Cerpen Dinar Rahayu (Koran Tempo, 23 Maret 2014)
DI KAWASAN awan Kerberus, Ganesha tersungkur. Bentuknya yang seperti donat raksasa itu seolah tercabik-cabik tangan raksasa hanya untuk kepuasan belaka. Ia benar-benar seperti Dewa Ganesha yang berkorban untuk secarik tulisan ilmu pengetahuan. Menurut mitologi, dewa berwajah gajah itu memotong satu gadingnya untuk dipakainya sebagai pena untuk menuliskan sejarah ilmu pengetahuan. Ganesha sang gajah tersungkur seperti raksasa yang jatuh berdebam dan kemudian terburai-burai. Muatannya sudah kosong: berbagai spesimen dari planet-planet yang tersebar di gugusan bintang yang sudah dipetakan ataupun yang belum, bahan penelitian tentang obat sampai mesin pembunuh biologis.
Pesawat-pesawat kecil pemandu jalan yang biasa ada di depan hidung pesawat angkut sudah entah lenyap ke mana. Ganesha adalah pesawat ketiga yang tersungkur begitu saja di awan Kerberus itu. Dua pesawat sebelumnya adalah penambang bijih Monastrium, bahan bakar utama bagi kelangsungan hidup kami. Beberapa serpihan hancuran pesawat-pesawat kami ini memasuki atmosfer planet kami, tampak seperti hujan meteor yang menimbulkan kebakaran di sana-sini. Sirene mengaung dan pemadam kebakaran segera diluncurkan ke tempat-tempat yang terbakar dijatuhi serpihan pesawat penelitian tersebut.
Seluruh bukti menunjukkan bahwa ketiga kapal itu hancur oleh kanon tempur yang memotong badan pesawat. Kanon besar dengan sinar pemotong yang berkekuatan tinggi. Teknologi itu tidaklah terlalu istimewa, tetapi pastilah mereka yang melakukan itu memiliki armada yang kuat dan banyak. Adakah ini perbuatan Rha-dur? Musuh kami? Musuh bebuyutan kami yang sudah bertarung dengan kami bahkan sebelum kami bisa disebut beradab?
Di Miramar, ibu kota Mahanim, kami segera berkumpul. Badan Intelijen dan pemimpin armada perang kami. Kesimpulannya hanya satu: Rha-dur sudah kembali. Kali ini mereka memang sungguh terlalu. Bukan hanya melanggar batas wilayah, tetapi juga merampok kapal-kapal kami. Kini kami harus bertempur, membuktikan bahwa merekalah yang melakukan ini. Jika benar dugaan kami bahwa pesawat-pesawat kami tersayat hebat, berarti Rha-dur sudah mengembangkan teknologinya secara besar-besaran. Teknologi memerlukan modal. Daripada mencari jalan sendiri menuju tambang Monastrium, bukankah merompak pesawat-pesawat kami jauh lebih mudah?
Bangsa kami bukanlah bangsa yang sopan, seperti halnya bangsa Rha-dur. Bangsa kami punya banyak musuh dan sudah sering diusir-usir. Mahanim, begitulah nama bangsa kami, seolah cerminan dari bangsa Rha-dur. Kami saling berperang untuk mengatakan mana yang asli dan mana yang hanya bayangan di antara dua bangsa ini.
Beberapa ratus tahun yang lalu kami kalah dalam jumlah, sehingga kami terpaksa menerima planet yang diberi nama Hades ini sebagai tempat tinggal kami. Planet tandus dengan sumber daya terbatas. Tetapi kemudian ekspedisi-ekspedisi penjelajahan luar angkasa kami menemukan kawasan Bene Gezerit, yang kami sebut ujung semesta, tempat kami menemukan kantong-kantong bijih Monastrium. Bijih yang kami tambang untuk kami jadikan bahan bakar kami dan juga sumber berbagai logam yang begitu melimpah. Selama itu pula rute ke daerah Bene Gezerit berhasil kami rahasiakan.
Maka bajingan mana pun yang menghancurkan kapal-kapal kami pastilah bangsa kurang ajar yang tak mau melihat Mahanim berkembang dan lestari. Dan kini, pesawat ketiga yang mereka hancurkan adalah pesawat penelitian yang kami buat dari dana yang tidak sedikit, yang juga membawa beberapa spesimen yang bisa kami kembangkan sebagai senjata pemusnah massal. Dan mereka tidak pusing-pusing untuk mengambil tawanan. Semua awak pesawat yang dihancurkan hilang, dan bisa kami anggap mereka telah dibunuh.
