Cerpen Ana Mustamin (Media Indonesia, 13 April 2014)
1/
TELEPON genggam itu bergetar lagi. Dan untuk ke sekian kali, ia meraihnya dengan perasaan rawan.
“Ya?” Telinganya menguping lebih tajam. “Sa… saya akan bicara dengan Ibu!”
Suara dengan timbre kasar menghardik. Membuatnya seperti terjengkang.
“Se… sebelum jam sembilan!” Meski tergeragap, ia berusaha meyakinkan.
Telepon di seberang ditutup. Ia meletakkan benda itu dengan hati-hati di atas meja dapur. Hatinya lungkrah.
Ini telepon ketiga sejak ia menunaikan salat subuh tadi. Jika ia boleh memilih, ia tidak ingin memiliki telepon genggam. Ia tahu, tidak seorang pun yang akan menghubunginya melalui benda kecil itu, kecuali lelaki itu. Lelaki dengan racun di kepalanya.
“Anakmu harus membayar uang sekolah!” begitu biasanya ia memulai.
Padahal, pekan lalu, ia mengirim uang ke kampung.
“Itu SPP. Yang ini uang buku!”
Bisa akhir bulan padahal.
“Harus hari ini. Kalau enggak, anakmu akan dikeluarkan dari sekolah!”
“Tapi…”
“Hei! Kalau ndak bisa cari biaya sekolah, suruh anak itu ngamen saja. Jadi kuli. Buruh tani. Jangan sok-sokan jadi anak sekolahan!” Lalu telepon dibanting.
Menyisakan pedih yang melolong panjang di lorong hatinya.
Ia mengusap dadanya. Sambil menarik napas, tangannya mulai menyiapkan minum dan sarapan. Tapi kali ini pikirannya bercabang-cabang. Kepalanyaberisik. Suara-suara berseliweran danbertalu. Ngamen saja! Jadi kuli! Buruh tani! Kalimat itu terus menggedor-gedor. Berkelindan dengan suara dan rupa putranya. Sungguh, anaknya tidak boleh mengulang jejak bapaknya yang preman kampung. Ia mau mempertaruhkan apa pun demi keinginannya menisik hari depan yang lebih baik. Bukankah ia pernah merelakan diri menjauh ribuan mil, melewatkan hari dengan mimpi buruk yang mengerikan, hanya untuk sebuah keinginan sederhana: menyekolahkan anak.
Dan laki-laki itu! Laki-laki yang ditakdirkan menjadi bapak, namun tak pernah jera menjadikan anaknya sebagai tameng untuk memeras keringatnya. Perempuan itu mendadak pening. Kepalanya kian berisik. Sekujur tubuhnya seperti ditusuk-tusuk benda tajam. Dan punggungnya, oh, ia kembali merasakan nyeri. Ketika kulit yang tipis itu mulai mengelupas, menyisakan kawah yang menganga perih.
“Mbak… mbak…,” ia mendengar suara cemas si ibu.
Ia merasa kepalanya tersedot ke dalam kotak televisi di sudut dapur. Ia mendengar suara mendengung, hiruk-pikuk, makian, dan umpatan dalam bahasa yang sebagian besar tidak dia pahami. Lalu sebuah wajah berputar bagai gasing: perempuan bercadar yang rajin membenturkan kepalanya di tembok, menyetrika punggungnya, dan menyekapnya berjam-jam di kamar mandi.
Lidahnya kelu, suaranya tercekat. Padahal, ia ingin berteriak. Jenak berikutnya, ia merasakan semuanya berputar, berpusar. Menenggelamkannyake lubang hitam. Sumur tanpa dasar.
2/
“Mbak masih trauma!”
Lelaki di hadapannya menatap lunak, mendengarnya penuh perhatian. Tangannya sibuk mengencangkan ikat dasi.
“Suaminya juga terus memerasnya. Mbak minjam uang lagi untuk dikirim ke kampung.”
Lelaki itu masih terdiam. Tapi perempuan itu tahu, suaminya sedang mencerna kalimatnya satu per satu.
“Saya masih harus membawanya terapi hari ini!”
Ia lantas termangu, membayangkan rupa kuyu yang sedang terbaring di kamar belakang.
Perempuan yang dipanggilnya si Mbak itu resmi menjadi bagian dari keluarganya sejak enam bulan lalu. Ia jatuh iba. Ini kasus terparah yang pernah ditanganinya. Ia memperjuangkan kasus ini melalui proses panjang dan berliku, dengan cara diam-diam. Karena harus meminjam mulut suaminya.
Meski mengeram di rumah, sejatinya ia perempuan yang bekerja sungguh-sungguh di malam-malam lengang.
Mengumpulkan data, mengolah, dan menyusunnya menjadi sejumlah rekomendasi. Ia seperti menanam biji harapan di sebuah kota yang asing, dengan pemerintah yang hanya bisa mabuk, dan penduduk yang ingin memberontak tapi tak berdaya. Sebuah kota purba. Setiap pagi saat terbangun, ia mengumpulkan potongan puzzle nasib sejumlah perempuan. Perempuan yang rela mengembara ke negeri jauh, dengan mimpi mengangkasa, namun kemudian jatuh berdebum sebelum akhirnya terperosok dalam labirin hitam dan sunyi, nyaris tanpa ujung.
Tahun ini ia mencatat puluhan kasus tenaga kerja perempuan yang mengalami kekerasan di berbagai negara. Kasus terkini ialah seorang perempuan yang harus mengakhiri hidup dengan cara meloncat dari jendela apartemennya.
“Ia mengalami kekerasan seksual dari majikannya,” kata pewarta di TV. Bagi banyak orang, berita itu mirip sarapan. Tak mengirimkan daya kejut. Tapi tidak baginya. Tetap saja hatinya serasa terbentur-bentur.
