Cerpen Maya Lestari Gf (Media Indonesia, 13 Juli 2014)
AJAJIA menemukan sebuah pohon ajaib. Keajaibannya bukan pada lingkar pohonnya yang besar, juga bukan pada batangnya yang begitu tinggi. Sedemikian tinggi seolah hendak menandingi langit. Keajaiban pohon itu terletak pada kemampuannya menyerap segala suara. Barang siapa berbicara di hadapan pohon itu, akan merasakan betapa suara mereka disedot ke dalam setiap pori-porinya, lalu hilang dan tak berbekas dalam ingatan. Pohon itu seolah-olah memiliki kekuatan menghisap segala suara dan ingatan yang berada di dekatnya. Rupa-rupa suara bagaikan sumber energi bagi pohon itu, yang akan ia santap dengan rakus.
Suatu malam, seorang laki-laki yang baru saja menukar bayi dengan imbalan uang berlari ke dalam hutan. Ia baru pertama kali melakukan kejahatan itu. Sebenarnya ia tak ingin melakukannya, tapi ia tak sanggup menolak godaan uang. Hari itu, selepas senja, ia pergi ke rumah bersalin. Ia menukarkan bayi perempuan seorang tuan kaya dengan bayi laki-laki sepasang suami istri miskin. Tuan kaya begitu ingin memiliki anak lelaki. Konon, ia pernah bersumpah akan membunuh istrinya jika sekali lagi melahirkan bayi perempuan. Si istri yang ketakutan, sebelum masuk ke rumah persalinan, berpesan pada laki-laki itu; jika bayinya perempuan, tukarkanlah dengan bayi laki-laki. Maka, ia menukar dua bayi, dengan kesadaran bahwa sejatinya ia juga tengah mempertukarkan nasib keduanya.
Ia gemetar, terbayang-bayang di matanya kebeningan mata bayi perempuan itu. Ia tak sanggup membayangkan apa yang akan terjadi pada diri bayi tersebut. Perasaan bersalah mencengekramnya. Ia berlari menjauhi rumah bersalin. Menuju hutan. Lalu sampailah ia di pohon yang ditemukan Ajajia.
“Aku telah menukarkan bayi. Aku telah menukarkan kehidupan,” bisiknya berulang-ulang. Beberapa detik berselang ia merasakan sesuatu yang aneh. Suaranya seperti terhisap ke dalam pohon, begitu juga ingatannya pada dua bayi itu. Lalu, dadanya terasa lapang, perasaan bersalahnya hilang dan ingatannya akan kejadian itu memudar. Tetap ada, namun samar, seolah berasal dari masa yang jauh sekali. Ia menceritakan kejadian itu pada Ajajia.
Tak menunggu lama, Ajajia kemudian menebangnya dan menjadikannya sebuah bangunan. Sebuah menara.
***
Menara di tengah kota itu seperti tong. Ya, tong kosong terbalik yang hampa. Tapi, bukan kehampaan biasa. Sebab, ada yang memenuhinya. Sesuatu yang hanya bisa dirasakan dengan kehalusan batin.
Karena dibangun dari kayu ajaib, menara itu pun menjadi ajaib. Mula-mula hanya satu-dua orang yang datang ke sana. Masuk ke dalamnya, lalu mencoba berkata-kata. Ajaib. Suara dan ingatan mereka akan kata-kata itu terhisap ke dalam setiap pori-pori kayu menara. Orang-orang mulai bernyanyi, berteriak, memaki-maki wali kota, mencaci kezaliman penguasa. Orang-orang mulai membicarakan hal yang tidak mungkin bisa mereka bicarakan di luar menara itu. Lama kelamaan, orang-orang tak lagi iseng. Mereka datang ke sana untuk mengakui dosa-dosa. Semakin hari semakin tersohor menara itu.
