Adi Zamzam

Ketika Rabbi Diturunkan

0
(0)

Cerpen Adi Zamzam (Republika, 02 Maret 2014)

ketika-rabbi-diturunkan-ilustrasi-rendra-purnama

Ketika Rabbi Diturunkan ilustrasi Rendra Purnama

SAAT mengambil jaket di lemari, wajah lelakiku kentara sekali tegangnya.

“Apa yang bisa Kang Noto lakukan di sana nanti?” aku membuntuti dengan pertanyaan kecemasan.

“Tidak tahu,” jawabnya pendek. “Tapi yang pasti kami harus melindunginya,” seperti ada nada sedih.

“Meskipun sudah jelas bahwa ia bersalah?”

“Kita harus ingat masa lalu,” ujarnya. Aku seperti bisa melihat kegamangan di kedua matanya.

“Tentu saja aku ingat, Kang. Bahwa ia pernah berlagak seperti Tuhan,” ketusku.

Lelaki itu tak peduli. Bergegas keluar meninggalkan diriku yang mulai digulung kecemasan.

***

Pertemanan suamiku dengan Rabbi konon sudah sejak SMP. Mereka sama-sama bintang dalam satu tim basket dan voli yang hampir-hampir tak terkalahkan di sekolah. Mereka sahabat dekat. Tapi, mereka memiliki perbedaan yang jauh sekali.

Suamiku seorang yang susah bergaul, teman akrabnya sedikit, kutu buku, penyuka sastra, bahkan sampai sekarang sebagian penghasilannya merupakan imbas dari kiprahnya sebagai salah seorang sastrawan kecil di negeri ini.

Beda dengan Rabbi, yang katanya pandai bergaul dan punya banyak teman di sana-sini. Sejak SMP dia sudah dikenal suka dengan namanya organisasi. Dua kali dia menjadi ketua OSIS. Konon, sewaktu SMA kisahnya juga tak beda jauh dengan semasa SMP. Jadi, kalau kemudian dia cemerlang di sebuah partai politik, tentu itu bukanlah hal yang mengherankan.

Setelah 20 tahun lebih tak bersua, akhirnya suamiku dipertemukan dengannya dalam sebuah kejadian yang mengharukan.

Suamiku mencari kerja. Singkat cerita, dia pun mendapatkan pekerjaan sebagai kuli angkut. Jika saja saat itu dia tidak pingsan saat memindahkan benih-benih jati ke atas truk, mungkin pertemuan itu takkan terjadi. Saat itu, suamiku sedang puasa Senin-Kamis. Insiden itu menghentikan sejenak sebagian pekerja. Kebetulan, Rabbi sedang meninjau poryek kecilnya itu. Mendengar keriuhan kecil itu, dia pun langsung mendatangi. Takdir pun berjalan.

Suamiku bercerita, katanya Rabbi sudah tak seperti dulu lagi. Tentu saja, 20 tahun adalah waktu yang cukup untuk mengubah siapa pun. Lambat laun, dia pun menceritakan perihal semua perubahan yang semula hanya ia dengar dari teman-teman sepekerjaannya. Kata mereka, Rabbi itu pelit, perhitungan sekali, kadang-kadang jika sedang “kumat“ suka menyunat upah, bahkan konon tak cuma sekali dua kali menendang pekerjanya yang berani mericuhinya.

Baca juga  Rumah Pahlawan

“Tapi, aku masih belum percaya kalau dia seperti itu. Aku melihatnya masih seperti dulu. Dia baik kepadaku. Buktinya, sewaktu aku pingsan kemarin dia sendiri yang membawaku ke puskesmas dan menanggung semua biayanya,” ceritanya dengan mata menerawang.

Aku hanya menjadi pendengar yang baik.

“Semasa sekolah dulu, dia anak yang baik,” seolah ingin meyakinkan dirinya sendiri.

Dan, hari-hari berikutnya suamiku pun mulai rekat dengan Rabbi. Mengerti bahwa suamiku punya kecerdasan, Rabbi pun perlahan memberinya kepercayaan dalam pekerjaan. Seiring berjalannya waktu, dia mulai berani memercayakan satu dua proyek yang berskala kecil. Aku sedikit bernapas lega ketika lelakiku perlahan mulai meninggalkan syair-syair omong kosongnya yang tak menjanjikan apa-apa itu. Tapi, justru sejak saat itulah suamiku mulai bisa melihat wajah asli Rabbi.

“Tadi siang aku bertengkar dengannya,” ujar suamiku di sebuah percakapan menjelang tidur.

Katanya, ia diserahi tugas penting pada sebuah proyek pembuatan jalan raya alternatif. “Aku tidak bisa bohong. Aku tidak bisa memelintir ucapan,” lanjutnya, setelah bercerita perihal tanah milik beberapa warga yang harus dibebaskan. Masalah penyunatan harga.

Hari-hari berikutnya kulihat suamiku jadi pendiam. Ia seperti sedang mengalami tekanan batin. Ia mau bercerita perihal masalah-masalah dalam pekerjaannya hanya jika aku bertanya saja. Bahwa, tadi ia baru saja mengantarkan uang pelicin proyek ke pegawai anu, bahwa kemarin ia telah memergoki penyunatan dana proyek anu, bahwa ia menyimpan banyak ketaksukaan yang ditekannya dalam hati.

