Cerpen Aguk Irawan MN (Media Indonesia, 18 Mei 2014)
SAAT Kiai Madrikun turun dari mobil mewahnya, orang-orang yang menunggunya sudah berjubel, berebut untuk mencium tangannya. Semakin tangan kiai disembunyikan, semakin ramai orang yang berebut, berdesak-desakan sampai ada yang jatuh. Ia sebenarnya tidak sealim kiai-kiai lain di daerah itu, tapi ia punya keistimewaan. Selain pandai berpidato, Kiai Madrikun juga dikenal sebagai ahli pengobatan alternatif. Pesantren yang dirintisnya lima tahun lalu kini telah menjadi pesantren paling berpengaruh di daerah itu.
Bangunan pesantren berdiri megah di tengah kerumunan rumah-rumah reyot. Ada tiga gedung bertingkat dan semuanya berlantai marmer. Maka wajar saja, nama Kiai Madrikun begitu melejit, selalu menjadi buah bibir. Tak hanya di daerahnya, ia juga tersohor hingga pelosok-pelosok. Tak jarang beberapa pejabat dari pusat selalu menyempatkan sowan, minta doa dan restu pada Kiai Madrikun.
“Kiai Madrikun itu masih cucu keempat dari Kanjeng Sunan Kalijaga,“ kata Kang Rozi, temanku, yang mengaku sering mengikuti pengajiannya.
“Suwuk-nya itu, lo. Sekali tiup, sakit pasien langsung bablas dan minggat. Kalian tahu, Paijo anak Pak Erte tukang tambal ban itu? Ia kena usus buntu, lalu dibawa ke Kiai, tak sampai sehari, langsung sembuh.”
“Apa benar Kiai sudah mendapat karomah?” tanyaku penuh selidik pada temanku itu. Setahun ini ia menjadi tangan kanan Kiai Madrikun.
“Bisa jadi. Tirakat Kiai Madrikun memang sudah lama,” jawab temanku, yang biasa dipanggil Ustaz Mujib itu.
“O pantes, pesantren itu baru berusia lima tahun, tapi sudah begitu besar.”
***
Lima tahun lalu, untuk pertama kalinya Madrikun menjadi orang linglung. Hartanya ludes. Uang yang dikeluarkannya tidak sebanding dengan jumlah suara yang dijanjikan tim suksesnya. Ia tidak saja kalah dalam pemilihan calon anggota legislatif, tapi juga merasa telah dikhianati. Saat itu, aku masih kuliah semester dua di Yogyakarta. Lalu ia stres dan sempat dirawat beberapa hari di rumah sakit, sampai badannya kurus dan rambutnya tak terurus. Aku ingat betul waktu itu karena jarak rumah Madrikun dengan rumahku sekitar 500 meter saja.
Aku tidak menyangka dia sampai sakit seperti itu karena rumahnya sudah terjual dan utang-utangnya menumpuk, istri dan dua anaknya meninggalkan Madrikun dalam keadaan sakit jiwa. Madrikun kemudian tinggal bersama emaknya yang sudah tua, di pinggiran kampung. Rumahnya kecil dan lapuk. Mbok Piah, begitu orang kampungku menyebut ibu Madrikun, merawat anaknya dengan telaten.
Karena Madrikun sakit jiwa, anak-anak kampung sering menggoda dan memperlakukannya sebagai mainan. Sambil cengengesan mereka mengusik Madrikun, “Orang gila, orang gila….“ Lidah anak-anak itu dijulur-julurkan ke muka Madrikun. Madrikun mulai marah. Ia mengejar anak-anak usil itu. Mereka lari pontang-panting, lalu tertawa lega setelah berhasil menghindar dari kejaran Madrikun.
Kejadian ini berlangsung entah sampai berapa lama. Menurutku, mungkin lebih dari dua tahun. Kini setelah aku lama tak pulang kampung, lulus kuliah dan bekerja di Yogyakarta, barulah aku tersentak melihat perubahan Madrikun. Aku segera mengumpulkan kabar yang bisa menjelaskan perubahan nasib dari orang sakit jiwa itu menjadi kiai yang sangat disegani.
Beginilah kisah yang kudengar:
Setelah Mbok Piah meninggal dunia, secara ajaib Madrikun sembuh dari sakit jiwanya. Seminggu kemudian ia menjual tanah dan gubuk reyotnya untuk modal membuat warung kopi di pinggiran kampung. Tempatnya ilegal karena warung itu berdiri di bantaran sungai, tanah milik desa. Semula warung Madrikun hanya menyediakan kopi, teh, dan minuman sejenis. Tapi, lama-lama menjadi tempat berjudi para belantik sapi dan makelar tanah. Segera saja warung kopi milik Madrikun menjadi ramai.
