Cerpen Tjahjono Widijanto (Suara Merdeka, 13 April 2014)
1357 Masehi: Kawali-Kabantenan
PANJI-PANJI itu berkelebatan di mana-mana, diusung dan dikibar-kibarkan oleh prajurit- prajurit penunggang kuda dan gajah yang gagah. Pasukan bersama panji-panji berkelebat- kelebat itu berderap dengan langkah teratur dengan rumbai-rumbai kebesaran membentang membujur ke kiri dan ke kanan dengan formasi garuda nglayang, burung garuda yang melayang lamban tapi gagah membentangkan sayap-sayapnya. Di mata bocahku warna-warni panji-panji megah itu mengingatkanku pada dongeng Emak tentang rambut bidadari yang berkibar-kibar keemasan turun ke mayapada dengan lesung pipitnya membuat moyangku kepincut dan jatuh hati padanya.
Sebagai bocah tak ada yang mengusikku bila aku berkeliaran dari ujung ke ujung barisan, juga kalau aku bandel menuju ke induk pasukan pengawal mencoba mendekati tandu indah yang diusung delapan pengawal berotot yang di sekelilingnya dijaga tak kurang dari empat puluh prajurit bertombak dan empat puluh prajurit berpedang. Ingin sekali aku meraba dan menarik juntaian kain lembut rumbai-rumbai itu untuk mainan. Namun selalu saja seorang prajurit akan menjewer telingaku dan berbisik, ‘’Kau tak boleh dekat-dekat, Bocah. Itu tandu Gusti Pitaloka!’’
Sebagai bocah aku hanya dapat menggerundel. Tapi aku langsung bersorak saat aku menjumpai teman sebayaku, Wastu Kencana (1). Ah, yang tepat dia bukan teman sebayaku namun bendaraku karena aku cuma anak seorang emban yang bertugas mengasuhnya di dinding keraton dan bapakku cuma seorang prajurit pengawal berpangkat kroco. Bersama Wastu Kencana aku bisa mendekati tandu sang putri dan berhasil membetot berapa helai surai-surai sutera hiasan tandu. Ketika melewati prajurit pengawal yang tadi menjewer kupingku, dari balik punggung Wastu kujulurkan lidah mengejeknya. Wajah prajurit yang basah oleh keringat itu langsung tampak masam namun tak bisa berbuat apa-apa kecuali cuma bisa mendelikkan matanya yang merah karena lelah.
Karena Wastu pula, malam itu aku dapat tidur di dekat tandu itu. Malam terang benderang. Bulan tampak begitu merah bagai bola besar yang sesekali seperti berlumuran darah berlelehan di cakrawala. Aku tak begitu memedulikannya karena kantuk yang datang menyergap mata bocahku. Aku terlelap di antara kaki-kaki para prajurit yang bersilangan.
Fajar pecah. Mendadak aku terbangun dikagetkan dengan terompet kerang yang memekik-mekik di udara. Para senapati berteriak-teriak memberikan aba-aba. Para prajurit berlarian mempersiapkan senjata-senjatanya. Kuda-kuda meringkik dan gajah-gajah tunggangan dibangunkan para sratinya. Semua orang menggenggam senjata yang telanjang dan berbaris dengan formasi tempur.
Muncullah rajaku, Sri Maharaja Baduga. Sudah tua tapi tetap gesit, gagah dan cekatan. Beliau tampak tampan dengan kumis dan cambang yang hampir memutih. Di sampingnya kulihat Gusti Putri Pitaloka. Pakaiannya sudah berganti tak lagi mengenakan pakaian mempelai tapi pakain kesatria. Di pinggang kanannya keris bergantung dan cundrik menyembul di pinggang kirinya. Wajah dan matanya merah dan sembab. Kucari-cari Wastu Kencana namun tak kutemukan ia.
Pagi mulai sempurna ketika Maharaja mengangkat pedangnya dan berteriak, ‘’Tak ada yang dapat mempermalukan aku, puteri dan kerajaanku. Kematian adalah tempat paling indah bagi orang yang menjunjung martabat dan kehormatannya!’’
Terompet kerang kembali meraung. Di depan tampak pasukan lawan, begitu beringas, ganas melanda seperti topan. Berlari dengan formasi dirada meta, gajah perkasa yang mengamuk. Para prajurit di sekelilingku berteriak, mencabut pedang, merendahkan tombak, memasang anak panah, dan memutar hulu keris dan kujang. Prajurit kuda menderap, disusul gajah yang menerjang dan langit dipenuhi dengan bising anak panah.
