Cerpen Ullan Pralihanta (Suara Merdeka, 30 Maret 2014)
‘’DOMAR! Keluar kau!’’
Laki-laki yang namanya sedang diserukan oleh Jakub, tergopoh-gopoh membuka daun pintu rumahnya yang terbuat dari kayu tembesu yang hampir lapuk. Di luar, telah ramai massa berdatangan, berdiri dengan wajah merah padam, penuh murka. Masing-masing dilengkapi sebilah golok dan obor menyala. Sekilas Domar melirik pada orang-orang dan berusaha mengenali satu per satu pemilik wajah yang memadati pekarangan rumahnya. Tapi, satu wajah yang pasti ia ingat selamanya bahkan hingga hayat menjemput, adalah wajah Jakub.
‘’Ada apa ribut-ribut malam-malam begini, Jakub?’’ tanya Domar tenang. Tak tersirat aura ketakutan dari parasnya.
Jakub maju dua langkah, berdiri dengan rentang sejengkal dari posisi Domar berada. Napasnya menderu hingga terdengar semacam bunyi geraman binatang buas dari celah bibirnya yang sedikit terbuka. Ia menatap Domar dengan tatapan setajam kilatan api. Telunjuk yang pendek dan gemuk itu ia acungkan di hadapan laki-laki bertubuh cungkring itu.
‘’Kausantet anakku, Domar?’’ tanya Jakub pelan. ‘’Kausantet anakku, Domar?’’ ulangnya, kali ini dengan suara menggelegar seperti petir yang menghantam dinding langit.
‘’Tidak!’’ jawab Domar masih dalam keadaan tenang.
‘’Bohong!’’ bentak Jakub. ‘’Kau tahu aku paling tidak suka dengan orang yang berdusta, Domar?’’
‘’Ya… aku tahu. Bahkan aku tahu bagaimana karaktermu secara keseluruhan. Tamak dan…,’’ Dorman menggeleng pelan. ‘’Ah sudahlah, nyatanya kita pernah akur meski satu perguruan silat di Bukit Sri Gading.’’
Jakub memelintir ujung kumisnya yang menungkik bagai ekor kalajengking. Wajahnya semakin memerah, sangar. Mengingat masa-masa menuntut ilmu bela diri di Bukit Sri Gading, membuat murkanya semakin membuncah. Sesungguhnya Domar selalu membuatnya merasa tidak nyaman dalam hal apapun. Apalagi ketika Eyang Ali Wangkit, sesepuh di perguruan silat, mewariskan sebuah pusaka berbentuk batu cincin Sri Delima pada Jakub, Domarlah satu-satunya murid yang menangis semalam suntuk karena tak terpilih mendapatkan pusaka berharga itu. Namun, ternyata kesedihan Domar tak berlangsung lama. Sepekan setelah pusaka itu diwariskan, ia malah mengalahkan Jakub dalam laga Tepak Sakti di hadapan Eyang Ali Wangkit. Kemenangan Domar membuat Jakub tak pernah bisa menerima ajian rahasia dari Eyang Ali Wangkit. Namun, desas-desus yang beredar, Eyang Ali Wangkit mewariskan ilmu teluh pada Domar untuk digunakan sewaktu-waktu pada musuh besar yang sulit dikalahkan.
‘’Ya… karena kita satu perguruan, makanya aku yakin kau satu-satunya penduduk di kampung ini yang memiliki ilmu teluh,’’ tuduh Jakub sengit sembari mengacung- acungkan telunjuknya di hadapan Domar. ‘’Aku sasaranmu karena kau tak cukup beruntung memiliki batu Sri Delima yang kau idam-idamkan selama berguru di Bukit Sri Gading.’’
‘’Hahaha… kau mengada-ngada, Jakub,’’ ucap Domar, tak ambil pusing dengan tuduhan teman seperguruannya. ‘’Mengalahkanmu di Bukit Sri Gading sudah membuatku bersyukur. Aku tidak butuh takhta atau harta secara berlebihan. Apalagi pusaka yang kau miliki itu, Jakub.’’
‘’Lantas… siapa manusia yang bisa mengirim batu cincin Sri Delima ini ke dalam perut putra semata wayangku jika bukan kau, Domar?’’ Jakub mengeluarkan sebuah batu cincin berwarna merah terang, seukuran biji kelengkeng, dari dalam celana gombrang batik yang ia kenakan.
‘’Hanya kau yang diwarisi ilmu teluh dari Eyang Ali Wangkit. Kau bisa bekerja sama dengan iblis untuk memindahkan benda apa pun tanpa terlihat, menyakiti, bahkan membunuh musuh-musuhmu. Kau ingin aku atau keturunananku celaka. Ah… jangan bersilat lidah lagi, Domar! Penduduk sudah tahu siapa kau sebenarnya,’’ cerca Jakub yang merasa semakin tertantang dengan sikap dingin Dorman.
‘’Gusti yang Esa selalu jeli memantau segala tindak-tanduk umatnya. Sekalipun aku dibekali ilmu untuk melindungi diri dari Eyang Ali Wangkit, bukan berarti aku bisa menggunakannya sesuka hati,’’ terang Domar bijak.
‘’Ah… banyak alasan kau, Domar. Dasar tukang teluh! Bakar dia!!!’’ seru Jakub mengomandoi pasukan massa yang dibawanya.
Massa bergerak sesuai instruksi. Tubuh Domar terjerembab, diseret ke tengah pekarangan, lalu dipijak berulangkali bagai bangkai binatang. Tidak sampai satu jam kemudian, aroma angus tubuhnya menyeruak ke alam lepas. Sedangkan debunya berterbangan tertiup angin, menempel pada daun-daun kamboja yang menjadi saksi bisu lepasnya ruh dari tubuh lakilaki malang itu.
