Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 19 Januari 2014)
Setelah Pembunuhan Kedua.
SEHARUSNYA musim dingin segera berakhir sebulan lalu, selepas tahun baru. Namun, angin utara yang dingin datang tanpa diduga, menyandera semua orang di desa kecil ini dalam dingin yang membekukan tulang. Udara beku membungkus setiap rumah. Edgar berpikir, doa akan menyelesaikan kesedihannya.
Harapannya serapuh dan setipis lapisan es yang menyaluti pagar dan tepian atap. Kecuali orang-orang berani mengarungi laut dalam dinginnya air dan udara, maka sesungguhnya tak ada yang perlu dicemaskan lagi. Orang-orang di sini tak punya sepetak kebun untuk ditanami. Itu bukan pilihan di desa yang sebagian besar areanya berbatu karang. Di sini, orang-orang hanya perlu menjadi nelayan yang baik.
Udara beku telah memporak-porandakan harapan dan keinginan orang-orang di sini, mengubah kehangatan serupa kepungan ketakutan. Itu jelas membuat kondisi desa dan mental orang-orang di dalamnya kian memburuk.
Ada dua nisan tegak di atas bukit pasir di ujung desa, menghadap laut. Tak ada nama tertera pada dua nisan itu. Edgar berdiri di depannya. Dalam keheningan di kepalanya, doanya terbang bersama gemerincing suara lonceng-lonceng angin yang digantungkan anak-anak di dahan pohon willow pantai. Udara beku telah meredam setiap aroma kayu balsa yang disemburkan dari setiap cerobong asap rumah-rumah di sini.
Sebelum Pembunuhan Pertama.
Masih dalam musim dingin yang berat, dua bulan lalu, di ruang tengah rumah kecil yang tak jauh dari jalan setapak menuju pantai, Allan duduk memeluk lutut menghadap perapian bersama tiga anggota keluarganya. Sesekali tangan mereka lurus ke perapian untuk meraba kehangatan.
“Kayu hampir habis. Minyak untuk menerangi rumah juga tinggal sedikit. Hmm… hantu-hantu laut itu kian merapatkan kepungan. Mereka ingin kita segera menyerah,” keluh perempuan di ujung perapian. Itu Clara, istri Allan. Ia telah mengira hantu-hantu laut adalah penyebab semua kemalangan ini. “Mereka datang menggandeng kematian,” sambungnya.
Mendengar Clara bicara begitu, Allan tiba-tiba berdiri. “Edgar, ikutlah denganku.”
Edgar bergegas bangkit mengikuti ayahnya. Mata kecil Ilyana berbinar memandangi punggung ayahnya dan kakaknya itu. Dua lelaki itu menuju ruang dekat dapur dan cekatan mempersiapkan peralatan melaut. Ilyana menyukai sop sirip hiu masakan ibunya. Gadis kecil itu menyukai setiap irisan lobak yang berenang-renang di dalam mangkuk sopnya. Usianya 12 tahun, terpaut lebih muda enam tahun dari Edgar.
Menahan terpaan angin, Edgar berjalan condong di sisi ayahnya menuju perahu yang ditambat di bibir pantai, di mulut teluk yang serupa bejana itu. Saat mempersiapkan perahu, mata Allan tiba-tiba terpaku pada benda gelap yang mengapung tak jauh dari mulut teluk. Lalu terdengar pekikan putranya. “Itu ikan paus!”
Ikan besar itu berenang lamban di mulut teluk. “Kau tahu Edgar,” ujar Allan. “Daging terbaik adalah daging ikan paus yang diasapi. Minyak dari lemaknya juga sangat baik.”
Edgar mengangguk. Pilihlah. Membiarkan ikan paus itu pergi atau dagingnya akan membantu semua orang di desanya melewati musim yang buruk ini.
