Cerpen Arul Chairullah (Republika, 13 April 2014)
“GHADRAK biya, asshar fiya, ba taghayyarte syuwayya, ba tagh rayarte musy hu bedayah,” sembari menari-narikan sekujur tubuhnya, Harits, pemuda berkacamata kotak itu lantang mendendang lirik lagu Ummi Kultsum. Tangannya melambai-lambai biru langit menyapa burung kenari, sesekali menggayung air pantai dari samping cadik, lalu menyeka raut kusutnya dari kucuran keringat.
“Ya, Said, perahu itu diikuti segerombolan burung, mengapa kita tidak?” tanya Harits sejurus kemudian pada nelayan bertubuh hitam legam yang duduk tenang di sudut perahu.
“O, itu burung Naorus. Mereka suka mengikuti nelayan dermawan. Penasaran?”
Tanpa sepatah kata pun, Said, nelayan bersarung cokelat kopi dengan kumis tebal melintang sekitar purau bibirnya, mengambil ember kuning berisikan ikan Eid bersisik perak mengilat.
“Lihatlah, orang Indonesia!”
Sesaat kemudian, dia melambungkan ikan Eid jauh ke hamparan angkasa. Dan, wow! Satu burung Naorus menangkap, lantas diburu gerombolan lainnya. Menarik!
Selanjutnya, dia melempar ikan kecil tadi di antara gemulai ombak. Tak lama berselang, Naorus kembali berkeroyokan ramai. Ada yang berhasil, kemudian kabur entah ke mana, sebagian juga ada yang berbagi dengan memakannya saat hinggap di tepi beranda kapal tua.
Sepanjang perjalanan, burung Naorus setia mengikuti ke manapun perahu cadik ini berlayar. Hmm, filsafat kehidupan atau serupa pesan alam, setiap orang yang mengasihi pasti akan dan senantiasa dikasihi Tuhan serta semesta, simpulku sederhana.
***
Mukalla, kota elok menawan yang terletak di pesisir pantai selatan Jazirah Arab. Menurut sejarawan Yaman, Shaleh Al Hamid, Mukalla yang dahulu bernama Al Khaimah didirikan oleh Sultan Al Mudzaffar Ar Rasuli pada 605 H sebagai benteng pertahanan. Daerah metropolitan ini pun berkembang pesat dan bertambah populer tatkala salah satu raja Dinasti al-Qu ‘aitiyah (1915 M) menjadikannya sebagai pusat kerajaan.
Kejelitaan alam, kepermaian cantik nan cendayam, apalagi paduan gedung putih bertingkat yang tampak berderet rapi dari arah pantai, kemudian seperti berlari menjauh dan seakan menaiki anak tangga bukit tandus.
“Haaaiiii!”
Terdengar suara teriakan dari arah kapal besar berwarna kelabu tak jauh dari perahu kami berada. Di bagian depan kapal terpampang tulisan “M.V. HOLAR” dengan kibaran bendera Prancis di ujung pagarnya. Mirip kapal legendaris Titanic, hanya saja mediumnya lebih kecil.
Dari sudut Timur kapal tersebut tampaklah bayangan tangan melambai, wajahnya tertutup remang matahari.
Said, yang kemudian disusul dengan Harits, memandangku dengan mimik bertanya. Sejenak kuberpikir, hingga terucaplah kata, “Yalla, naruh hunak!”
Tanpa ragu, Said melaju cepat. Setelah jarak kami berdekatan.
“Hai, dari Melayu?” sapanya bersimpul manis, “Tania Melinda dari Serawak, Malaysia. Boleh awak bergabung?”
Harits kembali menatapku, aku pun mengangkat bahu.
“Terserah kamu, Rits.”
Harits mengacungkan jempol, “Oke!”
Dia pun turun. Bak nona gembala dari lembah Hajjaj, rambutnya terkuncir ikal, kerudung birunya tak kuasa menyembunyikan putih tulang lehernya, apalagi gamis hitamnya mengayun-temayun tertiup angin laut.
Amboi, alangkah cantiknya!
“Kebetulan aku diajak paman mengantarkan rongsokan besi ke beberapa negara. Sepekan mengarungi Samudra Hindia, akhirnya kami sampai di Pelabuhan Mukalla ini.”
Demikian Tania membuka percakapan, selanjutnya Harits terhanyut dalam obrolannya. Kisah jenaka berbuah tawa, keluh kesah bercerita nestapa dan bla… bla… bla….