Sesaat kemudian pasukan bertubrukan dan orang-orang mulai bergelimpangan. Tangan kecilku menghunus cundrik yang tak pernah berpisah dari tubuhku. Kuacung-acungkan dan turut larut dalam pusaran. Kulihat bapakku langsung terkapar di tanah dengan usus terburai. Sempat kulihat pandangan yang menakjubkan, tubuh rajaku penuh panah, merah dan sempurna. Matanya tetap tajam memandang ke muka sebelum rebah ke tanah. Kulihat juga Puteri Pitaloka, seperti kelopak mawar merah dengan duri-durinya layu dengan sempurna merangkul bumi. Namun tak berhasil kutemukan Wastu Kencana sampai sebilah pedang menyambar leher bocahku. Sesaat kemudian hujan mendadak tumpah dari langit (2).
Mur Jangkung
SENJA menjelang turun. Dari pembaringanku di balik benteng kokoh ini warna laut membayang sempurna abu-abu dengan latar loji-loji dan benteng perkasa yang dulu kubangun dengan terlebih dahulu meluluhlantakkan kekuasaan Jayakarta, pangeran pribumi itu (3). Aku tak akan mengelak kalau banyak orang mencapku sebagai penghancur mahatega, kejam tak kenal ampun. Di jagat ini tak ada satu pun kekuasaan yang dibangun tanpa ada darah yang tak tertumpah. Pendahuluku, Cornelis de Houtman, yang sekadar singgah di Bandar Jakarta pasti tak akan mengira, bandar ini kini menjadi kota baru model Barat dengan nama gagah, Batavia, lengkap dengan benteng dan Lapangan Kasteel mirip dengan Hoorn kota pelabuhan, kota kelahiranku yang cantik di Belanda Utara.
Sejak itu tak ada lagi yang dapat menahan lajuku. Pengaruh kekuasaan dagangku terbentang merentang tidak saja di Nusantara tetapi juga di Srilangka, dari Tanjung Harapan hingga Jepang. Kuhabisi para pesaing abadiku, pedagang-pedagang Spanyol dan Portugis di seluruh kawasan nusantara ini. Para penguasa pribumi takluk di bawah kakiku dan petani-petaninya mesti menjual murah pala, cengkeh dan tanaman rempah lainnya hanya pada VOC. Kalau ada yang membangkang kuhabisi tanpa sisa seperti saat aku membantai penduduk Banda yang coba-coba melawanku (4). Sejak itulah di seluruh telatah ini tak ada yang tak gemetar mendengar nama Mur Jangkung alias Jan Besi alias Ijzeren Jan alias Tuwan Besar Gubernur Coen, dan kota ini makin masyhur ke segala penjuru.
Kini aku cuma menjelma lelaki jangkung berusia 42 tahun yang tampak tua rapuh dan tak berdaya dalam ranjang. Penyakit kolera yang dibawa prajurit-prajurit dari Mataram melanda dahsyat kotaku. Aku, Mur Jangkung yang tak pernah silau kilap pedang, yang tak pernah miris oleh hujan mimis dan pelor, telah bertempur puluhan kali di berbagai aneka medan peperangan, kini tak berdaya dihantam penyakit jahanam ini.
‘’Kau memang javaan keparat, Rangsang!(5)’’
Aku tak pernah bertemu dengan Raja Mataram itu. Namun kubayangkan pastilah ia seperti kebanyakan penguasa pribumi lain. Warna kulitnya cokelat tua, ukuran badan yang pendek untuk ukuran Eropa, badan gempal yang berotot, bertelanjang dada dengan kuluk yang tinggi, terompah kulit sebagai sandal kaki, dan bibir yang merah karena mengunyah kinang.
Menurut berita ia telah menaklukkan seluruh Jawa kecuali Batavia ini. Pati, Blora, Surabaya, Jepara, Pasuruan, Blambangan, semua tunduk belaka padanya, tak heran pasukannya begitu hebat dan pemberani. Seandainya saja Batavia tak punya meriam-meriam dan senjata api berlebih, seandainya gudang-gudang persediaan bahan pangan pasukan mereka di Keߺrawang tak dapat disabotase,tentu benteng ini telah berhasil direbut dan tubuh jangkungku pasti sudah terayun-ayun di tali gantungan di depan benteng. Tapi bukankah lebih nikmat bagai seorang prajurit bila mati di ujung pedang daripada tergolek tak berdaya di ranjang terkena wabah sialan ini?
