Erna Surya

Kelelawar di Atas Kepala Mama

4
(1)

Cerpen Erna Surya (Suara Merdeka, 22 Juni 2014)

Kelelawar di atas kepala mama ilustrasi hery purnomo

MAMA tak pernah marah padaku. Ia selalu muncul sebagai peri nan cantik. Rambut panjang mama tergerai indah, itu yang selalu kulihat. Selebihnya, suara lembut yang kudengar bila ia dekat-dekat denganku. Mama tak pernah meninggalkanku di malam hari. Pernah aku tersedak ketika tengah makan malam. Ia menepuk-nepuk punggungku seraya berkata, ’’Tak apa-apa.’’ Ah, mama yang baik.

’’Kau sudah besar.’’ 

’’Belum, Ma.’’

’’Ini tinggimu sudah sebahu Mama.’’

’’Mama yang terlalu pendek.’’

Lalu kami berdekapan. Pelukan Mama menjadi sesuatu yang menenangkanku. Juga saat sekelompok kelelawar datang padaku di tengah malam. Aku bangun. Kaget. Keringat dingin mengucur. Aku bilang, aku takut Ma. Kelelawar itu banyak sekali. Awalnya mereka hanya terbang di dekat jendela. Aku diam. Lalusatu kelelawar masuk lewat lubang celahudara. Aku mulai takut. Dan akhirnyasemua kelelawar itu terbang di ataskepalaku.

’’Mama!’’ pekikku.

Kelelawar jatuh di atas kepalaku. Tak hanya satu. Tapi segerombolan. Seekormenutupi mulutku. Lalu mataku. Lalu telingaku. Hingga seluruh kepalaku terbenam. Mama datang, kelelawar pun pergi. Wajah mama merah. Baru sekali ini aku melihat Mama seperti itu. Biasanya wajah Mama putih bersih. Mengapa sekarang merah?

’’Jangan teriak-teriak!’’

’’Aku takut kelelawar.’’

Mama menuju ke jendela, membuka sebentar, lalu menutupnya kembali.

’’Sudah pergi semua.’’

Aku diam.

Pagi harinya, Mama masih dengan wajah merah. Aku menunduk, tak berani tanya. Sudahlah, yang penting Mama tak apa-apa, pikirku. Merah di pipi Mama tak hilang juga. Padahal sudah berbulan-bulan terlewat. Aku masih melihat semburat merah pipi Mama walau tipis. Awalnya aku takut. Namum lama-lama terbiasa juga.

Kelelawar dan merah pipi Mama kini tak asing lagi. Mama lebih sering menemaniku. Sebenarnya, aku tak terlalu butuh ditemani. Kelelawar tak membuatku takut lagi.

’’Mama yang butuh ditemani, Sayang,’’ katanya.

Mama jadi sering tidur di bersamaku.

***

PIPI mama semakin memerah bila usai menelepon. Entah dengan siapa. Setidaknya itu yang kulihat.

Kriiinnggg….

Mama segera beranjak bila mendengar bunyi telepon. Ia tak jadi menyuapiku. Aku melongo saja saat melihat langkahnya menghampiri gagang telepon, dan mendengarnya tertawa cekikikan. Aku harus makan sendiri, tak ingin merepotkan Mama lagi. Maka kubiarkan Mama asyik dengan teleponnya, dan aku asyik dengan makananku.

Baca juga  Pohon Berbisik

’’Apa Papa mau pulang, Ma?’’

’’Masih lama, Sayang,’’

’’Mama tampak senang sekali.’’

’’Ya, memang. Mama sedang bahagia.’’

Lalu pipi Mama memerah lagi. Jujur, aku suka Mama yang seperti ini. Tak murung lagi. Dulu, Mama lebih sering terlihat sedih. Pipinya tak semerah ini. Aku sering melihatnya menangis di tepi kolam. Waktu itu ia duduk di tepi kolam sembari kakinya menjulur masuk ke dalam air. Aku tak berani mendekat, hanya melihat dari kejauhan saja. Meski jauh, aku dapat melihat Mama tengah mengusap pipinya, tak merah seperti ini.