Ajajia mulai memungut bayaran. Antrian nyaris tak habis-habis. Dari pagi ke pagi lagi. Dari purnama ke purnama lagi. Menara itu nyaris tak pernah istirahat. Senantiasa setia mendengar pengakuan dosa-dosa. Setia mencabut setiap ingatan pada kejahatan yang pernah dilakukan. Menara itu menerima setiap pendosa, dan mendamaikan hati mereka dengan cara mengosongkan ingatan dari dosa itu.
Setelah tahun-tahun berlalu, tiba-tiba suatu pagi, saat antrean masih mengular, dan orang-orang dalam antrean masih duduk terkantuk-kantuk menunggu giliran membuang dosa, terdengar suara dengungan panjang, diakhiri suara robekan yang terdengar seperti teriakan yang menyayat. Menara itu rengkah. Orang-orang pun ribut.
“Ajajia! Ajajia!!” teriak mereka.
Semua orang terbangun. Penduduk kota ramai-ramai keluar dari rumah untuk melihat apa yang terjadi. Ajajia masuk ke dalam menara. Di dalam, sang penguasa kota tampak bersimpuh dan ketakutan.
“Apa yang terjadi?” tanyanya gemetar,
“Setelah aku berbicara mendadak menara ini berteriak.”
“Sesuatu yang buruk telah terjadi,” jawab Ajajia sambil memperhatikan dinding-dinding kayu yang merengkah. Dari rengkahan itu ia bisa melihat kerumunan orang yang mendengung penasaran.
“Aku tak melakukan apa-apa!” teriak sang penguasa.
“Bukan Anda, tapi sesuatu yang saya juga tak memahaminya,” jawab
Ajajia, “Tapi saya berjanji akan memperbaikinya, dan menara ini akan kembali seperti sedia kala.”
“Kalau begitu lakukanlah!” seru sang penguasa.
***
Menara itu sudah penuh oleh teriakan-teriakan dosa. Itu kesimpulan Ajajia. Jika kegiatan pengakuan dosa diteruskan, menara itu akan pecah berkeping-keping. Maka, ia mengumumkan penutupan menara. Tak ada yang boleh mengakui dosa lagi di sana.
Orang-orang ribut. Mereka tak bisa menerima keputusan itu. Semakin hari semakin ramai orang yang berkumpul di sekitar menara. Mereka berteriak-teriak ingin masuk. Mereka gelisah. Telah berhari-hari menumpuk dosa, dan tak sanggup menanggung dosa lebih lama.
Para tentara dikerahkan untuk menjaga menara itu. Tapi sampai kapan menara itu mesti dijaga? Sampai kapan mereka harus menunggu kemarahan massa reda sementara para prajurit itu juga sebenarnya tengah gelisah oleh dosa?
“Biarkan kami masuk!!” teriak massa.
“Masuk! Masuk! Masuk!!”
“Serang prajuriiiit! Serbu!”
Suasana makin tak terkendali.
***
“Kau yang membuat ini, kau yang selesaikan!” di ruang kecil samping menara, sang penguasa berteriak marah. Ia menunjuk-nunjuk Ajajia.
“Saya sedang berusaha..”
“Kau bisa dipenjara karena ini! Kau bisa dihukum mati!!”
“Ampun, Yang Mulia. Menurut saya sebaiknya kita tinggalkan saja menara ini. Tak bisa dipakai lagi.”
“Gila kamu! Ini tempat menyucikan diri, Ajajia!”
“Tapi tempat ini sudah terlalu penuh oleh dosa.”
“Aku tidak peduli! Kau yang membuat, kau pula yang memperbaiki!”
“Tapi bukan saya yang membuatnya rengkah!”
“Bangsat kamu!”
Duk! Satu pukulan keras mendarat di dada Ajajia. Ia terjengkang.
“Hei kau!” Sang penguasa mendekat, masih berteriak, “Aku tidak mau tahu, pokoknya dalam tiga hari ini menara harus selesai diperbaiki!”
Tak ada reaksi, Ajajia tak bergerak.
“Ajajia?!”
“Ajajia?!”
Sang penguasa mendekat. Ajajia tak lagi bernapas.
