Cerpen Ilham Q. Moehiddin (Jawa Pos, 27 Oktober 2013)
/1/
SEORANG bapak yang menyukai kias dan seorang puteri yang tenggelam dalam ceritera. Itulah yang terpikir olehku saat Margareth mengakhiri gerutuannya. Ia menatap tepat ke mataku, “tidakkah itu cukup bisa membuatmu merinding?”
Setelah bertanya, si kerempeng Margareth yang kerap menggenakan piyama berwarna merah itu memejamkan mata. Lehernya tampak pendek saat ia menaikkan kedua bahunya. Kepalanya, ia kibaskan dengan cepat seperti berusaha mendramatisir kengeriannya agar ikut membuatku takut.
Pertanyaan ringkasnya itu aku jawab dengan anggukkan kecil saja. Ya, aku setuju. Margareth tersenyum tipis, sangat tipis sehingga aku nyaris tidak melihatnya. Lalu ia geser pantatnya dengan susah payah, menjauhkan tubuh kerempengnya dari meja makan sekaligus ia serahkan punggungnya ke sandaran kursi. Ia hela napas dalam-dalam hingga perutnya terlihat membuncit. Udara yang ia tampung itu perlahan dilepaskannya ke arah wajahku. Matanya berputar menjelajahi langit-langit ruangan.
Malam ini, Margareth makan sendirian lagi seperti malam-malam sebelumnya. Selalu saja ia akhiri acara memasak di dapurnya yang rapi berkeramik itu dengan duduk sendirian di meja makan. Ia begitu tenang menyantap semua makanan yang telah ia masak sendiri itu. Kesendirian yang sudah ia jalani selama setahun. Aku hadir di sini sekadar menemaninya saja. Tidak ada niatku untuk ikut makan bersama Margareth —bahkan sekadar mencicipi setiap masakannya. Pernah sekali aku melakukannya dan aku harus menyesali tindakanku itu. Apapun yang terhidang di meja makan Margareth terasa hambar. Benar-benar hambar.
Walau Margareth kerap makan malam sendirian, selalu saja meja makan ini berantakan. Kuah sayur menggenang di antara mangkuk sayur dan piring makannya. Serpihan kentang tumbuk berjatuhan dari sendok. Remah renyah dari beberapa potong daging babi goreng ikut berceceran di sekitar piringnya. Serbet bahkan masih terselip di antara kerah bajunya.
“Bapakku orang luar biasa.” Margareth mulai bicara lagi. Bukan. Ia tidak sekadar bicara, tapi memulai sebuah ceritera. “Setiap orang di negeri ini memujanya, sebagaimana caraku memujanya. Tapi entah kenapa hal itu harus membuatku takut?”
Aku tegakkan tangan kanan dan menumpukan kepalaku di atasnya. Sebenarnya, aku tadi menyangka telah usai menelan semua kata-katanya dan hendak bangkit merapikan meja makan ini jika saja ia tidak buka mulut lagi. Urusan Margareth denganku belum selesai rupanya. Dari matanya yang berputar-putar aneh itu, aku memastikan bahwa ceriteranya akan berlanjut.
“Takut? Apa yang Anda takutkan?” Tanyaku.
“Di usia tua Bapak, bahkan hingga kematiannya datang, ratusan juta orang di negeri ini masih terkenang pada sosok dan setiap ucapannya.”
Aku turunkan alis mataku. Tapi, Margareth belum menjawab pertanyaanku. “Oh, maaf. Tolong ulangi pertanyaanmu tadi,” pintanya.
/2/
“Aku takut pada hantu-hantu kecil.” Si kerempeng Margareth memulai semua yang terjadi hari ini dalam satu kalimat pendek. Sebuah kalimat pendek yang membuat wajahnya jeri karena ngeri dan rambut di kuduknya merinding. Ekspresinya serta-merta ikut membuatku bergidik—tentu saja bukan karena kalimat pendeknya, tetapi karena wajahnya.
Ia tidak pernah tahu kekeliruan apa yang telah ia lakukan, katanya. Namun, hantu-hantu kecil di sekelilingnya seperti tidak sudi memberinya peluang. Hantu-hantu kecil yang pemurung. Hantu-hantu kecil yang selalu mengangguk atau sekadar bilang bahwa mereka menyetujui setiap keputusannya.
Aku tersenyum tipis. Sama tipisnya dengan senyumannya tadi. Barangkali saja hantu-hantu kecil itu sedang mencoba akrab dengannya. “Kenapa? Di bagian mana dari ucapanku yang lucu hingga kau harus tersenyum?” Margareth menegakkan kepalanya. “Heh…mungkin saja kau pikir ini hanya sebuah lelucon?”