Dengan sumber kekayaan Hades yang terbatas dan matahari kembar yang berdansa maka planet kami seperti raja yang menari, dengan satu kaki mencipta dan satu kaki menghancurkan. Seperti Syiwa Nataraja sang dewa yang doyan menari ketika mencipta dan menghancurkan. Hampir tiap saat kami dihadapkan pada situasi seperti ini. Tapi inilah Mahanim yang dibakar matahari di kala siang dan didinginkan angin dari kutub-kutubnya yang membeku di malam hari. Campuran gas-gas yang menyelimuti Hades sangatlah rumit, menghasilkan iklim dan kehidupan yang ekstrim. Sebagai seorang Mahanim, aku tak akan mengatakan bahwa Hades adalah planet yang indah. Tiap sudut, tiap bukit, tiap tikungan di Hades memiliki kelimpahan kehidupan yang mati-matian mempertahankan diri—dengan racun, dengan duri, dengan apa pun.
Demikian kehidupan kami. Para Mahanim mati-matian mempertahankan diri. Dan kami tak akan menyerah. Kami akan mengejar siapa saja yang membuat pesawat-pesawat kami tersungkur.
DI BALAIRUNG Miramar kami berkumpul. Bersama Sahala, salah satu ilmuwan kami yang sudah memetakan perjalanan Ganesha dan kedua kapal angkut lainnya yang juga sudah hancur. Ia salah satu dari sedikit orang yang mengetahui jalur pasti menuju Bene Gezerit. Namanya sudah hampir menjadi legenda di kalangan kami, Badan Intelijen Mahanim.
Sahala berdiri di tengah-tengah, dikelilingi hologram yang memetakan planet-planet dan berbagai galaksi. Ia menyentuh satu titik di hologram itu, Hades, dan menggumam. Kemudian muncullah titik-titik planet lain tetangga Hades, jalur perlintasan kapal-kapal, dan Chiron, planet yang paling dekat dengan Hades. Chiron adalah planet gelap yang nyaris mati, entah mengapa pula penduduk di sana sudah lama bersumpah untuk menutup mata terhadap semua kejadian semesta ini dan tinggal belaka di berbagai hutan belantara, gunung, dan jurang—dalam rangkaian upacara pemujaan tanpa henti. Mereka jarang berbiak dan benar-benar menghentikan komunikasi dengan planet sekitar mereka. Entah kini sudah generasi keberapa dari penduduk Chiron yang melaksanakan sumpah tersebut. Ataukah mereka sudah tumpas sama sekali?
Dengan kata lain, tidak mungkin penduduk Chiron menyerang pesawat-pesawat kami.
Dengan napasnya yang berat dan kantong matanya yang tampak makin tebal, Sahala menunjuk sebuah titik lain di mana ketiga kapal kami mungkin diserang. Ia menunjukkan titik itu tanpa menjelaskan rute menuju Bene Gezerit. Tidak semua kami di balairung Miramar tahu akan rute ini.
“Siapa menurutmu penyerang kapal-kapal kita?” tanya salah seorang kami. “Kita tak bisa terus-terusan membiarkan penyerangan ini. Sumber Monastrium menipis. Dan yang paling penting, berarti sudah ada yang tahu rute antara Hades dan Bene Gezerit. Orang kita atau bangsa lain?”
Suara dengung bisikan yang saling menyahut memenuhi balairung. Sahala mematikan program hologram yang mengelilinginya. Dengung semakin santer. Pengkhianat? Anggota bangsa Mahanim yang bersekongkol dengan perampok yang membegal pesawat-pesawat penambang Monastrium kami? Siapa saja yang tahu rute itu? Sahalakah salah satu yang harus kita curigai?
Kru pesawat adalah mesin-mesin dan para penambang dibuat mati suri dalam penerbangan ulang-alik antara Hades-Bene Gezerit: mereka hanya terbangun di Bene Gezerit untuk menambang. Adakah kantong tidur mereka terbuka di tengah jalan dan kemudian ada penambang menggunakan komputer di pesawat? Itu bisa saja terjadi. Apalagi tak ada penambang yang kembali lagi dari ketiga pesawat yang dirampok itu. Siapa saja mereka? Keluarga mereka harus dipanggil untuk diselidiki. Siapa pengkhianat di antara kaum Mahanin? Siapa perampok itu?
“Ini perbuatan Sekbet,” aku berkata lirih, hampir berbisik, walau tak kusengaja. Tapi memang aku tidak bermaksud berteriak.
