulang bermain. Kulihat di tangannya tergenggam sepotong belahan bambu. Aku langsung teringat kalau sebelumnya ia memberiku uang untuk membeli paku, katanya ingin memerbaiki kandang ayam. Menyaksikan matanya yang merah aku mendadak sadar kalau saat itu hari sudah beranjak malam. Mungkin ini malam ke14 di mana bulan akan melahirkan purnama.
Kejadian itu begitu cepat bahkan aku tidak menyadari kalau seluruh kaki dan kedua lenganku akhirnya dipenuhi gurat luka. Di tempat tidur aku menangis pelan-pelan sampai keesokan harinya. Ah, seberapa besar luka-luka di kulit tubuhku, nyatanya luka yang lain terus terbawa hingga aku bertemu gadis itu…
***
Tidak ada waktu untuk menjadi lemah, dan tidak ada waktu untuk tenggelam hanya karena orang lain mengecilkan*). Itulah yang membakar semangatku untuk bertahan meneruskan hidup. Kau tentu mengira bahwa aku lelaki cengeng. Sebab, begitulah laki-laki yang menghabiskan waktu dengan buku dan menumpahkan rasa sedihnya ke dalam larik sajak dan cerita-cerita pendek. Mereka tak punya masa depan!
Tapi aku telah memilih masa depan itu. Berhari-hari aku menjadi penghuni kamar. Menuliskan apa saja yang ingin kuselesaikan. Berpuluh-puluh cerpen sudah kutulis, mengirimkannya ke media mana saja, namun tidak satu pun namaku muncul sebagai penulis cerpen. Sementara ayahku tidak mengerti dunia ini. Ia semakin sinis melihat sikapku. Pria itu sudah bertambah tua, sejak ia pensiun tak ada pekerjaan lain yang mampu membngkitkan semangat hidupnya. Sementara aku dianggapnya anak lelaki tidak berguna. Kadang berhari-hari kubiarkan ia sendirian menikmati ceracaunya. Dinding-dinding rumah kami, jendela, pintu, seakan bergetar begitu aku pulang, seperti bibir ibuku yang menahan sedih tidak terkira.
‘’Apa yang kaucari dalam duniamu? Seujung kuku aku tidak akan percaya kau akan berhasil. Kamu tidak punya mental. Kamu penakut!’’
Seluruh ide di kepalaku pecah dilangut perasaan yang entah. Kenapa kata-kata itu tak pernah bisa kulupakan. Terus mengiang-ngiang di telinga seperti pusaran air yang menembus jantung. Barangkali Ayah memang benar dengan ucapannya. Aku memang bukan siapa-siapa selain lelaki yang hanya sibuk memikirkan duniaku sendiri. Aku tidak punya teman. Tidak punya tempat berbagi cerita kalau aku terluka. Aku terlalu takut pada semua orang yang memiliki sepasang mata setajam pisau. Aku…
‘’Kamu unik! Aku suka padamu karena kau pandai menulis…’’ puji wanita yang diam-diam sudah memikat hatiku.
Nama gadis itu Bening. Nama yang sesuai dengan pesona yang kulihat pada dirinya. Ia cantik dengan warna kulit yang putih dan bersih, tapi bukan itu yang membuatku bertekad ingin memilikinya. Aku merasa hidup berada di dekatnya.
***
Aku mencintaimu dengan cinta, hanya dengan cinta.
Terlalu nekat keputusanku mengajak Bening menikah dalam kondisi tak punya apa-apa, hanya punya ribuan ide-ide menulis di kepala. Kekayaanku hanya pada buku-buku yang tersusun di lemari kamarku. Toh, cinta yang memberikan keyakinan terhadap keputusan kami berdua. Cinta memang sering mengalahkan logika.
Ayah hanya menangis saat kubilang ingin menikah.
***
Tiba-tiba lidahku kehilangan rasa tidak lama setelah pintu rumah kami melepas kepergian perempuan bermata kabut. Ia tak kuat menatapku setiap waktu dengan rupa yang aneh. Katanya aku seperti anjing. Setiap tengah malam ia tak bisa tidur karena aku terus menggonggong. Kupikir istriku telah salah mengerti. Apa yang salah dari seorang yang mencintai lalu kemudian ia cemburu?
‘’Kamu punya luka di tubuhmu,’’ bisik ayahku sambil menepuk-nepuk bahuku.
Aku terkejut mendengar ia mengucapkan itu. Ibu pernah bilang begitu tentang Ayah.
‘’Kita bisa mencintai dengan hebat tapi kita juga akan melukai dengan hebat!’’
‘’Bukan aku, tapi Ayah!’’
‘’Kau baru saja melakukannya.’’
‘’Perempuan itu yang meninggalkan aku.’’
‘’Ya. Sama seperti yang dilakukan ibuku, saat aku kecil dulu sudah berapa kali ia berganti suami. Aku sampai lupa menghitungnya,’’ sahut Ayah dengan suara bergetar.
Kulihat wajah Ayah sudah persis menyerupai anjing. Kalau tadinya aku hanya memerhatikan bulu-bulu di kulit mukanya yang sedikit demi sedikit bertambah, juga lidahnya yang sering melelet-lelet, kini bulu-bulu itu tumbuh lebat dan diikuti mulutnya yang tiba-tiba membesar. Lidahnya menjulur-julur hingga melewati dagu.
Aku bergidik. Ayah ingin memelukku, bola matanya yang hitam kelopaknya berkedip-kedip. Lalu mengalirkan anak sungai ke hulu pipi.
‘’Kau bisa belajar dari kesalahanku, seharusnya begitu. Kamu belum terlambat untuk memerbaiki keadaan dirimu. Perempuan hanya perlu diperhatikan dengan lemah lembut, itu saja.’’
Tubuh ayahku menyusut dalam sekedipan mata. Tangan dan kakinya mengecil, lalu sebelah kuku-kuku tangannya menggaruk-garuk lantai. Wajah Ayah memelas dengan tatapan penuh memohon. Tubuh yang telah menjadi seekor anjing itu bergoyang-goyang. Kupikir ia memberi isyarat agar aku melepaskan seluruh pakaiannya.
‘’Terimakasih. Aku lebih nyaman seperti ini,’’ kilahnya.
Dadaku dipenuhi rasa aneh yang menggumpal hingga setiap embusan napasku terdengar asing. Aku masih tidak percaya dengan penglihatanku bahwa Ayah benar-benar telah berubah ujud. Kali ini aku yang berhasrat ingin memeluk laki-laki itu. Tiba-tiba aku merasa telah begitu banyak melukai hatinya. Aku ingin minta maaf. Aku ingin dia tahu kalau aku mencintainya.
‘’Ayah?’’
Praaang! Jendela di dekat kursi tempat Ayah biasa duduk membaca koran, kaca-kacanya berhamburan. Ada sisa-sisa lelehan darah di ujung-ujung pecahan kaca. Oh, Ayah sudah pergi. Ia membawa luka di tubuhnya.
Di luar jendela kulihat cahaya bulan seakan hendak menelan seluruh bumi. Aku menggigil. Rahangku mengeras dan gigiku bergeretak. Lalu aku menggonggong panjang.
Keterangan: *) pesan kata bijak Nurhayati Pujiastuti di Kelas Penulis Tangguh
Leave a Reply