Aku buru-buru menggeleng dan minta maaf. Seharusnya, aku hanya perlu duduk dan mendengarkan setiap perkataan Margareth tanpa perlu berkomentar apapun sebelum ceriteranya benar-benar usai.
Aku seharusnya takut, kata Margareth seraya menunjuk mukaku. Lalu ia kembalikan kepalanya ke sandaran kursi. “Ya. Saat aku selesai denganmu, percayalah, kau akan ketakutan dan segera mencari tempat untuk bersembunyi. Sebaiknya, mulailah mencemaskan hal-hal yang sebelumnya tidak pernah membuatmu takut.”
/3/
Perempuan kerempeng di depanku ini menyukai piyama berwarna merah, selain bahwa ia juga sangat suka memuja diri sendiri. Ia anggap dirinya singa podium, sebagaimana yang ia ingat tentang sosok bapaknya. Ingatan yang menghantuinya sejak puluhan tahun silam.
Hantu-hantu kecil dari masa lalunya itu, membuat setiap perkataannya seperti api yang menyala. Sinis dan meletup-letupkan kesangsian. Ia nyatakan ketidak percayaan pada sistim yang justru sangat ia kenali dan selama ini membesarkan namanya. Di saat ia siap menyanjung segala hal baik tentang bapaknya, adalah juga saat yang tepat bagi hantu-hantu kecil di sekelilingnya mulai menari-nari.
Hantu-hantu kecil yang menyebabkan Margareth begitu mudah meremehkan siapa saja. Margareth pernah memecat dan mencibir pada dua orang mantan pembantunya, yang kemudian justru mendadak lebih populer di banding dirinya sendiri. Dua orang mantan pembantunya itu secara gilang-gemilang menjadi memimpin di negeri ini. Tentu saja ia tidak pernah menduga hal semacam itu bakal terjadi. Bagi Margareth, urusan memecat dan mencibir itu adalah sebuah tindakan heroik dan hal yang paling patut untuk semua lawan politiknya. Setiap kali itu ia lakukan, hantu-hantu kecil yang kerap memeluk kakinya segera tertawa keras dan berlarian liar.
Kecuali hantu-hantu kecil yang membebani kakinya itu, Margareth juga mencemaskan hantu-hantu kecil yang berkerumun di bagian belakang tempurung kepalanya. Hantu-hantu kecil yang suka merengek. Seperti bocah yang menginginkan permen, mereka akan tertawa-tawa saat pena di tangan Margareth mulai menari-nari. Banyak hal lain yang kerap mereka perbuat di dalam sana. Hantu-hantu kecil itu bahkan tidak peduli pada Margareth dan kecemasannya. Akankah ia dilupakan kelak? Adakah ia kelak mendapati dirinya terbelenggu rencana-rencana yang akan membunuhnya? Mati kesepian dalam kamar sempit, tanpa pendingin, pada temaram yang membosankan, dengan sekujur tubuh dipenuhi jarum akupuntur dan telinga yang dipaksa mendengar semua diaknosa dalam bahasa yang tidak ia pahami.
Tetapi, itu bukanlah kecemasan terbesarnya. Ia takut pada sesosok hantu kecil yang telah sekian lama bersarang dalam kenangannya. Hantu kecil yang suka mendekorasi ulang setiap hal-hal indah dalam kenangan Margareth menjadi ingatan atau mimpi terburuk yang datang setiap saat, dalam tidurnya —bahkan saat seluruh panca-inderanya terjaga dan metabolismenya sedang bekerja. Mimpi terburuk tentang dirinya sendiri: seorang anak perempuan bapaknya. Anak perempuan yang mewarisi semua keunggulan lelaki yang ia puja itu.
Akankah ia seperti bapaknya yang diinginkan semua orang di negeri ini? Sesungguhnya aku melihat besarnya keinginan itu dari mata Margareth. Betapa Margareth sungguh-sungguh menginginkannya. Ia ingin sekali menjadi seperti bapaknya.
/4/
Tetapi Margareth hanyalah anak perempuan bapaknya. Ia bukan bapaknya dan tak akan pernah menjadi bapaknya sekeras apapun ia mencoba. Ia tidak menyadari seserius apa keinginannya itu. Sesungguhnya ia luput menyadari, bahwa bapaknya hari ini telah berubah menjadi desain di layar komputer milik perusahaan percetakan yang selalu siap mencetak vinyl berukuran raksasa sesuai besarnya ongkos cetak yang ia bayarkan.