Bahkan Sahala pun tehenyak, walau kemudian dirinyalah yang pertama kali kembali bernapas. Ia tidak menjawab. Ia memilih untuk tidak menjawab. Ia berbisik ke panglima perang kami, beranjak dari kursinya dan beranjak keluar. Pastilah ia langsung menuju chiroptornya, kendaraan mirip capung miliknya yang terparkir tepat di depan balairung.
AKU selalu takut pada topeng: seraut wajah buatan yang mampu mempertontonkan apa yang si pemakai inginkan untuk ia perlihatkan kepada dunia (meski bayarannya adalah bahwa ia harus menyembunyikan wajahnya yang sebenarnya). Memasuki kubah milik Sahala aku selalu bergidik. Ia memiliki banyak topeng yang ia pajang di dinding-dinding ruang kerjanya, lengkap dengan berbagai hiasan dari tulang-belulang. Bercampur-baur dengan koleksi okulare, pemutar hologram berpresisi tinggi, miliknya yang kadang ia pasang bersama-sama sehingga galaksi-galaksi tampak tumpang tindih dan alam semesta seperti sedang menuju kekacauan total.
Di kubah milik Sahala kulihat jalur-jalur pesawat, model-model pesawat, dan sebuah okulare yang sudah begitu kukenal: perjalanan hidup Sekbet.
Kemudian di antara topeng-topeng itu tampaklah topeng yang seperti topeng tetapi bukan topeng. Seraut wajah dengan mata yang letih dan gurat-gurat yang bergerak, wajah mirip topeng yang ingin dilepaskan si pemilik.
Seraut topeng keunguan yang kemudian bergerak menghampiri.
“Maharet,” begitu ia menyapaku dengan suara yang dilabur oleh tetesan Melange yang rupanya sedari tadi ia minum.
Seorang Mahanin yang mabuk selalu berkulit ungu hasil dari percampuran Melange dengan darah mereka. Kali ini Sahala tampak seperti baru pulang dari negeri pencelup warna ungu.
Inilah yang membuatku takut memasuki ruangan Sahala.
Sementara aku larut dalam ketakutanku, tiba-tiba saja aku tak dapat membedakan mana yang topeng, mana yang Sahala.
Aku tersenyum mendekatinya. Memberi isyarat padanya supaya ia tak perlu bangun dari tempat ia berbaring sambil menatap Miramar. Tentunya ia sudah tahu bahwa aku datang dengan chiroptorku. Pastilah ia memperhatikan chiroptorku mengepak-ngepak dari kejauhan dan kemudian mendekat dan parkir di halaman kubah, bersebelahan dengan chiroptornya. Barangkali juga ia mendengar segala yang kubicarakan setelah ia pergi dari balairung Miramar.
Sahala. Ia bisa berbuat apa saja, aku bisa cukup yakin bahwa ia sudah menaruh penyadap di balairung Miramar. Pengetahuannya melampaui umurnya. Dan Sahala bukan orang suci. Ia akan menggunakan ilmunya untuk kelangsungan hidupnya. Ia akan membunuh seseorang jika perlu. Aku segan bertemu Sahala sebenarnya, tetapi kali ini aku harus menemuinya.
“Sahala.”
“Maharet,” ia menghabiskan Melange di gelasnya. “Kau tahu siapa yang berbuat ini.”
Aku mengangguk.
“Ini takdir, Maharet. Kalau kau membaca kitab suci kita…”
Aku tetawa. “Tidak. Aku tidak membaca kitab suci-mu itu…”
Sahala terdiam. Ia mengamati botol Melange-nya yang sudah kosong tandas. Aku yakin ia masih punya persediaan Melange tapi tampaknya malam itu Sahala sudah terlalu banyak menghabiskan Melange.
“Akan aku temukan iblis itu,” bisikku.
Sahala menamparku. Ia belum berhenti dengan kebiasaan itu Aku tidak membalasnya.
Sahala mengambil tanganku, dan memperhatikan jalur-jalur garis di telapak tanganku dengan telunjuknya dan kemudian meremas tanganku. Ia mengepalkan tanganku dan kemudian menciumnya. Ia menutupkan matanya. Wajah itu jelas bukan topeng: ia menitikkan air mata, dua-tiga butir barangkali.
TARGUS adalah pesawat angkut yang sangat lamban. Bertolak dari Hades ia mengambil rute menuju Bene Gezerit. Tiga pesawat kecil di depannya susul-menyusul memandu pesawat induk yang sangat lamban ini. Tempat untuk muatannya dipenuhi tangki-tangki untuk memuat bijih Monastrium dan logam lainnya. Di dalamnya adalah aku dan tiga belas penambang yang sedang dalam keadaan mati suri. Ada sedikit mimpi tersisa barangkali, ada ingatan yang tak sempat diringkus pembekuan perlahan dan penurunan metabolisme.