Tak henti-hentinya aku mengutuk dan terbatuk- batuk. Diam-diam di laci-laci hatiku sebagai sesama penguasa aku menaruh hormat padanya. Kembali terngiang kata-katanya yangdisampaikan pada utusanku, Rijcklof van Goens.
‘’Rikelop, sampaikan pada Mur Jangkung, aku bukan seorang pedagang seperti Sultan Banten. Karena itu jangan mimpi aku terpikat rayu kompeni (6)!’’
Tak lama kemudian bagai angin topan armada laut dan daratnya datang membadai mengurung Batavia dari empat penjuru mata angin. Dua tahun Batavia menjelma kota hantu kelabu. Badai topan itu kembali pulang dengan meninggalkan sisa amis darah, bangkai, kolera jahanam dan Mur Jangkung yang menjelma bayi tak berdaya dengan bayang-bayang suram.
Senja beranjak menjadi lengkap malam. Bayang-bayang tembok benteng seperti hantu raksasa yang bergoyang-goyang. Keleneng genta penanda waktu sudah ditabuh di puncak benteng. Lampu-la mpu minyak pelita dipasang di ujung-ujung lorong, juga di setiap muka rumah orang Belanda. Orang-orang pribumimenyalakan minyak jarak di halamannya. Udara laut begitu panas tapi aku menggigil dalam selimut tebalku. Awal malam seperti ini tak akan kutemui di Hoorn. Ah, apakah kelak akan dibangun patung untuk mengenangku di pusat kota itu? Patung Coen anak hilang yang menjadi Mur Jangkung di balik lautan?
Bayangan kota Hoorn yang indah tiba-tiba membentang di depan mataku. Ada ngilu di jantung bersama wajah Mami dan Papi yang mendadak muncul. Aku makin gigil dan menenggelamkan kepala makin dalam di balik selimut.
‘’Papi, Papi… mengapa kau tega mencacah kulit mulusku dan melemparkan pacarku ke dalam laut?(7)’’
Sarah, anak angkatku tiba-tiba berdiri di sisi ranjang membuka selimut yang membungkus kepalaku. Wajahnya tampak pucat dan kurus seperti hantu kulit putih yang dulu sering diceritakan Mami padaku.
‘’Jawablah Papi. Apakah salah seorang Noni Belanda mencintai seorang kelasi? Bukankah Kerajaan Bapa di Surga terbuka bagi siapa saja tak peduli apakah ia anak kelasi, anak pribumi, atau anak kulit putih?’’
‘’Tak ada yang salah, Sarah. Yang salah hanyalah karena papimu Gubernur Jendral VOC!’’
Bulan sempurna memanjat malam. Kulihat lagi Hoorn kota pelabuhanku yang cantik di Belanda Utara. Kulihat pula Papi dan Mami melambai-lambaikan tanganya. Kurasakan udara dingin bersalju, makin dingin dan aku tambah menggigil.
‘’Sarah, semoga kau sempat melihat patungku kelak benar-benar dibangun di alun-alun kota Hoorn….’’ (8)
Kampung Pecah Kulit
KULIHAT orang-orang telah berkumpul berdesak-desakan di luar tembok kota sebelah selatan di kawasan Jacarta Weg. Udara penuh debu, lonceng kota baru saja berdentang sebelas kali. Kota sedang panas-panasnya meski sekarang musim hujan. Beberapa orang perkasa menyeret tubuh jangkungku. Sepintas aku melirik Layeek, pemuda Sumbawa karibku itu mencoba meronta dan melawan. Sia-sia. Beberapa serdadu menendang dan memukuli mukanya membuatnya terkapar dan kemudian menyeretnya dengan wajah membenam ke tanah. Debu-debu merubung kepala, rambut dan seluruh tubuhnya. Aku tak mencoba meniru usahanya karena toh akan sia-sia juga.
