Cerpen Julia Hartini (Republika, 06 April 2016)
SORE itu, langit begitu murungnya, padahal matahari belum sepenuhnya pulang ke arah barat. Ketika angin menyeruak bersama udara, tetesan air berguguran mengaliri sungai, memenuhi semesta, membasahi rumah-rumah, gedung bertingkat, dan jalan raya. Para pengendara pun bergegas mencari tempat berteduh sambil nantinya menikmati jajanan hangat yang disediakan penjual bakso atau batagor kuah yang ikut-ikutan meneduh sambil mengais rezeki.
Berbeda dengan pengendara lainnya, Aini dengan tenang mengendarai motor merahnya sambil merasakan dingin air yang menembus pori-pori kulit. Baginya, hujan ialah sahabat, anugerah Sang Khalik.
“Mengapa semua orang takut akan hujan? Bukankan hujan tak bisa dipersalahkan atas segala longsor dan banjir yang terjadi?” gerutu Aini.
“Lantas, adakah luka yang bisa disembuhkan dari segala serapah yang dilontarkan orang-orang yang membenci gemercik air ini?” ucapnya dalam hati.
Dengan kecepatan 30 km/jam, Aini sesekali melihat arah belakang lewat kaca spion. Namun, saat jalanan menurun, “Braaaak!!!” tanpa diduga dari arah belakang, sebuah mobil Kijang yang melaju kencang menabrak motor Aini.
“Bruk!!!” Aini terpental jatuh, kepalanya terbentur jalan raya. Helmnya terlepas jatuh. Dua orang pengendara yang melintas dan melihat kejadian itu mendekat, kemudian menolong Aini yang tak sadarkan diri. Sementara, mobil lenyap, entah ke mana. Penolong itu tak mengejar, yang ada di pikirannya hanya satu. Membawa korban ke rumah sakit.
Tak ada darah yang keluar dari tubuh Aini. Aini pun segera dibawa ke rumah sakit terdekat. Meski di perjalanan Aini mengaduh pusing, dia masih mampu menahan nyeri yang sembilu. Sesampainya di rumah sakit, Aini pun muntah-muntah, dari muntah makanan hingga muntah darah. Saat itu, perempuan yang menolong Aini panik luar biasa, sambil berdoa, ia pun berhasil menghubungi ibu Aini yang dilacak dari telepon genggam milik Aini. Tak butuh waktu lama, ibu pun datang.
Hasil diagnosis, otak kanan Aini mengalami pendarahan. Tanpa mengulur waktu, dokter pun mengambil sikap, menggunduli kepala Aini dan mengoperasinya.
Selesai operasi, Aini belum juga membuka mata, namun sesekali ia mengigau. Igauan Aini membuat ibu cukup bahagia sebab Aini masih bisa merespons kondisi tubuhnya sendiri.
“Aini haus.”
“Aini ingin minum kopi.”
Tiada yang bisa dilakukan seorang ibu yang melihat kondisi anak semata wayangnya terbaring dengan ditemani selang kecil yang mengaliri darah dari labu ke kepala Aini. Ya, saat itu Aini mengalami pendarahan otak yang menyebabkan Aini menghabiskan tiga labu darah. Sebenarnya, ibu tak kuat melihat ini semua, mesin-mesin besar menyala, infus yang masih setia di tangan kanan Aini.
Segalanya telah ibu serahkan lewat guliran doa agar Aini kuat. Agar Aini kelak bisa mengejar utang mimpi-mimpinya dengan penuh semangat.
Sehari berselang, Aini pun membuka matanya perlahan. Selama di rumah sakit, Aini banyak dijenguk kawan-kawannya. Mereka kadang tertawa untuk menghibur Aini dan lebih sering menangis melihat kondisi Aini. Tak banyak yang dipikirkan Aini sebab segala keikhlasan telah ia semai dalam hatinya.
Hari ini pun Aini cukup bersemangat sebab perban di kepalanya telah dilepas dan pemulihan bisa dilakukan di rumahnya. Sebelum pulang, ia dipapah ibunya ke toilet. Tak sengaja, ia berhadapan dengan sebuah cermin, Aini baru sadar bahwa rambutnya kini tak tertinggal sehelai pun. Aini bersedih, kini ia mengerti mengapa kawan-kawan yang menjenguk seakan membendung pedih dalam hati mereka.
“Aku botak,” ucapnya dalam hati dengan mata yang berkaca-kaca.
“Bahkan, aku nyaris seperti alien,” ucapnya lirih.
***
Di perjalanan pulang, Aini menggunakan selendang untuk menutupi kepalanya yang botak dan masih menyisakan segaris luka jahitan belum kering. Ia hanya menunduk, memastikan semua orang tak menyangkanya sebagai “alien”.
Di rumah, ia hanya terdiam, sesekali mengaduh karena sakitnya kadang tiba-tiba datang. Beberapa tetangga pun datang kembali menjenguk, banyak yang membawa makanan, namun Aini tak selera mencicipi makanan itu meski terlihat lezat. Setelah satu bulan di rumah, Aini tetap melakukan pemeriksaan ke dokter, ia pun menggunakan kerudung tanpa ciput sebab lukanya tak boleh ditekan oleh apa pun. Aini sendiri yang meminta selendang-selendang itu untuk menutupi kepalanya.
“Mengapa dokter memotong rambutku?”
“Tak hanya itu, aku sedih sebab aku tak bisa berjalan sendiri.” Aini menahan kekesalan dan kemarahannya sekaligus.