Ia tersentak. Berdiri gemetar. Beringsut mundur setindak demi setindak. Ia telah membunuh Ajajia. Mulanya ia pikir itu sekadar mimpi. Tapi begitu ia pukul kepalanya, dan terasa sakit, pahamlah ia bahwa ini sungguh nyata. Ia telah membunuh Ajajia.
Ia butuh pelepasan. Ia perlu tempat mengadu. Refleks ia teringat menara dosa. Segera sang penguasa berbalik, berlari menuju pintu yang menghubungkan ruangan kecil itu dengan menara.
“Aku membunuh,” ujarnya begitu sampai di tengah menara. Ia menengadah. Menatap langit-langit menara. Ada yang ganjil di langit-langit menara saat itu. Ia melihat segulung kabut hitam tipis di sana.
“Aku….” Ia merasa pipinya direnggut, lalu lidahnya, kemudian kerongkongannya, “membunuh….” Suaranya mulai tak jelas, menggembung bagai balon. Pori-pori menara menghisap suara dan ingatannya begitu kuat, “Aja…” ia merasa melayang-layang, bagai dihisap masuk ke dalam lubang sedotan. Samar-samar ia seperti melihat ingatan akan Ajajia, “jia….”
Gelembung yang melingkupi kepalanya kian besar. Suara-suara kemarahan massa di luar sana bagai suara dari alam lain, tak bisa menyentuh tepi kesadarannya sama sekali. Mengambang, melayang-layang saja di sekelilingnya. Sang penguasa pun merasa dirinya melayang di udara. Beberapa detik kemudian kesadarannya mulai pulih, gelembung yang melingkupinya pecah. Tapi, anehnya, ia masih mengingat Ajajia. Bahkan, ingatan pembunuhan itu makin tajam dari sebelumnya.
“Tidaaaaaak!!!” ia berteriak keras sekali. “Tidak mungkiiiin!!”
Mendadak massa di luar sana terdiam. Beberapa prajurit dari balik rengkahan dinding menara, mengintip. Sang penguasa berdiri di tengah menara, terengah-engah. Ketika mereka baru saja berusaha meraba makna kejadian tersebut, sebuah teriakan panjang terdengar.
“Aaaaaaaa!”
Teriakan yang memilukan. Lebih pilu dari teriakan perempuan yang ditinggal mati oleh kekasihnya. Semua orang menutup telinga. Tak sanggup mendengarnya.
Lalu, senyap sesaat. Tapi tiba-tiba sebuah ledakan memecah udara, dan jutaan serpih kayu melesat seperti jutaan peluru yang dilesakkan.
“Tidaaaaaak!!”
Menara itu meledak.
Seiring dengan suara ledakan, muncul kabut hitam tipis yang berdengung di atas kepala mereka. Mulanya terdengar bagai dengung lebah saja, tapi makin lama makin jelas.
Bahkan mulai mereka kenali sebagai suara orang tua, anak-anak, istri atau suami mereka, bahkan suara mereka sendiri.
Aku seorang pejabat, aku telah mencuri uang rakyat.
Aku seorang istri dan aku telah berzina dengan tetanggaku sendiri.
Aku penguasa kota dan aku telah memerintahkan lima orang tak bersalah ditembak mati hari ini.
Aku seorang hakim dan aku telah memperjualbelikan hukum.
Aku seorang saksi dan aku telah menjual kesaksianku.
Mereka berteriak, tak sanggup mendengar dosa-dosa sendiri. Mereka menjerit, menangis memohon ampun.
Mereka mencoba berlari namun tersungkur. Yang terjatuh berusaha merayap pergi. Suara-suara itu bagai tak berhenti. Terus menggaung tak habis-habis. Satu persatu mereka tersungkur mati. Konon bertahun-tahun kemudian, dan berpuluh tahun lagi setelahnya, suara-suara dosa itu masih juga terdengar, bagai tiada akan berhenti. (*)
2014
Maya Lestari Gf lahir 18 Agustus 1980. Menulis cerpen dan novel. Karya terkininya, Kupu-kupu Fort de Kock (cerita silat).
Leave a Reply