Biasanya, pipi merah Mama akan tampak setelah kepulangan Papa. Satu atau dua hari setelah Papa pergi lagi, merah pipinya luntur kembali. Papa hanya pulang sesekali saja. Ia masuk kamarku, mengecup keningku, lalu segera menuju kamarnya. Itu yang sering ia lakukan. Aku sampai tak hafal bau keringat Papa. Yang aku tahu, perut Papa gendut dan bulat. Wajahnya lucu. Hanya itu saja. Hanya satu atau dua hari saja perjumpaanku dengan Papa. Lalu ia pergi lagi.

’’Papa kerja dulu, Sayang.’’

Dan Papa pun pergi lagi sampai berminggu-minggu.

Namun kini merah pipi Mama tak surut juga. Padahal sudah berminggu-minggu yang lalu Papa pergi. Aneh.

***

’’KITA harus pergi, Sayang. Ini darurat.’’

Aku kaget. Pagi masih buta sekali. Dan aku masih ingin tidur.

’’Mau ziarah ke kota tua, Ma?’’

’’Tidak.’’

Lalu Mama menggandengku, setengah paksa. Aku menuruti langkahnya. Kami menuruni tangga, menuju mobil, keluar gerbang, semua serba terburu-buru.

’’Iya sayang, aku akan menyusulmu,’’ Mama bersuara dengan teleponnya.

Mobil dipacu Mama dengan cepat sekali. Aku sampai takut. Kami melaju di tengah kota yang masih lengang. Mobil keluar dari perkotaan dan melewati jalanan yang sepi. Aku tak tahu kemana Mama akan membawaku. Aku berpegangan erat pada jok mobil. Mama menyuruhku duduk di belakang, dan ia mengemudikan mobil.

Jalanan masih lengang. Ketika aku tanya hendak ke mana, Mama malah membentakku. Aku mengangis. Lalu Mama menyuruhku diam. Aku sedikit takut. Mama tak pernah membentakku seperti ini. Bahkan ketika aku buang air di celana pun, ia tak pernah marah. Namun mengapa Mama sekarang jadi seperti ini?

Baca juga  Seekor Ikan Mencintai Kucing

Dari kaca, aku melihat wajah Mama. Cantik dan merah. Namun merahnya bukan seperti yang kemarin. Kini merah padam. Mama kini lebih terlihat seperti iblis. Menyeramkan.

Mobil berhenti. Aku melihat ke luar. Mama menyuruhku untuk tetap tinggal di mobil. Ia keluar lalu masuk ke dalam sebuah rumah kecil. Aku takut. Aku ingin ikut, namun Mama melarang. Aku menunggu dengan cemas. Mungkin inilah kali pertama aku merasakan kecemasan dalam hidupku. Mama tak penah meninggalkanku sendirian seperti ini.

Aku kaget ketika pintu mobil dibuka. Mama duduk di depan. Seorang lelaki dengan tato di lengan kiri tengah duduk di belakang kemudi. Aku takut. Badanku menggigil. Aku meraih jaket Mama, menutupkannya di wajahku. Lelaki itu tak pernah kulihat sebelumnya. Sepanjang hidup, aku hanya mengenal tiga lelaki, Papa, Pak Sopir, dan tukang kebun rumah kami.

’’Kamu bawa anak ini?’’

’’Iya. Kenapa?’’

’’Dia akan menyusahkan.’’

’’Tapi dia anakku.’’

’’Ah, terserah kau saja. Tapi aku tak mau dipusingkan dengan anak idiot.’’

’’Jaga mulutmu.’’

Lalu semua diam. Jalanan mulai lengang. Aku masih diam dengan wajah tertutup jaket. Hanya sesekali aku mencuri pandang lewat celah jaket yang sengaja kubuka. Mama menutup mata, entah tidur atau hanya pura-pura tidur. Tiba-tiba jalanan gelap. Aku membelalakkan mata, jaket kuletakkan, mencari seberkas cahaya. Sekawanan kelelawar menutupi mobil yang kami tumpangi. Aku semakin takut. Aku sudah terbiasa dengan puluhan ekor kelelawar. Namun mungkin ini ribuan.

’’Mama!’’ pekikku.

’’Nah kan, anak idiot ini merepotkanmu.’’

