Agus Salim

Sungai Wong Agung

0
(0)

Cerpen Agus Salim (Suara Merdeka, 1 Juni 2014)

Sungai Wong Agung ilustrasi Farid S Madjid

Prolog

SETIAP kali ada orang berkunjung ke desaku pasti akan bertanya tentang sungai yang meliuk-liuk panjang bak ular sedang terkapar dengan sebuah soal: Apa nama sungai ini? Kemudian dengan ramah mulutku akan segera menjawab: Wong Agung. Tapi ketika mereka meminta aku menjelaskan menganai riwayat sungai itu maka kukatakan kalau aku tak bisa menjelaskannya sebegitu rinci karena takut salah menguraikannya. Lalu, tatkala pengunjung lelah menuruti rasa penasarannya, pasti akan segera mengakhirinya dengan ungkapan “sungai ini sungguh indah”.

Aku tak heran bila para pengunjung itu menyebut sungai itu indah. Karena memang demikian adanya. Tapi bila mereka tahu cerita-cerita misteri di balik sungai yang tenang dan menenangkan itu, maka akan muncul ribuan rasa tak percaya dan aku yakin mereka pasti akan bertanya: benarkah itu? Ah, inilah yang tidak aku mengerti mengapa cerita-cerita tengil dan ganjil yang seperti sengaja dikait-kaitkan dengan sungai itu bisa menjadi ada dan menyelimuti desaku.

Baiklah, biar kuungkap semua cerita misteri itu secara ringkas, agar kalian bisa mencerna dengan saksama dan selanjutnya bisa menimbang-nimbang, apakah cerita misteri ini rekayasa atau benar-benar ada.

 

Lelaki yang Terangkat ke Langit

KALA itu ada seorang lelaki mengintip beberapa perempuan yang sedang mandi dengan riangnya di sungai itu. Mereka, perempuan-perempuan itu, bukan penduduk desa dan wajah mereka cantik semua. Dalam waktu cukup lama lelaki itu tak berkedip karena terkesima melihat wajah dan tubuh mereka yang indah.

Entah kenapa, mungkin karena nasibnya memang sudah apes, tiba-tiba salah satu perempuan yang tadinya ada di tengah-tengah perempuan yang lain, berdiri di belakangnya. Betapa terkejutnya si lelaki saat perempuan itu menepuk pundaknya dan berkata, “Ayo, ikut mandi bersama kami. Kami tidak pernah mandi dengan manusia sejenismu.”

Si lelaki hendak lari, tapi tak bisa. Ada kekuatan luar biasa yang mencengkeram kakinya dan melemahkan kekuatannya.

“Maaf, aku… maaf…,” si lelaki berusaha menolak dan menjelaskan tapi tak kunjung sampai karena lidahnya kaku.

“Sudahlah, ikutlah denganku,” paksa si perempuan.

Mungkin karena telah kemasukan guna-guna, si lelaki jadi luluh. Dia ikuti langkah perempuan dengan kepala menuduk. Mirip maling tertangkap basah. Pasrah.

Dia pun ikut menceburkan diri ke sungai. Dan setelah puas mandi salah seorang perempuan mengutarakan sesuatu kepada si lelaki.

“Maukah kau ikut denganku?”

Lelaki itu menganga. Dirinya sama sekali tak menduga kalau akan mendapatkan tawaran cuma-cuma. Sebelum-sebelumnya tak pernah ada perempuan yang mau mendekat padanya, mengajak bicara, apalagi sampai mengajaknya ikut serta. Sebab sebagai pejantan dia terbilang memiliki wajah menyeramkan dan menjijikkan.

Tak ingin kehilangan kesempatan yang sangat langka, si lelaki menganggukkan kepala. Perempuan-perempuan itu kemudian segera membawa lelaki itu, terbang. Dalam bilangan detik, mereka semua lesat ke langit, memecah gumpalan awan, lalu lenyap. Hingga sekarang, si lelaki tukang ngintip, yang sehari-harinya katanya hidup sebatang kara dan tak memiliki kerja, tak pernah kembali.

Baca juga  Nam Harus Diusir dari Surga

Bayi Buruk Rupa

INILAH cerita misteri yang cukup mengerikan, menurutku.

