Fahdiant Uge, Fandiant Uge

Jurus Pamungkas

0
(0)

Cerpen Fahdiant Uge (Suara Merdeka, 20 April 2014)

Jurus Pamungkas ilustrasi Toto

AKU sebenarnya tidak setuju dengan usulan Mama. Menurut agama manapun, bunuh diri bukan cara terbaik untuk menyelesaikan masalah. Masih ada cara lain yang lebih manusiawi. Memang utang sebegitu banyaknya tidak mungkin terbayar dalam tempo singkat. Apalagi lima laki-laki bertubuh kekar dan bertato yang gemar membentak dan menampar hanya memberi tenggat hingga Senin depan. Harta dan barang berharga lenyap dijual. Tersisa perabot-perabot lusuh, pakaian kumal, dan lukisan ikan koi berjumlah delapan, yang kata Papa itu sebagai penarik keberuntungan. Sepertinya lukisan tersebut tidak memiliki daya tarik yang kuat, buktinya keluarga kami terjerat utang dan berujung sedemikian sial. 

Ketika kusampaikan usul untuk tidak mati bunuh diri, Mama justru menghardik dengan nada memekik. Itu melawan kehendak takdir Tuhan dan tuntutan agama. Beliau justru menanyakan apa agama yang kuanut. Aku kelabakan menjawab dengan benar. Papa keturunan Tiongkok, tapi tidak taat dengan agama Buddha. Sedang di KTPMama tertera Islam, tetapi juga suka merayakan Natal dan memasang lampion saat Imlek. Benar kata orang, agama tidak perlu disebut-sebut di KTP. Ketiga anaknya pun demikian. Mira, kakak perempuan yang dua tahun lebih tua, baru-baru ini saja sering ke gereja. Itu karena sedang dekat dengan lelaki yang rajin sekali menghadiri misa Minggu pagi. Ernest, adik saya yang masih duduk di kelas sepuluh, sudah dua kali berganti agama dengan alasan seenaknya. Sedang aku? Aku lebih percaya bahwa semua agama sama. Dan Tuhan manapun, baik itu milik Mama, Papa, Mira, maupun Ernest, akan tetap mengabulkan doa.

Aku tidak mengerti kapan Mama dan Papa tiba-tiba terlilit utang sedemikian besar. Setahuku toko obat mereka baik-baik saja. Berlima kami hidup tidak pernah kekurangan. Meski hidup kami juga tidak pantas disebut berlimpah. Rumah tak bisa dikategorikan mewah. Cukup besar memang. Maka sangat tidak mungkin ketika tiba-tiba, saban hari ada lima lelaki berbadan kekar dengan tampang garang menagih uang. Sekali dua kali, Mama masih bisa melawan dan memberi alasan  untuk mengundur jatuh tempo. Tetapi makin lama, kelima lelaki semakin tidak sabar dan merampas barang-barang berharga dari rumah. Mobil sedan butut, sepeda motor matik satu-satunya. Dirasa kurang, perampasan semakin merangsak ke dalam. Rumah makin kehilangan isi. Aku, Mira, dan Ernest harus merelakan gadget kami beralih tangan dengan paksa.

Baca juga  Petualangan Pluppi

***

LIMA ratus juta. Mama dan Papa menyampaikan jumlah uang yang aku sendiri tidak terlalu memercayainya. Untuk apa uang sebanyak itu? Papa tertunduk tidak menjawab. Mungkin ini ada hubungannya dengan hobi Papa main judi. Tetapi setelah sering kami desak, Mama akhirnya bercerita, Papa terlilit utang dengan rentenir saat berencana membangun toko obat di pinggir jalan yang lebih ramai, toko obat milik keluarga kami akan banyak menarik pelanggan. Rencana tak selama seindah milik Papa. Harapan kadang berakhir sekadar harapan, saat tiba-tiba sederet ruko dan termasuk ruko milik Papa ludes terbakar. Peristiwa itu menyisakan utang dan semakin membengkak di tangan pengepul bunga. Meski kebakaran itu ditengarai direkayasa demi agunan asuransi, kami tetap tak berkutik. Lilitan utang makin lama makin mencekik.