Segera setelah melarung perahu, mereka berdua mendekati ikan paus itu dan berusaha keras menghalaunya masuk lebih dalam ke mulut teluk. Mereka ingin menjebak ikan itu di sana. Udara dingin yang menyelimuti pesisir seketika burai oleh suara gaduh keduanya.
Suara mereka membuat orang-orang desa berdatangan, memenuhi bibir pantai dengan mata berbinar. Semangat mereka tiba-tiba penuh saat melihat ikan besar yang berenang gugup di depan perahu Allan.
“Kita bantu dia!” Seseorang berseru dan bergegaslah nelayan lainnya ikut melarung perahu. Membentuk lingkaran dengan kepungan yang rapat dan kegaduhan kian memecahkan kesuraman di mulut teluk itu. Lunas bawah perahu membelah air, bersama kecipak dayung yang dikayuh kuat-kuat.
Allan menghunus belatinya. Ia sedikit ragu. Ikan raksasa itu berenang menjauh dari perahu Allan, namun tindakan justru membuatnya kian masuk ke mulut teluk. Ikan itu kini terjebak. Allan melompat seraya mengujamkan belati. Darah segera mengubah air laut yang dingin berwarna merah saat belati ia tikamkan tiga kali ke tengkorak kepala ikan besar itu.
Itu kematian yang canggung.
Para nelayan segera melemparkan kait bertali. Perahu dikayuh cepat melampaui tubuh ikan, langsung menuju pantai. Di sana sudah menunggu puluhan orang lain yang bersiap menyambut tali, beramai-ramai menarik ikan itu ke pasir pantai.
Orang-orang yang tergesa-gesa.
Tergesa-gesa mengakhiri riwayat ikan itu. Tergesa-gesa mengiris-iris tubuhnya. Tergesa-gesa pula mereka mengambil bagian masing-masing.
Allan nyaris tak mendapatkan apapun, jika saja ia tak segera melabuhkan perahunya. Ia memenuhi keranjang kecilnya dengan daging ikan. Mengambil kulit ikan untuk ia gunakan melapisi jendela. Edgar mengumpulkan belulang ikan untuk dibuat arang. Dua ruas belulang kecil ia simpan sendiri.
Akan ada kemeriahan kecil di setiap rumah malam ini. Irisan lobak akan berenang di mangkuk sop Ilyana. Kemeriahan kecil setelah kematian yang canggung siang tadi.
Sebelum Pembunuhan Kedua.
Cuaca dingin masih berlanjut. Kelaparan kini kembali mengintai seisi desa. Daging asap dari ikan paus nyaris habis. Selepas pembunuhan pertama, orang-orang desa lebih sering memancing harapan, berdiri di bibir pantai dan memandang ke mulut teluk seraya berharap ikan-ikan besar datang lagi. Orang-orang ini mengharapkan pembunuhan berikutnya.
Kail harapan mereka terpaut akhirnya. Di suatu pagi, saat lapisan es memenuhi sela kayu, suara teriakan seseorang terdengar dari pantai. Teriakan yang meminta agar orang-orang segera datang dan melihat apa yang ia lihat. Di antara kerumunan ada Allan dan Edgar.
Ada ikan paus yang terjebak semalam. Ikan itu berenang gelisah di sisi palung teluk. Tapi, orang-orang terlanjur mengira bahwa harapan merekalah yang telah membuat ikan itu datang. Aroma pembunuhan bercampur dengan udara dingin.
“Ikan ini tiga kali lebih besar dari ikan yang tertangkap sebelumnya,” ujar Edgar pada ayahnya. Orang-orang tampak bergegas, mempersiapkan perahu dan senjata tajam. Maka seperti pembunuhan sebelumnya, ikan paus itu juga mati dengan cara yang canggung. Tak ada perlawanan. Ia terima orang-orang yang merebahkan kematian ke atas tubuhnya.