Saat itu hujan deras dan angin membadai. Suara-suara di sekitar menderu seru dan petir menggelatar. Ada suara jerit melengking di antara semak-semak, seperti suara tangis. Jeritannya memilukan. Menyayat-nyayat. Hujan terus menguyur deras. Menghatam tanah. Membasah-kuyupkan daun dan rerumputan. Lewatlah seorang lelaki renta yang katanya salah seorang warga desa ini. Ia mendengar jeritan itu dan langsung mendekat.

Betapa terkejutnya ia saat menemukan sumber suara: sebungkus bayi berwarna gelap, kulitnya bersisik dan biji matanya merah saga. Mulanya si lelaki renta ketakutan untuk mengambil bayi itu. Namun karena kasihan, ia pun tak pedulikan rasa takutnya. Ia mendekap bayi itu dan membawanya berteduh di gubuk ringsek yang memang sejak dulu sudah ada di tepi sungai.

Bayi berkulit gelap, bersisik amis, berhenti menangis. Si lelaki renta cukup lega karena tidak terjadi sesuatu yang serius pada si bayi. Saat hujan reda, ia pun membawa si bayi pulang ke rumahnya.

Setibanya di rumah, ia pangggil anak perempuannya. Ditunjukkan bayi gelap dan buruk rupa itu kepada anaknya. Pada saat bersamaan si anak membelalakkan mata, terkejut.

“Bayi siapa ini?” tanya si anak.

“Tak tahu. Aku temukan ia menjerit- jerit, menangis di balik semak-semak,” jawab si lelaki renta.

“Lalu apa yang akan kita lakukan dengan bayi bersisik ini?” tanya si anak.

“Kita akan merawatnya,” jawab si lelaki renta.

Mulanya si anak tak mau, tapi akhirnya mengalah dan menerima ketika si lelaki renta memaksanya dengan wajah melas yang sungguh-sungguh.

Setelah beberapa hari berselang, perempuan itu mulai belajar menyusui bayi malang itu. Lalu pada hari yang berbeda, saat menyusui ternyata si bayi tak mau melepaskan mulutnya dari puting susu perempuan. Meski sudah diusahakan, tetap saja tidak mau melepasnya. Perempuan panik karena sudah merasakan nyeri luar biasa di payudaranya. Ia menjerit-jerit. Tapi tak ada yang mendengar. Kala itu lelaki renta masih ada di sungai, memancing.

Lelaki renta pulang membawa hasil memancing yang cukup banyak. Namun rautnya wajahnya segera berubah sedih saat melihat anak semata wayangnya mati bersimbah darah di bagian putingnya. Bayi itu dicari-cari olehnya. Tapi tak ada di mana-mana. Bayi itu lenyap. Sejak itu, lelaki renta tak pernah keluar rumah. Mayat anaknya tidak dikubur. Sampai berhari-hari. Tatkala perutnya lapar, ia memakan danging anaknya. Terus, terus dan terus seperti itu. Sampai akhirnya habis dan tersisa tulang belulang.

Perempuan yang Mandi Tengah Malam

ADA seorang perempuan sangat ingin sekali memiliki anak. Tapi tak kunjung hamil perutnya. Ia sudah berusaha sekuat tenaga, minun jamu penyubur lalu bercinta tiga kali sehari dengan suaminya agar bisa segera hamil. Tapi tetap saja tak bisa-bisa.

Baca juga  Musuh Bebuyutan

Sampai suatu waktu, di dalam tidurnya yang khusyuk, ada seseorang pemuda tampan datang dalam mimpinya. Pemuda tampan itu berkata: mandilah di sungai itu pada saat tengah malam. Hajatmu ingin memiliki anak akan segera terpenuhi.

Ia sampaikan mimpi itu kepada suaminya. Sontak si suami tidak percaya dengan mimpi merayu itu. “Aku tak ingin kau mendapatkan celaka. Jangan kau turuti mimpi itu,” tegas si suami. Dan si istri pun mengamini.

Pada tidur berikutnya, pemuda tampan itu datang lagi dalam mimpi perempuan. Ia kembali mengatakan hal yang sama. Pada tidur berikutnya, berikutnya lagi, lagi dan lagi, juga sama. Namun si suami tetap tidak percaya.

