Cerpen Nadya Nadine (Media Indonesia, 8 Juni 2014)
BARANGKALI karena Tuhan terlalu mencintai ibu, Dia membutakan matanya, hingga sepanjang usia, ibu terpasung dalam gelap. Mungkin karena Tuhan sangat menyayangi ibu, Dia tidak menginginkan telinga ibu mendengar suara-suara—yang kelak hanya akan membuat ia terluka. Mungkin karena Tuhan berkehendak merawat kecantikan masa kecil ibu, Dia membuat ibu tak beranjak dari masa kanak-kanak. Ceria senantiasa. Asyik dengan dunia sendiri. Kalaupun ada yang dapat diandalkan, ibu punya paras yang anggun. Di masa remaja, kecantikannya tentu membuat banyak lelaki tergoda. Selebihnya, ibu adalah perempuan cacat mental. Buta dan tuli, pula.
Simbah bilang, rezeki, jodoh, dan ajal, sudah tercatat dalam tarikh setiap manusia. Tapi, aku selalu gagal memecahkan teka-teki Tuhan dalam garis peruntungan ibu. Jodoh? Siapa jodoh ibu? Riwayat keluarga kami hanya mencatat, ibu melahirkan seorang anak perempuan tanpa ayah; Aku. Orang bilang, satu, dua, atau mungkin banyak lelaki telah menggagahi ibu di masa ranumnya, meski Simbah tak pernah membenarkan kejadian itu.
Bukankah gadis cacat mental—namun memiliki tubuh yang menggairahkan—gampang ditaklukkan? Tak perlu bujuk-rayu yang memukau, apalagi iming-iming janji tentang cinta yang membahagiakan. Cukup dengan sikap santun, lalu merebahkan tubuhnya di semak-semak pinggir jalan, manakala penghuni kampung sedang bekerja di ladang. Dari desas-desus yang kudengar, tak lama selepas peristiwa itu, ibu mengandung dan lahirlah aku; perempuan normal, tanpa ayah, tanpa silsilah.
Rezeki? Di mana rezeki ibu? Simbah dan Bude yang menjamin hidup kami. Termasuk menanggung aib perihal anak gadis cacat mental. Mengandung tanpa menikah, pula. Kelahiranku barangkali memang rezeki bagi ibu. Tapi gunjingan tentang anak haram tentu petaka baginya. Juga bagi Simbah dan Bude. Ajal? Kapan ajal ibu tiba? Tidakkah akan lebih baik bila nyawa ibu direnggut saja? Semakin panjang usianya, semakin tak berujung mata rantai ketakmujurannya. Apa rahasia Tuhan dalam panjangnya usia ibu? Lebih baik riwayat ibu ditamatkan saja, hingga tidak lagi menjadi najis bagi orang-orang yang menghidupi kami. Begitu doaku, setiap menatap ibu. Namun hingga kini tak terkabul.
Sepintas, ibu seperti orang kebanyakan. Tapi bila diperhatikan terus-menerus, ia bagai ingin terus bertahan sebagai anak-anak. Usianya seolah-olah terkunci di situ. Ibu tak bisa meraih kedewasaan. Simbah sudah berusaha mengobatinya, tapi karena itu bukan penyakit, Simbah selalu gagal. Aku menyebut ibu sebagai perempuan innocent. Polos dan tanpa dosa. Ah, mungkin Tuhan hendak membebaskan ibu dari segala dosa perempuan dewasa. Ahli psikologi bilang, penderita retardasi mental memang bisa melahirkan anak normal, tapi keterbelakangan mentalnya, bisa turun pada cucu atau cicitnya. Bisa jadi, itu akan terjadi pada anak-cucuku nanti. Aku beruntung, mungkin karena gen ayahku dominan. Bisa jadi, ayahku memiliki inteligensi tinggi, hingga aku lahir sebagai manusia normal, meski sudah kupastikan ia lelaki bejat. Ah, Ayah. Siapa dan di mana ia kini?