Beberapa orang mendekat lagi dan mengikatkan tali pada kedua pergelangan tangan dan kedua pergelangan kakiku. Kasar tampar tali itu membuatku kulitku terasa gatal. Mereka mencencangnya kuat-kuat dan darah terasa membeku di pergelangan tangan dan kaki. Orang-orang berteriak-teriak. Pribumi-pribumi yang ada kebanyakan diam dengan wajah tegang. Beberapa di antaranya memalingkan muka. Beberapa lagi yang mencoba beringsut meninggalkan tanah lapang, dihardik serdadu untuk balik lagi menonton.
Seorang anggota Reeyke Heere (9) berkacak pinggang membungkuk, mulutnya menyeringai berdesis di depan hidungku, ‘’Apa yang yang sekarang kau pikirkan Tuan Pieter Erberveld (10) yang jahil?’’
Kutatap erat-erat bola matanya, lalu tersenyum. ‘’Rasa cinta yang tumpah luar biasa, Tuan?’’
‘’Orang yang mau mati memang sering punya pikiran aneh-aneh, Pieter.’’
‘’Tidak Meneer, ini benar-benar rasa cinta yang dalam. Dan jangan iri, rasa cinta ini selamanya tidak dapat Tuan rasakan!’’
Meneer Reeeyke Heere itu tak menjawab tapi memukul wajahku dengan kerasnya. Aku tak perduli. Aku tak merasakan apa-apa lagi. Kesempatan yang mungkin tinggal sekian sekon kupergunakan untuk mengabadikan apa-apa yang kucintai ini pada rekaman mataku yang terakhir.
Wajah orang-orang bumiputera yang sederhana, bau tanah Batavia yang khas, rumah-rumah yang berjajar di Jacarta Weg, juga camar-camar yang beterbangan di atas pantai di pinggiran kota.
Beberapa serdadu menuntun 12 ekor kuda jantan yang gagah dan tegap. Serdadu-serdadu itu lalu mengikat tangan-tangan dan kaki-kakiku pada empat ekor kuda. Juga tangan dan kaki Layeek dan Raden Kartadirya pada kuda-kuda yang lain.
Semua mendadak membisu. Angin terasa lamban bergerak. 12 orang algojo duduk di punggung 12 kuda dengan pecut yang teracung- acung ke udara. Tubuhku dan tubuh kawan-kawanku bergelantungan di antara kaki-kakinya. Udara begitu sesak dan panas.
Seseorang petugas maju, membuka gulungan kertas dan dengan lantang membacakan maklumat.
‘’Atas perintah Coolage van Hemmraden Schepenen, Dewan Pejabat Tinggi Negara. Hari ini dijatuhkan hukuman mati pada Pieter Erbelved. Dan sebagai kenang-kenangan yang menjijikkan pada si jahil terhadap negara, dilarang mendirikan rumah, membangun dengan kayu, meletakkan batu bata dan memanam apa pun di tempat ini, sekarang dan selama-lamanya!’’( 11)
Suara pecut meledak di udara. Orang-orang berteriak, menjerit-jerit ngeri. Empat kuda yang disatukan dengan mencencang tangan dan kakiku berpacu bagai topan ke empat penjuru yang berbeda. Tulang-tulangku gemeratak. Kulit-kulitku bagai disamak, tercacah-cacah. Masih kulihat sempalan-sempalan tubuhku berceceran di mana-mana sebelum semua menjelma jadi warna merah semata (12)…. (62)
Catatan:
(1) Niskala Wastu Kencana adalah tokoh yang disebut dalam Prasasti Kawali- Kabantenan. Pada saat Perang Bubat, Niskala Wastu Kencana masih kanak-kanak dan satu-satunya keluarga Raja Pasundan yang tidak tewas dalam peperangan. Dalam beberapa versi lainnya, misalnya dalam Carita Pasundan, Niskala Wastu Kencana ini dipercaya sebagai anak Maharaja Sri Baduga dan adik Dyah Pitaloka.
(2) Peristiwa ini diabadikan dalam Kitab Pararaton sebagai peristiwa Pasundan-Bubat,1357 Masehi. Diabadikan juga dalam Carita Pasundan, Pupuh XVIII: ‘’manuk doi prebu maharadja lawasniya ratu tujuh tahun nkena kabawa ku kalawisaya, kabancana ku suwa di manten, ngaran tohan mundut agung dipipanumbasna urang reya sangkan nu angkat ka jawa mumul nu lakian di sunda, pan prarangrang di majapahit….’’