“Papa jadi meeting dengan Menteri Tenaga Kerja? Data dan agenda yang papa butuhkan sudah saya susun,” Ia menyodorkan komputer tablet. “Termasuk Komnas Perempuan. Khusus kasus Thailand, masih saya dalami. Siang nanti saya kirim ke e-mail Papa…”
Laki-laki itu menyudahi sarapannya. Lalu mencium ubun-ubunnya. Panjang dan dalam. Sebelum akhirnya berbisik pamit. “Terima kasih, Sayang. Papa berangkat….”
Ia mengantar sampai mobil yang menelan tubuh suaminya menghilang dari pandangan. Perasaannya masih hangat. Pikirannya hangat. Selalu hangat.
Ia ingat, dulu ia menemukan lelaki itu sebagai sesama aktivis di kampus. Lelaki berwajah sejuk, namun sangat hemat suara. Awalnya, lelaki itu membangun karier sebagai arsitek, sebelum akhirnya mengikuti jejak kakeknya jadi politikus.
Ia mendukung. Termasuk memilih menyurutkan diri dari lingkaran aktivis perempuan. Ia menggunakan bekal ijazahnya tentang studi gender untuk membuat lelakinya bersinar sebagai legislator, anggota dewan yang bukan hanya bersih dari segala tindak korupsi, tapi juga dikenal vokal terhadap nasib perempuan. Mengingat semuanya, ia tak henti bersyukur. Kebahagiaannya paripurna. Kalau saja semua perempuan seberuntung dirinya….
3/
Malam merangkak tergesa. Tak ada bintang yang mampir di jendela kaca. Hanya sinar yang membias dari berbagai gedung jangkung di sekitarnya. Ia baru selesai menyeduh kopi ketika menangkap suara yang begitu akrab di telinganya.
Suara yang membuatnya meloncat meraih remote control TV, membesarkan volume. Tubuhnya yang mungil pun serasa ikut mengembang di sofa.
Ia sungguh tidak ingin melewatkan pemandangan indah di depannya. Pemandangan yang, entah kenapa, senantiasa membuat dadanya berdenyar. Lelaki itu seolah menyimpan magnet pada seluruh permukaan wajahnya. Suaranya yang magis mengkritisi langkah diplomasi pemerintah yang dinilainya lemah. Intonasinya tenang, tegas, dan dalam. Dan yang lebih penting, ia selalu bicara sistematis di hadapan wartawan, dengan data dan analisis yang komprehensif. Dan, demi Tuhan, mengapa laki-laki pintar selalu membuat perasaannya meleleh? “Saya belum bisa membuat kesimpulan final,” suara itu terekam ratusan mikrofon wartawan…. “Saya akan berangkat ke Bangkok besok untuk menggali informasi yang lebih lengkap….”
Ia terlonjak. Bangkok? Besok? Ia melenguh. Waktu melesat seperti pembalap Formula One. Kepalanya yang sibuk, kerap tidak bisa mengejar peristiwa. Pekan lalu, semua stasiun TV menyoal kekerasan yang menimpa tenaga kerja perempuan di Hong Kong. Kemarin di Arab Saudi, dan malam ini di Bangkok. Perempuan-perempuan malang, keluhnya.
Tiba-tiba ada sekelebat cemas. Ia meraih telepon, dan tak sabar mengirim pesan pendek. Sesuatu sedang mendesak-desak di dadanya. Tak bisa menunggu. Tidak seperti lampu merkuri yang sabar menerangi malam, bahkan ketika malam berkhianat dengan pesta kembang api. Butuh sekitar 30 menit bagi lelaki itu untuk mencapai apartemennya di lantai 27. Ketika daun pintu terkuak, ia tak sabar untuk tidak melompat ke pelukannya. Dadanya gemuruh.
“Aku memastikan diri untuk mencalonkan diri kembali!” Itu kabar pertama yang dibawa tamunya.
Perempuan itu tersenyum ringan. Lelaki itu sudah mantap untuk maju kembali di pemilu legislatif. “Kenapa enggak korupsi seperti yang lainnya?” Suaranya menggoda.
“Hanya jika kamu izinkan,” suaranya merajuk. “Mereka memilihku dengan satu alasan: aku tidak membiayai kampanye dari hasil korupsi.”
Ah, percakapan yang menjemukan. Padahal, waktu mereka tidak banyak. Dan ia sedang tidak ingin menyusul ke Bangkok.
“Atau, aku harus berhenti….”
Perempuan itu meletakkan jemarinya yang lembut di mulut lelaki itu. “Bisakah kita bicara sesuatu yang lebih menyenangkan?” Napasnya yang halus mulai memburu. Bukankah ia selalu mempersetankan berapa pun cek yang harus ia tanda tangani untuk memuluskan jalan lelakinya ke gedung parlemen? “Aku kangen….”
Dan si suara magis itu, seperti biasa, tahu betul kapan harus diam. Di apartemen itu, ia selalu lebih suka membiarkan mulutnya tersesat pada bibir dan sepasang bulu mata di depannya, pada tubuh mungil di balik gaun tipis yang meringkuk di sofa. Lalu merelakan setiap yang berdetak merajai waktu: jam dinding, denyut jantung, dan aliran darah yang menderas membuncah. Di saat seperti itu, waktu berhenti. Meski di luar jendela, udara menyusut.
***
Ana Mustamin, sastrawan yang telah menulis sejak 1980-an. Karya-karyanya tersebar di sejumlah media. Selain menulis fiksi, ia bergiat sebagai praktisi asuransi.
Leave a Reply