“Ibumu lahir normal. Semula tidak tuli dan tidak bisu seperti kini. Hanya saja memang buta sejak lahir,” kata Bude suatu kali. Namun, menjelang usia empat bulan, tiba-tiba ia terserang demam tinggi hingga kejang. Simbah telat membawanya ke puskesmas. Selepas kejadian itulah ia memperlihatkan tanda-tanda ganjil. Tidak bisa bicara. Tidak merespons bila disapa. Meski pertumbuhan fisiknya tetap seperti anak-anak kebanyakan.
“Ibumu cantik. Kulitnya bersih seperti Simbah saat muda,” kata Bude lagi.
Iya. Ibu memang cantik. Tubuhnya langsing, namun padat berisi. Kecantikan itulah yang membuat ibu jatuh dalam bahaya; diperkosa entah siapa. Dari para tetangga aku beroleh cerita, suatu petang di usia 17 tahun, ibuku menangis sepulang bermain di luar rumah. Tak ada yang tahu penyebabnya. Berhari-hari ia tidak mau keluar rumah. Mengurung diri, seperti orang ketakutan.
Beberapa bulan berikutnya, Simbah bingung karena ibu tidak juga datang bulan. Ibu muntah-muntah, hingga akhirnya Simbah tahu, ternyata ia sedang mengandung. Entah siapa lelaki yang tega menjahatinya. Simbah menghajar ibu habis-habisan. Namun, ibu tidak bisa menjelaskan siapa ayah dari janin dalam tubuhnya. Lantaran malu, kata orang, Simbah hampir nekat, hendak menggugurkan kandungan ibu, bahkan menginginkan kematian ibu. Budelah yang kemudian menyelamatkan aku dan ibu. Mereka akhirnya berdamai dengan keadaan. Merawat ibu yang sakit mental dan membesarkanku. Simbah dan Bude pindah ke Sumatera, menjadi transmigran. Aku tumbuh dan besar bersama mereka dengan rupa-rupa kepayahan hidup. Kini, Simbah sudah pikun. Pendengarannya nol. Sama seperti ibu.
***
Angga berusaha mengejarku. Tapi langkahku kian gegas. Untuk apa menggubris lelaki pengecut itu? Sama semua. Ujung-ujungnya mundur setelah mereka tahu asal-usulku. Aku mantan TKW di Singapura. Menjadi babu terlebih dahulu demi keinginan bersekolah tinggi. Setelah punya cukup uang, aku menyeberang ke Jakarta, untuk kuliah di sana.
Kini, usiaku sudah 26 tahun. Sarjana komunikasi dari universitas swasta ternama di Ibu Kota. Aku bekerja sebagai jurnalis di sebuah media ternama. Aku telah meninggalkan masa kelam kampung halaman, masa remaja yang bergelimang kemiskinan di kawasan transmigran Sumatera. Aku sudah berhenti mendoakan kematian ibu. Sebaliknya, malah senantiasa ingin berada di sisi ibu. Ia kubawa ke Jakarta sejak dua tahun lalu.
Angga sama dengan mas ini dan mas itu, abang ini dan abang itu. Mundur teratur setelah mengetahui keadaan ibuku. Begitu pula dengan ketunaan silsilahku. Ibuku tunanetra dan tunarungu, sementara aku, anak gadisnya; tuna silsilah–meski aku tak pernah meminta dilahirkan sebagai anak jadah.
“Nisa! Ini penting. Aku harus menjelaskan sesuatu padamu,” Angga kembali mengejarku.
Angga, kekasihku. Kami bertemu di rumah sakit tempat ia praktik. Saat itu ia sedang menyelesaikan studi spesialis obseteri genekologi. Cukup lama aku menyembunyikan masa laluku. Itu taktikku untuk menguji sebesar apa, sedalam apa cintanya padaku.