’’Diam, Sayang.’’

’’Mama, aku takut kelelawar.’’

’’Tak ada kelelawar, Sayang.’’

’’Itu,’’ aku menunjuk kepala Mama, seekor kelelawar besar berada di atasnya.

Aku melihat lelaki itu tersenyum. Wajahnya seperti kelelawar.

’’Mama, kelelawar itu menarik rambut Mama.’’

’’Suruh anak itu diam!’’

’’Diamlah, Sayang.’’

’’Mama, aku takut.’’

’’Diaammmmm!’’

Aku menutup wajah rapat-rapat. Teriakan lelaki itu membuatku takut. Mobil kami melaju semakin kencang. Mama berteriak-teriak. Aku masih menutup mata. Aku takut dengan kelelawar di atas kepala Mama. Lelaki itu sepertinya memukul Mama. Aku takut. Mamamenangis.

’’Brengsek kamu ternyata….’’

’’Diam!’’

’’Aku mau pulang. Kembalikan semuanya!’’

Lalu semuanya hening. Mama luka di bagian kepala. Aku membuka mata dan melihat lelaki itu pergi.

Baca juga  Ziarah Laut Selatan

’’Mama, kelelawarnya sudah pergi semua.’’

Aku menyeka kepala Mama. Darah menempel di jariku. Lelaki itu tak kembali juga. Aku kasihan dengan Mama. Namun semua gelap ketika lelaki itu muncul dengan tiba-tiba.

’’Mama.’’

Dan semua benar-benar gelap.

***

’’UNTUNGLAH anak ini selamat.’’

’’Iya, syukurlah.’’

Aku membuka mata. Beberapa kelelawar yang menutup mataku tadi telah pergi.

’’Mama,’’ aku memanggil Mama. Apakah kelelawar di atas kepalanya telah pergi?

’’Ini ada Papa, Sayang.’’

’’Mama.’’

Aku melihat Papa dengan wajah lucunya, tak seperti kelelawar. Segera kuraih pipinya, mencari kelembutan sisa-sisa belaian Mama di sana. Tak ada kelelawar di atas kepala Papa, tak seperti kepala Mama waktu itu.

’’Pak, ada dokumen yang harus diisi. Pihak kepolisian sudah menunggu.’’ Seseorang mengagetkan Papa.

’’Jadi siapa nama Anak ini?’’

’’Sean.’’

’’Umur?’’

’’10 tahun.’’

’’Jadi apa saja yang dirampok, Pak?’’

’’Mobil, perhiasan, dan anehnya, sertifikat tanah kok bisa ikut dibawa di mobil, itu yang sedang saya pikirkan.’’

’’Baik Pak, untuk kasus perampokan ini, kami akan menindaklanjuti lebih jauh.’’

Aku melihat lelaki dengan baju cokelat dan topi yang lucu. Lalu Papa berlalu bersamanya.

’’Papa.’’

Papa menoleh ke arahku.

’’Ada Mama. Di situ. Dengan kelelawar,’’ aku menunjuk pojok ruangan. Mama tersenyum dengan wajah merah dan kelelawar di atasnya.

Papa tersenyum. Seseorang di sampingnya kaget.

’’Dia belum tahu bahwa mamanya sudah meninggal.’’

Lalu Papa melangkah pergi. Benar-benar pergi. Dan Mama masih berdiri dengan wajah merah dan kelelawar di atas kepalanya.

’’Mama, kelelawar itu menarik-narik rambut Mama.’’ Namun Mama hanya tersenyum. Papa telah hilang di balik pintu. Dan kini Mama lenyap ke dalam tembok.

’’Sean, jangan nakal ya!’’ seorang wanita mendekatiku. Ia bukan Mama.

’’Ada kelelawar di atas kepala Mama. Mereka menarik-narik rambut Mama,’’ aku mengucapkannya berkali-kali. (62)

 

 

Klaten, Juni 2014.

Erna Surya, penikmat sastra yang belajar menulis di Komunitas Sastra Alit, Solo; tinggal di Klaten, dan mengajar Bahasa Inggris di SMK 1 Klaten.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 1

No votes so far! Be the first to rate this post.

2 Comments

Leave a Reply

error: Content is protected !!