Salah satu yang datang untuk bermain judi adalah teman separtai Madrikun dulu, yang kini sudah menjadi anggota dewan satu periode, dan akan melanjutkan untuk periode kedua. Ia ikut nongkrong sambil bermain kartu dengan makelar tanah dan belantik sapi itu. Tak lama berselang, di warung Madrikun tersedia berbagai jenis bir dan arak. Warung itu kian ramai saja oleh pembeli dan para penjudi. Usaha Madrikun maju pesat. Ia tidak saja mendapatkan keuntungan dari warung, tapi juga dari togel yang dibandarinya. Madrikun memperoleh bantuan modal usaha dari teman anggota dewan itu.
Meski sehari-harinya bandar togel, Madrikun selalu mengenakan sarung, berkopiah putih, dan baju koko lengan panjang yang sudah agak kusam warnanya. Entah lungsuran dari siapa.
“Madrikun, ah kamu rupanya pantas menjadi kiai,“ kata temannya.
“O iya, begini-begini dulu pernah mondok…“ kilahnya dengan sangat percaya diri. Lantas anggota dewan itu seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Kalau begitu, lebih baik kamu buat proposal untuk pembangunan pesantren. Nanti saya atur, mesti diajukan ke mana. Tapi nanti kalau sudah cair, jangan lupa bagian saya!“
“Kalau itu bisa diandalkan, aku segera membuat proposal itu, Kawan!“ jawab Madrikun, bersemangat.
Sejak saat itu, Madrikun sibuk membuat proposal demi proposal, dengan arahan dan petunjuk dari temannya yang sudah sukses itu. Usaha Madrikun membuahkan hasil. Dari sekian proposal yang disebar, ada beberapa yang diterima. Tak lama kemudian berdirilah sebuah pesantren.
Sejak pesantren berdiri, Madrikun menutup warung kopinya dan beralih menjadi pengasuh pesantren, tepatnya pemilik pesantren. Awalnya cuma bangunan sederhana, hanya dapat ditempati sekitar 50 santri. Lama-lama pesantren menjadi besar. Dan tiga gedung megah pun berdiri. Madrikun mengangkat seorang direktur. Juga merekrut beberapa sarjana lulusan Mesir untuk mengajar di sana, dengan gaji yang tinggi. Proposal demi proposalnya terus berhasil. Apalagi jika ada kunjungan pejabat pusat, mereka nyaris tak lupa meninggalkan amplop untuk Kiai Madrikun.
Tak hanya itu, Madrikun juga sering bolakbalik dari kampung ke kota. Dalam seminggu, kadang sampai dua kali. Ia turut membantu teman anggota dewan itu mengurus proyekproyek bernilai miliaran.
Adapun cerita mengenai keahliannya dalam pengobatan alternatif, sekilas pernah kudengar kabar, ia memang pernah tinggal di hutan dan melakukan tirakat di sana. Konon, setelah menjadi orang sakti, Madrikun terlibat dalam pencurian kayu. Menurut cerita dari mulut ke mulut, saat ada razia judi besar-besaran, Madrikun tiba-tiba menghilang begitu saja.
***
Menjelang zuhur, masyarakat di kampungku dikejutkan oleh pemandangan ganjil. Sejumlah orang tiba-tiba datang menjemput Kiai Madrikun. Ia diringkus paksa dengan tangan diborgol, lalu digiring ke dalam mobil khusus.
Sementara itu, petugas lain memasang papan nama dengan tulisan `Bangunan ini Dalam Pengawasan KPK’ di halaman depan pesantren. Dari jarak yang tak seberapa jauh, sejumlah orang melihat peristiwa itu dengan sorot mata yang redup. Tak tampak lagi kerumunan orang berebut untuk mencium tangan Kiai Madrikun. Satu orang pun tidak!
Yogyakarta, 2014
Aguk Irawan MN, alumnus Universitas Al Azhar, Kairo, Mesir.
Menulis novel dan cerpen. Buku terkininya, Haji Backpacker, sedang dalam proses untuk dilayarlebarkan.
tarnno
Bagus, tema fiksi ysng merangkum tema agamis, politik dan nuansa zaman kini yang sedang berjalan..!
rina rinz
lumayan …
firmansick
gak seperti yang saya bayangkan, saya kira si kyai bakal jadi sukses. Eh… Ternyata malah koruptor 😀
bilal
kontekstual sekali. bak baca sepotong berita di koran, tapi dengan imbuhan judul: cerpen.
pino
Bagus…:)
Agus Sulistiyo
izin share ya