(3) Jan Pieterszoon memilih Pelabuhan Jakarta sebagai pusat perdagangan Belanda di Asia. Mulanya VOC hanya diizinkan memiliki satu loji (1610) namun pada 1619 berhasil menaklukkan Pangeran Jayakarta, mendirikan kota Batavia lengkap dengan bentengnya. Keberhasilan JP Coen ini dilaporkan tulisan-tulisan Valentjin pada awal abad ke-18 yang menjadi wiracarita Belanda yang gemilang.
(4) Kekejaman JP Coen paling besar adalah genosida pada 1621 terhadap penduduk Banda yang mencoba melawan monopoli perdagangan pala yang diterapkan VOC.
(5) Raden Mas Rangsang adalah nama kecil Sultan Agung Hanyakrakusuma Panembahan Senapati Ing Alaga Sayidin Panatagama Khalifatullah, Raja terbesar Mataram (1613-1645). Satu-satunya Raja di Jawa yang tak mau tunduk pada Batavia pada masa itu. Sultan Agung bahkan mengirim pasukan untuk mengepung Batavia dua kali, 1628 dan 1629.
(6) Dialog dalam cerpen ini berdasarkan Arsip VOC, laporan Meiling-Reolofsz, dalam buku Critische Beschouwing van de Sadjarah Banten, (Haarlem, 1913).
(7) Menurut Djulianto Susantio, pemerhati sejarah dan budaya yang menelisik riwayat JPCoen, pada catatannya berapa hari sebelum dia meninggal, Coen masih sempat menyiksa anak asuhnya, Sarah, yang tertangkap bercinta dengan seorang pelaut (kelasi) dan sang pelaut langsung dihukum mati.
(8) Salah satu monumen penting di Hoorn adalah Patung JP Coen yang berdiri indah di alun-alun pusat kota. Pembangunan patung Coen yang diresmikan pada 1893 itu menimbulkan pro-kontra. Yang kontra menganggap patung itu hanyalah pengkhianatan pada kemanusiaan karena memberi penghormatan sia-sia terhadap pembantai terbesar dalam sejarah Belanda. Eric van de Beek, tokoh masyarakat yang anggota Burgerinitatief (Prakarsa Warga) menuntut agar Patung Coen dipindahkan dari alun-alun Hoorn ke museum.
(9) Komisaris VOC untuk urusan Bumiputera.
(10) Pieter Erbelveld adalah seorang warga Batavia berdarah Indo-Jerman. Erberveld dengan dukungan dari Kesultanan Banten (Raden Kartadirya dan seorang pemuda Sumbawa bernama Layeek berencana melakukan pemberontakan besar-besaran terhadap penguasa Belanda yang rencananya dilaksanakan pada 31 Desember 1722. Rencana makar ini bocor dan Pieter bersama kelompoknya ditangkap dan dihukum mati. Kisah tragis Erbelveld ini dapat dirunut dalam buku karya sejarawan Belanda Profesor Dr Goode Molsbergen berjudul NederlandschOostindische Compagnie in de AchiendeeEeuw.
(11) Dialog ini dikutip dari Betawi, Queen of Feast oleh Alwi Shahab.
(12) Hukuman mati yang dijatuhkan bagi Pieter Erbelveld sangat kejam dan sadis. Biasanya hukuman mati dijatuhkan pemerintah Batavia waktu itu dengan memancung korban atau menggantungnya di depan Stadhuis. Tapi Pieter Erbelveld dihukum dengan cara tangan dan kakinya diikat pada empat ekor kuda yang dipacu ke empat penjuru mata angin yang berlawanan sehingga bagian-bagian tubuhnya putus dan terpecah-pecah. Setelah itu rumah dan tanahnya di sekitar Jacarta Weg dibumihanguskan dan di tempat itu didirikan tugu peringatan berisi larangan menanam dan membangun apa pun di tempat itu dalam bahasa Belanda dan bahasa Jawa. Di tugu itu pula dipancangkan tengkorak Erbelveld dengan tombak yang yang menancap di tengkorak kepalanya (Simak Nusa Jawa: Silang Budaya 1 oleh Denys Lombard).
— Tjahjono Widijanto lahir di Ngawi, 18 April 1969. Menulis puisi, esai, dan cerpen di berbagai media massa.
Maheswara Mahendra
Bagus, lancar dan ada gregetnya. Tks
adita
Bagus sekali. Saya menikmati karya sastra sekaligus belajar sejarah