***
SEMINGGU belakangan ini, purnama berpendar terang. Bagai pelita yang membunuh gulita. Bayangan tubuh Rasyid yang duduk di bantaran sungai, tampak mengapung di dalam air. Ia bergeming, seolah berkaca pada permukaan air yang tenang. Sementara kerumunan nyamuk ia biarkan mengerubuti kakinya. Meski terasa gatal, ia tidak tertarik untuk menggaruk atau menghalau nyamuk-nyamuk beringas yang menyedot darah dari pori-pori kakinya.
‘’Segala sesuatu yang bukan milikmu jangan disentuh, apalagi sampai kau ambil tanpa sepengetahuan pemiliknya! Itu namanya pencuri. Sebab, aku tidak akan segan-segan menghukum seorang pencuri sekalipun anakku sendiri.’’
Perkataan bapaknya yang terkenal tegas, tak pernah sekalipun menjilat perkataannya sendiri, masih terngiang-ngiang di indra pendengaran Rasyid. Kembang telinga itu seakan bergerak-gerak oleh ucapan bapaknya sebulan silam.
‘’Andaikata aku berkata yang sesungguhnya pada Bapak, sesaat sebelum teja kemarin menggulung petang, Uwak Domar takkan pernah mati,’’ ucap Rasyid lirih dalam kesendiriannya.
‘’Hei…,’’ pekik Jakub spontan ketika mendapati Rasyid duduk di keheningan malam. Ia lalu mendatangi Rasyid dengan langkah cepat. ‘’Ngapain kau di bantaran, Rasyid?’’
Rasyid bungkam. Bocah 12 tahun itu hanya tertunduk, memandangi bayangannya sendiri di permukaan air. Nyalinya selalu ciut tiap kali bertatap muka dengan Ayah kandungnya sendiri. Tak berselang lama, air matanya merintik. Ia biarkan sisa-sisa air mata itu tetap berada di pipinya yang gembil sampai angin berembus mengeringkannya.
‘’Jawab!’’ bentak Jakub sambil berkacak pinggang.
Rasyid mengangkat kepalanya, memandang wajah bapaknya dengan wajah murung. ‘’Menurut Bapak, mengapa sebuah benda asing dapat masuk ke dalam perut?’’
Jakub mengangkat sebelah sudut bibirnya. ‘’Karena ada iblis yang memasukkannya,’’ jawab Jakub singkat.
‘’Hanya itu?’’ tanya Rasyid, seakan tak puas dengan jawaban bapak kandungnya.
‘’Ya… kau takkan tahu bagaimana iblis bekerja mencelakai manusia. Yang perlu kau tahu, benda mati tidak akan bisa masuk ke perut manusia tanpa ada energi yang menggerakkannya.’’
‘’Termasuk batu cincin Bapak yang ada di dalam perutku kemarin?’’
‘’Tentu saja,’’ jawab Yakub yakin. ‘’Ada iblis yang tak suka denganku atau denganmu.’’
Rasyid menengadah, menatap nanar pada purnama yang menggantung di langit. Tiba-tiba badannya menggigil. Rasa takut menyerangnya dari segala arah. Sedangkan Jacub tak mengerti mengapa putra semata wayangnya itu tampak begitu berbeda dari biasanya. Ia lalu melambaikan tangannya di hadapan wajah Rasyid agar bocah yang belum akil balig itu terjaga dari lamunan.
‘’Pak… seandainya, aku menyentuh barang-barang di kamar Bapak, di luar sepengetahuan Bapak, apa yang akan Bapak lakukan padaku?’’ tanya Rasyid tatkala usai memandang langit.
‘’Aku akan menghukummu. Menyuruhmu menggiring kerbau-kerbau kita ke kubangan dari pagi hingga petang, tanpa mengunakan baju, selama dua hari berturut-turut. Kubiarkan matahari menjilati punggungmu hingga setengah gosong,’’ cetus Jakub. ‘’Mengapa kau mempertanyakan itu, Rasyid?’’
Rasyid membungkuk, memungut sebuah kerikil seukuran biji kelengkeng yang bertebaran di bantaran sungai. ‘’Aku telah melakukannya. Masuk ke kamar Bapak dan menyentuh batu Sri Delima kesayangan Bapak,’’ aku Rasyid dengan wajah cemas.
‘’Kurang ajar!’’ maki Jakub. ‘’Kau tahu itu pusaka berharga? Bahkan aku tega menghabisi siapa saja yang berani menyentuh pusaka berharga itu. Lantas, apa yang kau lakukan dengan batuku sebelum Domar dan iblis-iblis peliharaannya memasukkannya ke dalam perutmu, Rasyid?’’
Tanpa berkata-kata, secepat kilat Rasyid menelan batu kerikil yang ia pungut dengan tubuh gemetar dan penuh peluh. Dengan mata terbelalak Rasyid memegangi batang lehernya, terjerembab menahan rasa sakit.
Jakub terlonjak kaget melihat perbuatan putranya. Lidahnya kelu, hati terenyuh perih. Nyatanya tak ada iblis, yang ada hanya syak-wasangka yang telah menggiringnya ke kolam dosa. (62)
Pekanbaru, 24 Maret 2014
— Ullan Pralihanta, novelis dan penulis lepas di beberapa situs media dan bergabung di komunitas penulis Jaringan Pena Ilma Nafia (JPIN). Tinggal di Pekanbaru.
nurahboram
Mantap, pesan yg bermakna sekali.