Cerpen Taufik Ikram Jamil (Koran Tempo, 25 Mei 2014)
KALAU hanya satu atau dua orang warga yang melaporkan kehilangan suara, kehilangan suara yang sesungguhnya, Abdul Wahab mungkin tidak begitu risau. Tetapi nyatanya, dalam satu hari ini saja, sudah tiga orang yang melaporkan hal ihwal serupa kepadanya. Tidak hanya karena sebagai Ketua Kampung, sebagai warga biasa pun, Wahab – demikian ia selalu disapa—pastilah merasakan bahwa peristiwa tersebut bukanlah kejadian biasa, malahan sesuatu yang luar biasa.
Sambil menyeruput kopi petang itu, tiba-tiba saja ia begitu yakin bahwa pelapor dalam kasus yang sama akan terus bertambah, terus bertambah. Perasaan itu yang menyeret langkahnya menuju halaman rumah. Dibiarkannya kopi yang tinggal setengah dalam gelas batu tanpa tutup dengan panas yang masih menyengat. Lupa ia bahwa masa seperti itu, Biah yang dinikahinya 40 tahun lalu, segera menemaninya sambil berbincang tentang apa saja sebelum senja melipatkan jubah merah kesumbanya untuk malam.
Wahab tak menghentikan langkahnya di halaman, malahan mengayunkan kakinya ke jalan. Memandang kiri-kanan jalan, mana tahu ada warga lain yang datang untuk maksud melaporkan kehilangan suara. Berdiri sambil melipatkan tangan ke belakang, arah pandangnya kemudian menerawang, seolah-olah menembus segala yang tampak. Mendongakkan sedikit kepala, makin jelaslah bahwa matanya bukan mengarah pada satu titik yang dekat, tetapi melayang begitu jauh, pun tanpa fokus tertentu.
Jalan terasa amat lengang. Maklumlah, saat-saat seperti itu tidak mengundang perasaan warga di kampung tersebut untuk keluar rumah. Mungkin saja mereka masih di tengah laut yang merupakan tempat utama penduduk di sini memperjuangkan nafkahnya. Pengerih, alat tangkap ikan andalan, akan diangkat menjelang magrib nanti. Kalau untuk menjaring dan merawai, mereka ke laut setelah nelayan pengerih berada di daratan.
Ada juga sedikit petani di kampung ini. Tidak petani betul agaknya, karena kampung tersebut hanya memiliki lahan kebun sagu. Sayur-sayuran atau tanaman lainnya dikerjakan tidak sungguh-sungguh alias matan, hanya sekadar pengisi ruang. Itu pun tak banyak tentunya. Sementara pencari hasil hutan seperti damar dan kayu-kayuan, saat ini dipastikan masih membanting tulang, setelah istirahat sejenak melepaskan lelah.
Alkisah, meski tak sekejap berada di pinggir jalan, Wahab tidak berjumpa dengan seorang pun. Membalikkan badan, ia dengan sendirinya berhadapan dengan halaman rumah. Melihat daun-daun mangga atau yang disebut warga di sini sebagai daun-daun mempelam berserakan, ia teringat Biah. Perempuan itulah yang menanam tiga pohon tersebut di halaman rumah.
Pikirannya pun langsung ke serambi belakang, tempat kopi bersama suasana dengan Biah yang ditinggalkannya tadi. Cepat perasaannya meraba bahwa Biah pasti sedang menunggunya di sana, ingin menghabiskan sisa siang bersamanya dalam bincang-bincang atau sembang yang datar.
Entah bagaimana asalnya, Wahab menahan dulu kerisauannya tentang laporan kehilangan suara, untuk diceritakannya kepada Biah. Pasalnya, peristiwa tersebut dirasakannya amat pelik, tidak dapat dicarikan sebab-musabab beserta asal-muasalnya. Sesuatu yang dirasakannya lain, tidak seperti biasanya, di mana Biah sekian lama menjadi tumpuan segala luahan perasaannya.
WAHAB tidak menemui Biah di serambi, sedangkan gelas kopinya masih mengangkang. Ia raba benda tersebut, sejuk telah menyelimuti minuman itu. Tapi diminumnya juga air berwarna hitam tersebut ketika kopi itu masih panas. Beriringan dengan gerakannya melosorkan tubuh di lantai yang beralaskan tikar pandan, ia berucap pelan, ‘’Ke mana pula si Biah ini?”
Tak biasanya Biah seperti sekarang. Seingatnya, tiada hari tanpa mereka lewatkan masa-masa semacam ini. Biasanya Biahlah yang lebih dahulu berada di serambi tersebut sambil membawa dua cangkir kopi untuk mereka masing-masing. Memang, kecuali dirinya, Biah kadang-kadang menyambilkan diri dengan menyulam pandan untuk dijadikan tikar, juga membalik-balik jemuran agar keringnya merata. Meski dalam keadaan demikian tidak sedikit pun Wahab merasa apa-apa yang disampaikannya kepada Biah baik berupa gagasan atau mungkin sekadar keluhan, menjadi terganggu.
“Apa cerita kita hari ni Bang?” selalu Biah bertanya demikian, kalau Wahab tidak membuka mulut dalam beberapa saat.
Wahab menyembar pertanyaan tersebut dengan kekehan. Tetapi bersamaan dengan ketawa setengah jadi tersebut, berbagai cerita seperti membentang di mukanya, bagaikan tulisan yang minta dibaca. Setidak-tidaknya adalah kisah yang berhubungan dengan apa yang dikerjakan Biah sendiri, termasuk bahan tikar yang dianyamnya. Apalagi hal yang tengah merisaukannya, tentu melompat begitu saja dari mulut.