Sangat memesona kelihatannya apabila dia berbicara dan dengan ulur tarik arus udara kemarau, seolah-olah dia akan menyihir siapa saja lawan bicaranya.
Rambutnya saja dapat disamakan dengan tenunan sutra kelam yang lembut, matanya dapat disamakan dengan sepotong rembulan yang bercahaya, sedangkan suaranya dapat disamakan dengan ritme ilalang malam yang merdu.
Sementara Harits asyik bercengkrama, aku lebih senang mendengar tembang riak ombak, menghitung pernik kilau mentari di antara gelombang dan mengeja rentetan awan putih di pelataran lazuardi yang mirip kerumunan domba.
Alhamdulillah.
Lentik jariku sedari tadi sibuk merakit tiap kata menjadi potongan kalimat indah. Sampai ujungnya… Sret!
Harits merebut lembaran itu dariku. Aku sempat terpancing emosi, tapi harus kutahan. Dia cermati seksama. Lantas tersenyum.
“Tania, baca ini. Keren gila!”
“Rits!” Ancamku menggenggamkan tangan.
Tania menatapku. Aku paksakan senyum palsu. Dasar! Awas kau, Rits! Gerutu batinku. Tania mulai membaca.
Cinta…
Cinta dikata derita
Derita dikata cinta
Cinta cinta bilang derita
Derita derita bilang cinta
Mau cinta? Bilang derita
Mau mau bilang cinta
Mau derita? Bilang cinta
Mau mau bilang derita
Ya cinta, ya derita
Ya derita, ya cinta
Tak ya cinta, tak ya derita
Ya tak derita, ya tak cinta Insha.
Hanya cintaku, Insha.
Perlahan, auranya sendu. Pipinya merona anggun.
“Insha,” bisiknya lirih.
“Siapa Insha?”
“Bualanku saja,” tukasku singkat.
“Entahlah, a…ak…ku,” ucapnya terbata, kalimatnya patah, “ak…aku cemburu dengannya!”
“Hah. Cemburu?!”
Sontak aku kaget. Memang siapa dia?! Aneh-aneh saja ketus batinku.
Sejenak kemudian, keadaan menjadi hening. Tania berpaling memandang langit biru di luar sana, segerombolan burung terbang dengan kepakan sayap yang gagah.
“Hmm, nama kamu?” dengan menunjuk kepadaku.
“Reza, Reza Firmansyah.”
“Hmm, Reza, pernahkah kau jatuh cinta?”
“Sejujurnya, aku tidak tahu cinta itu apa.”
Tania tercengang. Dahinya mengernyit heran.
“Lalu, tulisan ini?” katanya menyodorkan secarik kertas tadi.
“Sudah kubilang itu hanyalah imajiku saja. Lagi pula, aku tak pernah beruntung untuk bisa jatuh cinta dengan seorang wanita. Bahkan, sebenarnya saya tidak kenal dengan wanita manapun.”
“Ibumu? Nenekmu? Bibimu?”
“Aku dilahirkan sebagai anak jalanan. Jadi, aku sama sekali tak mengenal mereka. Tapi, cara Tuhan menjagaku, menyayangku selama ini, itulah cinta bagiku.”
Tania mulai meneteskan air mata. Harits terdiam tanpa kata.
“Ta… tappi,” tandas Tania serak, “Bagaimana kamu setenang ini, dan Insha, siapakah dia, Reza? Kau tak pernah merasakan sakit hanya dengan membayangkannya?”
“Sakit?!”
Lagi-lagi ku tersenyum.
“Cinta itu karunia Tuhan, jadi bagaimana bisa ada sakit dalam cinta? Tentang Insha, aku tertarik dengannya karena aku melihat Tuhan dalam dirinya. Pergi dari siapa pun, itu mungkin, tapi bagaimana cara pergi dari Tuhan? Ke manapun aku lari, Tuhan akan hadir.”
Sekarang, Tania terharu sendu, pualam pipinya mengendap, bersembunyi di balik selendang biru.
“Kamu beruntung tak pernah jatuh cinta, Reza,” ucap Tania menatapku syahdu setelah perlahan mengusap sisa rinai air matanya.
“Dulu, aku sempat membuka pintu untuk cinta, namun kemudian kututup rapat. Aku berpikir, cinta itu hanya membuatku lemah, membuatku egois. Kemudian, puisimu datang, mengetuk dan seakan menarikku cemburu. Dari penjelasanmu, aku tahu apa cinta sejati itu.”