Di rumah sakit, dokter melihat luka itu dan dipastikan Aini sudah bisa dikeramas tanpa takut sesuatu terjadi atas kepalanya. Dalam hatinya, Aini tak tega melihat ibu mengurusnya seorang diri. Meski baru satu bulan berselang, sebagai manusia biasa, Aini selalu merasa ini ujian terberat baginya.
Aini menjadi lirikan banyak orang hingga seorang perempuan mendekati Aini dan ibunya.
“Bu, anaknya sakit apa?” ucap perempuan itu.
“Habis operasi sebulan yang lalu karena kecelakaan.”
“Saya kira habis operasi penyakit tumor di kepala,” perempuan itu menimpali sambil mengusap punggung Aini.
Lagi-lagi Aini hanya menelan kesedihan tanpa mengadukannya pada siapa pun, butuh waktu lama sampai Aini benar-benar kuat dalam menjalani ini. Betapa pun kuatnya Aini bangkit, ketika ada orang yang melihatnya dengan tatapan sedih, semangat itu pun sirna seketika.
“Bu, kalau ada yang menjengukku, lebih baik suruh pulang saja,” ucap Aini sesampainya di rumah.
“Kenapa? Mereka ingin melihat keadaan dan mendoakanmu agar cepat sembuh.”
“Aku sudah sembuh, Bu, jadi tak perlu dijenguk lagi.” Aini pun langsung memasukkan kepalanya di dalam selimut menahan air mata takut jatuh berkali-kali. Aini tak bisa menerima dengan tatapan banyak orang yang mengasihani dirinya.
Saat ini, bukan sakit yang membuatnya meringis, namun kenyataan yang harus ia terima ketika mental yang telah ia bangun harus roboh begitu saja karena kesedihan “mereka” diungkapkan pada aorta tubuhnya.
Setiap hari Aini melihat ibu mengurus dirinya dengan sabar. Aini pun kini bisa berjalan sendiri ke kampus. Kini, Aini menggunakan kerudung untuk menutupi kepalanya. Setiap hari, Aini harus kuat menggunakan angkutan kota. Sering kali sopir angkot ugal-ugalan hingga membuat dirinya terkoyak dan menahan agar kepalanya tak mendapat goncangan hebat saat sopir mengerem, saat sopir melewati jalanan yang bolong, ataupun saat lewat polisi tidur.
Aini mengejar ketertinggalan kuliahnya. Ia kini telah mantap mengenakan kerudung. Bukan karena untuk menutupi kebotakan, melainkan untuk-Nya.
“Mungkin ini jalan yang sudah diberikan- Nya untukku.”
“Allah telah mempunyai cara sendiri untuk hamba-hambanya. Bukankah kecelakaan itu telah membuatku berhijab?”
“Selalu ada hikmah atas segala yang terjadi pada diriku,” ucapnya di depan cermin.
“Tiada yang lebih indah dari ini dan rambutku telah menemukan jalannya.”
Musim pun berlalu, Aini dengan giat berburu kerudung. Ia pun belajar memakai kerudung dari Youtube atau Instagram. Aini tahu, kini memakai kerudung bukanlah hal yang kuno, ia dengan bebas mampu memadupadankan fashion yang ia sukai asal tetap syar’i.
Ada satu kerudung berwarna merah muda yang menarik hati Aini, namun ia sadar giatnya ia mencari kerudung tak boleh menjadi euforia yang berlebihan.
“Mungkin, bulan depan saja, Bu, belinya.”
“Ia, pakai saja yang ada, bulan depan bisa beli lagi,” ucap ibu sambil membenarkan kerudung Aini.
***
Sebulan kemudian, ibu menepati janjinya membeli kerudung merah muda polkadot tanpa sepengetahuan Aini. Kerudung yang ada tinggal satu lagi. Ibu tak sabar memperlihatkan kerudung merah itu untuk Aini, baru saja membayar kerudung, tiba-tiba telepon genggam ibu berdering, bukan telepon, melainkan pesan singkat.
Dalam pesan singkatnya, dikatakan bahwa Aini masuk rumah sakit karena jatuh dari tangga di kampusnya. Ibu yang langsung membaca SMS itu berangkat dengan segera. Lagi-lagi, ibu kembali terkenang beberapa bulan yang lalu di mana ia mengetahui kabar Aini kecelakaan. Saat ini, kejadian itu pun terulang kembali. Sambil membawa kerudung merah muda untuk Aini, ibu tiada henti berdoa dan membiarkan doa-doa itu disampaikan lewat udara.
Benturan keras itu membuat Aini terbaring tak berdaya.
“Ini kerudung yang Aini inginkan, warna kesukaanmu merah mudah dengan polkadot yang menghiasi,” ucap ibu lirih.
Aini tak menjawab apa pun, badannya dingin dan kulitnya semakin memutih. Tubuhnya tak lagi merespons mesin-mesin yang berada di pinggirnya. Udara tak lagi bersahabat dengannya. Tak ada gerakan apa pun. Di ujung hayat, Aini telah menemukan jalannya.
“Kelak, malaikat akan selalu berjaga, menemani Aini.” Ibu memeluk Aini erat, menyisakan air mata di roman Aini.
Ruang semesta, Maret 2014
Julia Hartini lahir di Bandung, 19 Juli 1992. Mahasiswa Program Studi Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Tulisan-tulisannya mendarat di harian umum Inilah Koran, Pikiran Rakyat, Metro Riau, dan Radar Banten. Karya-karya Julia bisa diakses di blognya, akujulia.tumblr.com.
Athi Suqya Rohmah
ritmenya buru-buru
nurahboram
Alurny cepat skali y ngalirny
Shanaz Ar.
Kurang nikmatin alurnyaa -__-