Wahab tersentak. Apakah mulutnya dapat menahan kisah laporan warga yang kehilangan suara ketika menghadapi pertanyaan Biah semacam itu? Kalau ia menahan diri untuk mengungkapkan kerisauannya tersebut, apakah Biah tidak merasakannya? Pasti Biah mengetahui bahwa ia telah menyimpan sesuatu yang dapat mengundang perasaan yang tidak-tidak. Bisa saja Biah menjadi buruk sangka, menganggapnya tidak berterus-terang. Bukankah setelah hampir setengah abad hidup bersama, sudah beranak dan bercicit pula, hendaknya tidak ada sesuatu yang dapat menjadi rahasia di antara mereka?
Lalu, dari mana ia harus mengawali kisah orang yang kehilangan suara itu ketika diceritakannya kepada Biah? Haruskah ia merunutnya dari awal, semisal bagaimana Firdaus datang ke rumah dua hari lalu. Ia melaporkan kehilangan suara anaknya yang berangkat dewasa, Kirman. Mungkin juga ia menceritakan saja tentang laporan tiga warga hari ini, yaitu Samad, Dolah, dan Katik. Samad malahan membawa seorang warga yang dilaporkan kehilangan suara itu, bernama Bokir, untuk langsung bertemu Wahab.
Akankah digambarkannya bagaimana Bokir yang dilaporkan kehilangan suara ketika berhadap-hadapan dengannya. Mulut Bokir memang terlihat komat-kamit seperti mengatakan sesuatu, tetapi tidak mengeluarkan suara. Ini seperti juga dilaporkan beberapa warga, disadari oleh Bokir maupun keluarganya secara tiba-tiba saja. Menjadi masalah, karena setidak-tidaknya kejadian tersebut merupakan keadaan terbalik dari keadaan sebelumnya: keadaan dari memiliki suara menjadi tidak memiliki suara, apalagi terjadi seperti tiba-tiba begitu saja.
KALAU sudah diceritakannya kepada Biah, apa yang akan dibuat selanjutnya? Mencari sebab-sebab warga kehilangan suara, kemudian bagaimana mengatasinya, termasuk tentang bagaimana agar kehilangan suara tersebut tidak terjadi lagi? Pertanyaan-pertanyaan tersebut memang tak mungkin dapat dijawab, apalagi dituntaskan, dari hasil perbincangannya dengan Biah. Tetapi mungkin Wahab dapat berbagi kerisauan tanpa beban dalam suasana yang ditentukannya sendiri. Mungkin dalam suasana yang hampir alami tanpa harus direka untuk itu.
Tak bisa lain, Wahab harus membicarakan laporan kehilangan suara itu dengan pemuka-pemuka kampung yang lain. Segera akan ia panggil tokoh tua sekaligus ulama H. Bahar, tokoh muda Dirham, dan Kobar dari kalangan pendidik. Nama-nama lain seperti Harun, Azman, Zul, Rente, dan Bai, tak mungkin dilupakannya. Bomo atau dukun Kamis, jangan sampai ditinggalkan. Seperti biasa, ia akan minta Biah menyediakan minuman atau sekadar makanan kecil, keladi serawak dengan kelapa muda diparut. Bila memungkinkan, apa salahnya disediakan lempeng sagu ditambah sambal belacan.
“Tapi Biah di mana?” tanyanya dalam hati.
Pertanyaan serupa diulanginya lagi. Tapi ketika ketiga kali pertanyaan tersebut belum selesai diulangi, Wahab bangun dari duduknya. Berhenti sejenak, seperti mengambil ancang-ancang untuk berdiri, kedua tangannya bertumpu di lantai, seperti ikut mengangkat tubuhnya. Bukan tubuhnya yang berat – ia tergolong kurus – tetapi berbagai pertanyaan mengenai laporan kehilangan suara dan keberadaan Biah yang entah di mana, seperti menumpukkan beban di badannya.
“Biah,” panggilnya, begitu berada di ambang pintu. Tak ada jawaban, sehingga panggilan itu diulanginya lagi. Diulangi berkali-kali. Tetap tak ada jawaban. Cepat ia mengambil kesimpulan, berarti Biah memang tidak di rumah karena kalau ada, pastilah sang istri menyahut panggilannya. Di rumah ini hanya tinggal mereka berdua. Anak-anak mereka telah lama berumah sendiri.
Cuma saja, Wahab tetap masuk ke dalam rumah. Ruang keluarga, ruang tamu, bahkan kamar tidur, sekejap saja telah selesai ia sambangi. Begitulah akhirnya, ia menemui Biah di ruang makan yang berdempetan dengan dapur. Perempuan itu menatapnya. Pandangan mereka beradu. Tapi sapaan Wahab justru disambut Biah dengan menunduk.
“Biah?”
Bukannya menjawab, Biah malah makin menunduk. Ketika muka perempuan itu pada gilirannya terangkat pelan-pelan, Wahab melihat tali air mengucur deras dari mata istrinya itu, dengan mimik tangis yang tak terkendalikan.
“Engkau menangis? Engkau menangis? Tapi….” Wahab tak berani meneruskan kalimat itu yang sambungannya pastilah berupa pertanyaan lagi, “Tapi mengapa? Tapi tanpa suara?”
Begitu banyak pertanyaan. Begitu banyaknya….
Taufik Ikram Jamil menetap di Pekanbaru, Riau.
nurahboram
Tidak ada penyelesaian masalah ya, tidak jelas ceritany