Aku memergokinya lari ke puisi lagi. Tapi, ia tak berani mengirimkannya ke media cetak. Malu dengan teman-temannya, sewaktu kutanya mengapa. Ia hanya menumpahkan semua unek-uneknya itu di sebuah buku notes kecil, seperti kebiasannya dahulu.

Baca juga  Angka Kematian

“Kang Noto ingin pindah kerja?” tanyaku di suatu percakapan menjelang tidur.

“Tapi, sekolahnya anak-anak nanti bagaimana?”

Dan, aku mulai bisa memahami beban batinnya.

***

Hari-hari berjalan dengan banyak diam. Meski diam, tapi aku bisa merasakan gelisahnya yang tak juga mengendap. Aku pun ikut berpikir, mencari jalan keluar. Sampai akhirnya, kuputuskan rela berkorban.

“Jualan makan di pasar? Berapalah itu penghasilannya, Min?” ujarnya saat kuceritakan penghasilanku yang sudah lumayan. Meski, hasilnya memang belum bisa diandalkan untuk memenuhi semua kebutuhan.

“Jadi, Kang Noto akan tetap menjadi juru kampanyenya meski tahu semua kelakukannya?”

Lelaki itu menarik napas berat ketika aku bercerita bahwa tadi siang di pasar beberapa pengikut Rabby telah bagi-bagi uang demi pencalonan dirinya sebagai orang nomor satu di kota kami. Tentu saja, kami tahu itu sesuatu yang salah. Bau busuk langsung menguar. Beberapa orang tetap saja menerimanya, entah dengan keriangan yang pura-pura ataukah karena benar-benar mendukungnya.

“Aku anak buahnya, Min. Lantas aku bagaimana?” ujarnya kemudian yang terdengar seperti pengakuan atas ketakberdayaannya sendiri.

Kesedihan jadi bertambah. Bahkan, terkadang berubah benci. Sampai-sampai, kadang aku melihatnya seperti banci. Tak berani pergi dari tempat yang menguarkan aroma busuk hanya sebab di tempat itu ia bisa bernaung dan menyangka di luar tak ada tempat lain yang bisa membuatnya bertahan dari terpa ujian kehidupan. Sayangnya, dia tetap suamiku, seorang ayah yang begitu ingin anak-anaknya aman dari kekurangan.

Puisi-puisinya yang dulu kusukai menjadi terasa menyebalkan. Seperti rengekan anak kecil. Suka menyesali dan menyalahkan diri sendiri. Apalagi, ketika Rabbi akhirnya berhasil menjadi orang nomor satu di kota kami.

Cerita-cerita tentang buruknya kelakuan Rabbi sedikit demi sedikit terus bertambah dalam ingatanku. Tapi, cerita-cerita itu tidak kudapatkan dari lelakiku, melainkan dari desas-desus di pasar dan berita-berita koran yang kemudian menjadi gunjingan ringan para tetangga.

Tentang penggusuran PKL dengan semena-mena, penggerogotan dana bantuan pemerintah pusat, dan masih banyak lagi. Kupikir, lelakiku juga telah sama-sama mendengar semua itu. Tapi, entahlah dengan jalan pikirannya.

Baca juga  Asa Sia-Sia

***

Sepertiga malam yang hening ketika kulihat dia begitu gelisah. Hatiku menerka. Hatiku mencatatnya. Sebelum pagi harinya kemudian terjadi kerusuhan itu. Orang-orang yang sudah muak dengan kelakuan Rabbi mulai bereaksi. Segala bukti kesalahan, baik yang tampak maupun yang masih terselubung diumbar di muka umum.

Saat mengambil jaketnya di lemari, wajah lelakiku kentara sekali tegangnya.

“Apa yang bisa Kang Noto lakukan di sana nanti?” aku membuntuti dengan pertanyaan kecemasan.

“Tidak tahu,” jawabnya pendek. “Tapi, yang pasti kami harus melindunginya,” seperti ada nada sedih.

“Meskipun sudah jelas bahwa dia bersalah?”

“Kita harus ingat masa lalu,” ujarnya. Aku seperti bisa melihat kegamangan di kedua matanya.

“Tentu saja aku ingat, Kang. Bahwa dia pernah berlagak seperti Tuhan,” ketusku.

Aku takkan pernah lupa dengan hari itu. Ketika lelakiku pulang dengan raut merah padam. Karena tak tahan, akhirnya dia pun cerita, “Tadi siang kami bertengkar lagi. Aku tak bisa berbuat apa-apa karena memang dialah yang memberiku pekerjaan, yang memberi kita makan….”

Aku langsung mengurut dada, “Benarkah dia bilang seperti itu?”

Lelakiku diam, tak berselera meneruskan ceritanya.

Rupanya, hari inilah keputusan itu ditetapkan. Siapakah yang sebenarnya Tuhan.

Sepeninggal lelakiku, aku terus berdoa dalam hati. Semoga Tuhan memberi ganti kepada kami, anugerah yang lebih baik dari sekarang. (*)

 

 

Kalinyamatan, Jepara, 2013

Adi Zamzam, memiliki nama asli Nurhadi. Pria kelahiran Jepara, 1 Januari 1982, ini pada 2002 beberapa cerpen dan puisinya dipublikasikan di Bahana Sastra RRI Pro II Semarang. Ia juga menyabet sejumlah penghargaan penulisan cerpen Islami. Seperti, pada 2009 dan 2010 dua buah cerpen menjadi karya favorit dalam LMCR memperebutkan LIP ICE Selsun Golden Award. Karya-karyanya juga banyak menghiasi surat kabar nasional ataupun lokal.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!