“Kamu membangkitkan cinta dalam diriku kali ini, cinta yang telah lama kubunuh dari diriku sendiri. Adapun tentang mengharapkan balasannya, cinta tak mesti terbalas. Aku kagum padamu.”
Aku, Harits terperanga kaget.
“Jangan kuatir, aku tak bermaksud apa pun. Hanya ingin kau tahu betapa istimewanya pertemuan denganmu, meski sebentar saja.”
Tttuuutt… ttuuuuttt….
Seorang nahkoda kapal memanggil Tania dari atas ruang kemudi. Saat itulah Tania merasa sudah tiba waktunya untuk pamit dan melanjutkan perjalanan.
“Sekarang saatnya kita berpisah.”
“Yup. Senang bertemu denganmu,” kata Harits sopan.
“Reza…” Tania menyapaku kembali.
Aku memandangnya dengan cara yang berbeda. Bola matanya menyiratkan beberapa makna yang cukup mudah kubaca.
“Reza,” panggilnya lagi, “Kita berjalan di atas jalur cinta. Di ujung jalan kita bertemu kembali.”
Dia bergegas naik ke anak tangga kapal. Di atas kapal layarnya, Tania melambaikan tangan, tanda perpisahan. Kini, kapal itu menjauh, semakin jauh dan sangat benar jauh.
Kubasahi mukaku dari sengatan terik mentari. Tetesan air laut bercampur aduk dengan keringat. Kupejamkan kelopak mata, kuhirup udara khas pantai Semenanjung Arabia. Segar. Damai.
Baru saja menikmati panorama pantai, Said, awak perahu keturunan Etiopia berteriak.
“Hai kalian! Lihatlah!”
Aku pun menoleh ke arah yang ditunjuknya.
Hah?!
Alangkah terkejutnya diriku melihat Tania dan sosok gadis jelita menari-nari di atas birunya lautan di bawah naungan indah pelangi.
Aku terperanga, mataku terkejap-kejap dan mulutku menganga. Apakah ini cuma khayalanku? Ternyata tidak karena Harits pun melongok sepertiku.
Mereka bermain bersama buih ombak, menembus sisa gelombang pasang malam. Ajaib. Mereka tampak bahagia, mata mereka cemerlang seperti bintang kejora. Wajah mereka murni tanpa dosa, sampai tiba saatnya mereka berceloteh riang.
“Kita berjalan di atas jalur cinta. Di ujung jalan kita bertemu kembali.”
Tania. Dan, gadis itu, diakah Insha, inspirasi imajiku selama ini?! Bukankah dia telah tiada semenjak dua tahun yang lalu?!
Dalam iringan takbir dari sudut kota, dua jelmaan bidadari itu berlari memasuki lingkaran istana pelangi. Disepuh cahaya keemasan siang membuat gerakan larinya semakin menakjubkan.
Kucoba menengok ke atas, hanya berkas cahaya berkilauan.
Allahu akbar… Allahu akbar…
Azan Zhuhur menyeruak serempak dari ratusan menara Kota Mukalla. Hari ini aku melihat sandiwara penduduk langit. Mungkin saja Tuhan ingin berpesan kepadaku bahwa kematian memang mengakhiri hidup seseorang, tapi tak pernah mengakhiri arti hidupnya.
Tak ayal, bilamana kematian seorang terkadang justru menjadi sumber kebangkitan atau kemajuan, bergantung tapak tilas yang dia wariskan kepada manusia selanjutnya.
Seketika kubertanya, seberapa berartinya diriku bagi kehidupan?!
O Tuhan, betapa eksotik opera langit dengan warna-warni cinta-Mu. Aku ingin berarti untuk kehidupan. Aku akan menelusuri jalur-Nya. Semoga lekas tiba. Tujuan: Opera Langit.
Catatan Kecil Mukalla-Hadhramaut, Februari 2013. 130522, 22:22.
Kosakata:
“Ghadrak biya, asshar fiya, ba taghayyarte syuwayya, ba taghrayarte musy hu bedayah”
(Kamu khianati aku, engkau perlahan berubah, perubahan yang tak seperti semula)
“Yalla, naruh hunak!”
(Ayo, kita pergi ke sana)
Alumnus Fakultas Syareat Universitas Ahgaff, Yaman, Aktivis FLP Pasuruan dan Juara I Bilik Sastra Award 2013, VOI-RRI.
Muhammad rizal bumshal
Bagus banget, tadz!