Bahkan Margareth luput menerka keinginan hantu-hantu kecil di sekelilingnya: menjadikannya pelengkap dari desain yang berhias gambar setengah badan bapaknya. Ia tak ubahnya asesoris yang mempercantik podium, di hadapan ribuan kepalsuan yang duduk di kursi paling depan. Namun, Margareth justru mencemaskan kepantasannya menjadi bagian dalam sejarah sebagai anak perempuan bapaknya. Seperti bapaknya yang dipenuhi sejarah itu, di suatu era yang sudah bergegas pergi. Sayang sekali. Ia memang anak perempuan bapaknya, tapi tidak pernah bisa seperti bapaknya.
Sesekali, hantu-hantu kecil lainnya melompat ke bahu Margareth seraya memuntahkan masalah yang tidak perlu mereka kunyah lebih dulu. Bagi Margareth, tidak ada yang benar lagi. Bahkan bendera, pasukan pengibar bendera, lagu kebangsaan, podium kehormatan, aubade, dan kursi para tamu kehormatan, adalah bagian kesalahan yang tidak harus ia hadiri. Tidak seperti itu seharusnya sebuah pertukaran, katanya.
Margareth mencemooh sesuatu yang sepenuhnya ia pahami. Ia mengeritik kebijakan pemerintah yang sebenarnya pernah juga ia lakukan. Mata yang sayu dan intonasi kalimat yang meremehkan itu, ia letupkan bagai bunga api saat ia bicara tentang resesi, persoalan kurikulum, dan masalah sumber daya alam. Padahal hantu-hantu kecil di sekelilingnya tahu bagaimana ia memahami sifat minyak, aromanya, ragam kekentalannya, dan ke saku siapa benda cair itu mengalir kemudian menetap.
Ia tuntut hal-hal yang ideal. Hal ideal yang bahkan tak bisa ia wujudkan saat ia dahulu memerintah sebagai karateker. Betapa lekas ia melupakan omong kosongnya sendiri. Kendati takut, ia seperti bisa menikmati setiap melankolia saat hantu-hantu kecil yang hybrid itu menjadi gergasi mengerikan di kepalanya. Di dalam kepala seorang karateker yang tiba-tiba menjadi pemimpin di negeri ini karena tuntutan undang-undang. Di depan matanya ada sebuah dinasti yang terancam gagal. Huh, tidakkah kenyataan itu sangat menyedihkan?
Margareth meminta aku menceriterakan padanya adakah sebuah kisah yang lebih tragis dari ceriteranya. Aku diam saja, tak mau menjawab. Aku tak ingin memberikan komentar yang nantinya akan ia persalahkan. Ia barangkali tidak harus mengakui, bahwa ia tidak sekalipun pernah berbuat hal baik buat negeri yang konon dititipkan oleh bapaknya itu, dan konon pula akan kembali padanya.
Ah, itu kan hanya imajinasi hantu-hantu kecil yang mengelilinginya. Betapa ia ingin sekali memercayai imajinasi macam itu. Padahal, hantu-hantu kecil itu juga kerap bertanya-tanya: apakah bapaknya pernah bicara begitu? Atau Margareth yang telah salah mendengar?
/5/
Kepala perempuan kerempeng berpiyama merah itu mendadak terkulai di sandaran kursi. Nafasnya memburu. Margareth tampak lelah sekali, saat hantu-hantu kecil yang mengitarinya justru sedang meributkan sebuah bola. Margareth pingsan.
Eh, bukan! Ia bukan pingsan, tetapi tiba-tiba tertidur saat ia putuskan bahwa urusannya denganku sudah selesai. Ia tertidur. Tapi bukan tidur yang damai. Wajahnya sesekali berkerut, sesekali pula mengeras dan dipenuhi peluh.
Ah, ya. Mungkin saat ini Margareth sedang bermain-main dengan hantu-hantu kecil yang berdiam di bagian belakang tempurung kepalanya. Tubuh kerempengnya kututupi dengan selimut tipis yang aku temui di atas bufet di ujung ruangan. Aku pandangi wajah Margareth. Wajah seseorang yang sedang memimpin perangnya sendiri. Perang yang belum selesai.
Ini memang kisah tentang kegemaran seseorang memuja dirinya sendiri. Kisah seorang bapak yang menyukai kias, dan seorang puteri yang tenggelam dalam ceritera tentang hantu-hantu kecil di sekitar bapaknya. Margareth benar, ceriteranya itu sungguh membuatku merinding. (*)
Molenvliet, September 2013
Ilham Q. Moehiddin. Satiris. Menggemari Ambrose Bierce Gwinnett.
Leave a Reply