Mengapa Papa tidak meminta tolong ke saudara-saudara, aku bertanya demikian karena saudara adalah sandaran pertolongan. Sejujur kemudian aku ingat, saudara mana yang harus dimintai tolong Papa. Aku tidak pernah tahu keluarga besar milik Papa. Juga Mama. Kami berlima seperti keluarga yang keluar seketika dari persembunyian. Tanpa pernah tahu pangkal keluarga berada di mana. Untuk perihal ini aku mendapatkan dua kisah yang sedikit berbeda. Menurut Papa, semua keluarganya yang keturunan Tiongkok habis terbakar di tengah huru-hara 1998 dan penjarahan kaum peranakan. Sedang menurut Mama, Papa diusir dari keluarga besarnya karena menikahi Mama yang Islam dan bukan orang Tionghoa. Lalu bagaimana saudara Mama dan keluarga besar? Mama hanya diam. Mungkin suatu saat nanti akan ada dua versi cerita juga yang hampir sama.

Papa menjawab datar bahwa sebuah keluarga harus mandiri dan lepas dari induk semang orang tua maupun mertua. Papa dan Mama sering mengatakan bahwa hidup di atas kaki sendiri itu susah luar biasa. Meski tercekik dan terhimpit, jangan sampai meminta pertolongan orang lain. Ini percaya diri atau arogansi?

Sekuat apa pun kami mempertahankan harga diri, lima laki-laki garang akan terus datang dan menagih uang. Barang-barang berharga kami seperti tidak cukup menutup utang yang terus dalam. Berhubungan dengan rentenir adalah memusuhi waktu. Semakin hari jumlah bunga tak keruan seperti terus membelah diri. Semua tabungan kami serahkan tetap tak mampu mengubah raut muka kelima laki-laki itu. Bahkan sesekali Mira menjadi korban kegenitan mereka. Bagaimana pun tubuh sintal Mira tidak akan cukup menutup utang keluarga kami. Hanya cukup menyumpal mulut lima laki-laki agar tidak main kasar dan memaki melulu.

Baca juga  Sarung Azan Simbah

Rumah yang biasa riuh dengan suara televisi tiba-tiba senyap dan mulai dikepung gelap. Cahaya yang lolos dari luar seperti menebar teror dari lima lelaki bertubuh besar. Mama dan Papa mengurangi aktivitas ke luar rumah.  Toko sudah lama ditutup. Kami benar-benar dicekik ketakutan.

Malam itu, kami kecuali Ernest, duduk melingkari meja makan. Nasi yang terhidang tak mengundang selera makam. Mira terus saja merunduk. Mira sudah berkali-kali mengatakan dengan lantang, lebih baik mati ketimbang harus jadi umpan lima laki-laki penagih utang itu.

Papa memulai bicara, besok ia akan ke rumah kawannya di kota yang menjadi anggota dewan. Papa akan meminjam uang dengan janji bakal memenangkannya di pemilihan caleg. Mama diam karena buntu tidak bisa membantu. Piring dibiarkan diam. Gelas menganga tidak dijamah. Suasana malam itu mencekam meski tidak ada memedi atau setan. Kalau besok sore uang itu tidak ada, entah apa yang akan dilakukan lima laki-laki yang mirip Samson atau jelmaan Tarzan itu.

***

PAPA pergi pagi sekali. Ia tidak ingin berjumpa dengan tetangga yang membuat kikuk menjawab pertanyaan seperti hunjaman senjata tajam. Setelah Papa pergi, Mama mengumpulkan Mira dan aku di ruang tengah. Apa pun yang bakal terjadi, kami bertiga harus bersama. Ernest tidak bisa diandalkan. Papa belum tentu kembali dengan uang sedemikian banyak. Dan yang pasti akan datang adalah lima laki-laki penagih utang berbadan tegap tetapi berperilaku kalap itu.

Sebotol obat nyamuk cair. Tali tambang. Pisau pengiris buah supertajam. Ditambah cairan karbol pengusir kuman virus di jamban. Mama menyiapkannya mirip menyiapkan hidangan makan siang.