Mati suri bukanlah catatan kosong seperti jeda antara satu lagu dengan lagu berikutnya dalam kerja sebuah pemutar lagu. Mati suri adalah kematian yang sangat ribut: di dalamnya ada Sahala, ada Sekbet, ada sakit hati, ada kehilangan, ada keindahan. Mati suri bukanlah kenangan yang tertidur dalam damai.
Mati suri adalah perang panjang tanpa suara. Di dalamnya berbagai ingatanku mengambang tanpa bobot dan tanpa orientasi, seolah potongan puzzle yang berkelana ke sana ke mari. Tanpa ada ada yang mampu menghimpunnya, berbagai ingatanku kadang tumpang tindih, kadang berjauh-jauhan. Seolah butir-butir kalung tanpa tali. Berserakan. Kadang menghilang kadang datang kembali.
Aku ingat wajah Sahala, beserta topeng-topengnya, dan air matanya. Bagaimana ia tidak akan menangis? Takdir mengatakan bahwa ia harus kehilangan satu atau dua dari anak-anaknya: Sekbet atau aku, atau kedua-duanya. Sekbet adalah saudaraku, saudara tiri. Sahala punya banyak pasangan, dan dari banyak keturunannya hanya aku dan Sekbet yang ia ambil untuk ia didik di Badan Intelijen Mahanim. “Karena kalian orang terpilih. Bahkan nama kalian diambil dari nama para Mahanim yang disebut-sebut di kitab suci,” begitu katanya. Aku tidak percaya. Yang kupercaya adalah, ia punya rencana sendiri yang melibatkan kami.
Di suatu malam dua puluh tahun yang lalu Sahala mengubah garis kehidupan di telapak tanganku dan telapak tangan Sekbet. Ia menerakan rajah jalur menuju Bene Gezerit, separuh di telapak tangan Sekbet dan separuh di telapak tanganku. Tak ada rasa sakit ketika takdirmu diubah. Dengan laser ia merajahkan jalur Hades-Bene Gezerit ke tangan kami ketika bius lokal sudah melumpuhkan saraf. “Semoga bangsa kita lestari,” begitu bisiknya. Sahala memang patriot sejati.
Tapi Sekbet punya pilihan lain.
“Ia bersekutu dengan iblis,” begitulah aku pernah berkata. Sahala kemudian menamparku tapi juga tak membela Sekbet yang membelot ke musuh besar kami. Demikianlah, tiap kali kukatakan Sekbet adalah iblis dan bersekutu dengan iblis, Sahala menamparku tapi juga tak menolak ucapanku.
Mahanim dan Rha-dur tak pernah benar-benar berhenti bertempur. Sekali-sekala kami terabas perjanjian yang memisahkan Rha-dur dengan kami. Sesungguhnya kami seperti saudara kembar. Bagi kami Rha-dur adalah iblis, begitu juga sebaliknya. Kami adalah bayangan cermin yang saling mengutuk supaya kami terus mengada.
“Kenapa kau bersedih? Kau hanya akan kehilangan satu atau dua belaka dari sekian banyak anakmu, Sahala,” kataku sebelum berangkat.
Sahala tersenyum tanpa menjawab.
Aku sudah biasa tak mendapat jawaban dari pertanyaanku. Maka aku segera berangkat.
Pertanyaan tak berjawab selalu membuatku penasaran dan sakit.
Seperti juga ketika aku terduduk di kuil di depan salah seorang pendeta.
“Aku akan membunuh saudaraku. Atau aku akan terbunuh dalam pelaksanaannya. Berdosakah aku?”
Pendeta itu menjawab, “Kau sudah tahu jawabannya.”
Aku mengangguk. Ya, aku tahu jawabannya. Kusesali mengapa pula aku mengikuti saran Sahala untuk pergi ke kuil sebelum aku berangkat menuju Bene Gezerit.
Di suatu malam, sebelum ketiga pesawat itu kami diserang, Sekbet mendatangiku. Dengan Melange tentunya kami bercengkerama. “Ikutlah,” kata Sekbet menggenggam tanganku. Membukakan telapak tanganku dan telapak tangannya sehingga jalur Hades-Bene Gezerit tampak lengkap. Aku menggeleng. Kami berciuman. Kami saling mencinta. “Pasti kita akan bertemu kembali.” Ia menunjuk sebuah titik di telapak tangannya.
Ke sanalah kini Targus menuju. (*)
Dinar Rahayu, tinggal di Bandung.
Leave a Reply