Tetapi, pembunuhan kali ini berbeda. “Kita sudah selesai di sini,” pelan Allan mengelus punggung Edgar, mengajaknya pergi. Apa yang mereka lihat itu sungguh memuakkan. Wajah dan tangan orang-orang dilumuri darah. Air laut mengantar darah ke tepian pantai.
“Malam ini dan malam-malam berikutnya, di rumah kita hanya akan ada sop lobak dan sedikit irisan daging asap dari ikan paus pertama,” begitu tenang Allan mengingatkan putranya.
Orang-orang desa menuntaskan pembunuhan kedua ini dengan cara yang paling masuk akal. Dalam cuaca dingin seperti ini, dalam intaian kelaparan, mereka kerat setiap daging dan lemak dari belulang ikan paus. Mereka tergesa-gesa. Ikan malang itu belum benar-benar mati saat orang-orang mulai mengambil setiap bagian daging dari tubuhnya.
Barangkali ini terlihat sekadar urusan bertahan hidup. Siapapun berhak melewati musim dingin yang buruk ini dengan tetap hidup. Tetapi untuk urusan semacam itu, orang-orang desa tak harus melepaskan kemanusiaannya.
Edgar kembali ke pantai saat tempat itu telah sepi. Ia berjongkok di sisi belulang ikan yang terserak. Memanggul beberapa belulang besar untuk ibunya dan menyelipkan dua ruas belulang kecil lagi ke dalam sakunya.
Setelah Pembunuhan Kedua.
Semua orang desa kecil ini masih harus bersabar melihat bebungaan willow mekar di awal musim semi. Waktu yang terulur ini akan segera membangkitkan kecemasan, seperti kecemasan yang sudah mereka rasakan sebelum dua pembunuhan terakhir.
Seperti tiga pagi berturutan dalam sepekan Edgar selalu terlihat menyusuri jalan setepak menuju bukit pasir, maka pagi ini pun Edgar berjalan perlahan menuju ke arah sana. Kepalanya bertudung dan dua telapak tangannya tenggelam dalam saku. Pada kantong kain yang terselempang di tubuhnya, menyembul selembar batu pipih.
Di atas bukit pasir, Edgar memutar tubuhnya, memandang ke teluk yang terlihat indah dari atas sini. Matanya menjelajahi setiap rumah, perahu-perahu yang diam, dan pohon willow pantai yang rajin mengirimkan dentingan lelonceng angin yang digantung di dahan-dahannya.
Ia sudah menyadari bahwa bencana yang menyebabkan kecemasan di desanya bukan tentang udara dingin yang berembus dari utara, tetapi tentang sesuatu yang datang dari lubuk hati setiap orang di desanya.
Lelaki muda itu mengeluarkan isi kantong kainnya dan menegakkan nisan kedua di sisi nisan pertama. Kedua nisan itu menghadap ke laut. Kosong, tak bernama. Ia keluarkan bunga kering dari sakunya dan ditancapkannya ke atas pasir, berdekatan dengan nisan kedua. Ia lalu senyap sejenak, mengembarakan doa untuk makhluk Tuhan yang telah menerima kematian dengan canggung. Setiap ruas belulang yang ia simpan, telah ia kuburkan berdampingan.
Edgar masih tegak dalam diam, saat tangan Allan singgah ke bahunya. Ayahnya sudah ada di dekatnya, entah sejak kapan. “Selamat pagi, Ayah.” Sapa Edgar tanpa menoleh.
Allan membalas salam putranya. “Mereka berterima kasih padamu,” katanya lagi.
Edgar menoleh, mendapati wajah ayahnya yang tenang. Lelaki muda itu tertunduk. Tak ada yang lebih menyakitkan daripada memakamkan empati yang dipaksa mati. “Kelak kau akan tahu…” Allan merangkul bahu putranya, “saat orang-orang tak lagi memedulikan cara, maka mereka telah usai melakukan kekeliruan yang ingin dipahami.” (*)
Molenvliet, April 2013
Leave a Reply