Pintu ditutup rapat. Mama bilang, kalau sore Papa belum datang, kami bertiga harus buru-buru menghabisi nyawa kalau tidak mau menjadi sansak lima laki-laki tampan namun berperangai setan itu. Aku dan Mira mengiyakan, meski sedih tidak ketulungan.

Baca juga  Shaf Kosong

Mama memilih tambang untuk menggantung diri. Mira tidak tega memotong nadi dengan pisau pengiris buah. Ia memilih menegak obat nyamuk cair. Sedang aku terpaksa mendekatkan pisau itu ke nadi. Dan berjaga-jaga.

Jam seperti menggelinding. Cepat sekali. Sepertinya baru selesai kami berdiskusi memilih cara bunuh diri, tiba-tiba azan Asar sudah berkumandang. Sejam lagi pintu itu bakal digedor lima laki-laki paling kejam. Semakin mendekati waktu yang dijanjikan, aku menderas doa-doa yang kuhapal. Apa pun itu. Mama sudah menalikan tambang di plafon. Mira menuang obat nyamuk cair di gelas. Adegan seperti ini sebenarnya tidak kuinginkan menjelang kematianku. Tetapi apa daya, jam sudah tiba. Pintu sudah digedor. Itu pasti lima laki-laki penagih utang.

Mama yang sudah siap, langsung menendang kursi pijakan. Tubuh Mama terayun-ayun mirip adegan film Tarzan. Mata Mama melotot dan lidah terjulur. Mira sambil menangis dan mengucapkan kecintaan pada kekasihnya, menegak obat nyamuk cair. Seketika mulut Mira berbuih putih. Pisau buah yang kusayatkan ke nadi, merobek nadi dan mengucurkan darah. Ternyata kematian dengan pisau adalah kema- tian paling lama. Dalam samar mata di tengah-tengah masa sekarat, kusaksikan Mama mati tergantung dengan posisi menyeramkan. Mira kejang-kejang, mendelik dengan buih putih terus menggunduk. Dan kulihat pintu depan didobrak keras. Macam adegan perampokan. Ernest masuk dengan tas cangklongnya. Ernest menjerit.

‘’Mengapa kalian buru-buru mati? Sudah kubunuh rentenir dan anak buahnya.’’

Ernest memekik sambil menangis. Samar kusaksikan Ernest meraih cairan karbol. Mataku pekat. Aku berebut nyawa dengan malaikat.(62)

 

 

 

Yogyakarta, Maret  2014

— Fahdiant Uge, lahir 26 Juli 1990. Cerpennya dimuat di banyak media massa. Belajar menulis fiksi di Kampus Fiksi, penerbit DivaPress Yogyakarta.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

15 Comments

  1. Wow, ending yg sangat jauh di luar dugaan. Ceritany bagus

  2. wow, endingnya membuat saya ternganga.

  3. Fahdiant

    Kepada Admin saya mohon untuk dibenarkan,
    Nama saya Fahdiant Uge, sepertinya koran salah mencantumkan menajdi fandiant di bawah judul cerpen.

    Terimakasih, mohon maaf merepotkan.

    Fahdiant

  4. wow ceritanya menampar sekali. ini pelajaran bahwa bunuh diri bukanlah jalan terakhir 😀 <asal menyimpulkan

  5. Keren. Penuturannya bagus meski konflik tidak terlalu berat. Seandainya sisi psikologis Aku yang taku/ragu/engan bunuh diri lebih di tonjolkan pasti lebih menarik. Salam

  6. Endingnya bikin gue berseru, “Jiah…!?!?” hahaha…

  7. Bagus banget, temanya keren dan ending luar biasa. Ernest memang Prakarsa, eh Perkasa 🙂

  8. Endingnya mirip film India 😀 Ernest mirip Sharukh Khan *ngakak baca koment Mas Bamby 😀

  9. Wah! Luar biasa cerpen ini! 😀

  10. Fahdiant

    Mohon maaf, cerpen saya masih kacau. Mohon di”rujak” saja biar nanti setelahnya makin enak

    Fahdiant

  11. Fuad. A

    Seram

  12. Mas Fahdiant keren, belajar di mana? 🙂

Leave a Reply

error: Content is protected !!