“Aku sudah paham, Mas!” ungkapku. Sebelumnya Angga hanya tahu aku berasal dari Makassar, orangtuaku meninggal, dan sejak kecil aku ikut Nenek dan Uwak di kampung. Lalu, aku melanjutkan kuliah di kota ini sambil bekerja. Angga berubah setelah aku jujur mengatakan siapa diriku yang sebenarnya.
“Aku tidak menyalahkanmu, Mas! Pergilah!”
Aku telah mengusir lelaki yang masih melajang di usia 44 itu, meski ia tak mau beranjak dari ruang kerjaku. Hampir 1 jam ia mematung di hadapanku. “Aku menghargai keputusanmu. Aku telah memaafkanmu. Seperti kau telah memaafkan kebohonganku selama ini. Impas sudah, bukan?”
Menikahlah dengan wanita pilihan orangtuamu—yang sempat kau tolak itu—meski kau tidak mencintainya, batinku. Tapi, tangan Angga mencekal kuat di lenganku, ia memaksaku untuk kembali duduk.
“Nisa, bukan itu alasanku meninggalkanmu. Keluargaku tidak sekolot itu,” kata Angga, memohon agar aku berkenan mendengar penjelasannya.
Sesaat ia menunduk seperti sedang memikul beban berat di kepalanya.
“Lalu, apa Mas?” tanyaku, terperangah.
Dan, Angga pun membuka kisahnya;
Saat usiaku 17 tahun, aku pernah menggagahi seorang gadis remaja, tetanggaku. Usia kami sebaya. Ia tampak normal, meski sedikit mengalami keterbelakangan mental. Hasrat yang meletup-letup dalam darah remajaku tak terkendali setelah aku diajak menonton film dewasa oleh teman-teman sekolah waktu itu. Peristiwa itu terjadi tengah hari, saat kampung sedang sepi.
Keluargaku pendatang yang tak lebih dari tiga tahun tinggal di kampung itu. Ayahku dokter umum yang bertugas di puskesmas kecamatan. Ketika gadis itu hamil, kami sekeluarga pindah ke Samarinda. Ayahku dipindahtugaskan ke sana. Sejak itu aku tidak tahu lagi apa yang terjadi di sana. Ayah-ibuku mendidikku dengan aturan yang ketat hingga aku berhasil menyelesaikan kuliah di fakultas kedokteran.
Saat menjadi mahasiswa, aku sempat mendatangi kampung masa lalu itu, mencari kabar tentang gadisku. Tapi, ternyata keluarganya sudah pindah entah ke mana. Ada yang bilang, gadis itu telah melahirkan, tapi bayinya meninggal. Aku tak berani bertanya lebih banyak, karena takut dicurigai. Aku merasa berdosa padanya.
Aku tak menyangka anakku masih hidup. Darah dagingku telah menjadi gadis dewasa. Sudah mandiri dan sukses. Anak gadisku itu adalah kamu, Nisa! Aku sangat terpukul setelah kau menceritakan dirimu yang sebenarnya. Apalagi setelah aku bertemu ibumu. Perempuan masa silamku. Kini aku sadar apa yang dikatakan orang tentang kita, bahwa kita sangat mirip. Itu bukan karena kita berjodoh, tapi karena kau adalah anak kandungku. Akulah ayah, yang kau cari selama ini, Nisa.”
Ruang di sekeliling kami tiba-tiba berubah gelap. Tubuhku limbung. Dadaku serasa terguncang hebat. Barangkali inilah kegelapan yang selama bertahun-tahun memasung hidup ibu. Setelah mendengar kisah Angga, aku tidak tahu lagi apa yang terjadi. Dalam keremangan petang itu, sekilas muncul siluet wajah ibu, Simbah, Bude, Angga—kekasihku, sekaligus ayahku. Selebihnya kelam…. (*)
2014
Nadya Nadine, penyair dan novelis. Bermukim di Surabaya. Buku terkininya Bunga Batu, 1001 puisi, yang memecahkan rekor Muri 2009.
Leave a Reply