Maka, oleh sebab bosan didatangi mimpi yang merayu-rayu, si perempuan akhirnya diam-diam pergi ke sungai pada tengah malam. Mulanya ia takut untuk menceburkan diri ke sungai. Namun bisikan pemuda tampan itu seperti mantra sihir yang begitu kuat dan memperdaya, sehingga ketakutannya runtuh.

Ia pun segera melepas baju. Lalu melangkah pelan, dan berendam di sungai. Lima sampai sepuluh menit, tak tanda-tanda akan terjadi sesuatu. Tapi setelah tiga puluh menit, ada sesuatu yang meliuk-liuk di dasar sungai, dan mencengkeram perempuan itu. Perempuan menjerit. Tapi siapa mendengar? Malam sudah terlalu matang. Dan… lenyaplah dia. Selamanya.

Konon perempuan itu suka menampakkan diri pada saat hari sudah tengah malam. Dan bagi yang tanpa sengaja melihatnya pasti akan segera lari terbirit- birit karena ketakutan melihat si perempuan yang separuh tubuhnya adalah ular.

Gadis Kecil yang Menunggu

SETIAP senja tiba, akan ada seorang gadis kecil duduk bersandar di pohon besar yang ada di tepi sungai. Entah dari mana asalnya. Ia akan duduk di sana sampai lenyap senja. Ia pasti akan melantunkan sebuah nyanyian. Nyanyian tanpa syair. Suaranya sendu dan getir. Jika ada telinga mendengar, pasti akan segera dirajam rasa kasihan amat dalam. Kemudian tanpa diminta, si pendengar itu akan menemaninya sampai senja musnah. Tapi hati-hati, barang siapa terperangkap oleh suaranya yang merayu, pasti tak akan pernah bisa beranjak jauh darinya. Dan celakalah ia karena dipastikan ia tak akan kembali ke alam nyata.

Bila sama sekali tidak ada orang tertarik dengan suara sendu dan getirnya, maka si gadis kecil akan sedih. Karena pasti ia akan mendapatkan murka dari sang ayah. Ia akan tambah panik pada saat senja mulai menipis. Karena pada saat itu sang ayah akan muncul dari permukaan sungai dan berkata: kau anak tidak becus. Anak durhaka. Tega membiarkan ayahmu kelaparan.

Si anak pasti menangis. Dengan suara tangisan yang begitu pilu. Di sela-sela tangisnya ia akan berkata: Aku sudah lelah ayah. Jangan kau paksa aku.

Sang ayah tetap saja marah dan menyuruh gadis kecil untuk tetap menunggu. Jika sampai senja lenyap masih belum juga mendapatkan tumbal untuk sang ayah, maka alamat ia akan mendapatkan hukuman cambuk.

Baca juga  Meme

Konon, ada salah seorang warga desa yang sering mendengar suara anak perempuan yang berseru minta tolong dan suara tangis yang pilu dari kedalaman sungai.

Merah yang Menyala

SUATU waktu, air sungai tiba-tiba berubah warna. Menjadi merah. Pekat. Amis. Entah dari mana sumber warna merah yang menguasai seluruh air di sungai itu. Tak ada yang berani mendekat. Kemudian seorang bapak yang usianya sudah terbilang tua, segera menyampaikan maklumat: penunggu sungai ini sudah mati. Jadi jangan pernah takut lagi untuk mandi di sungai ini.

“Siapa yang mengalahkannya?” tanya seorang warga.

“Aku. Aku yang menghabisi jin ular di sungai ini,” jawab si bapak tua.

Warga tetap tidak percaya. Karena si bapak tua itu adalah pendatang baru yang sok tahu, sok sakti dan sok pemberani. Konon ia memiliki maksud jahat di balik maklumat y g telah disampaikannya. Berdasarkan cerita yang telah dirawikan oleh Wak Ju, si bapak tua adalah orang kota yang sengaja datang ke desaku ini dengan tujuan tidak baik. Ia hendak membangun arena bermain dan rekreasi dengan memanfaatkan sungai itu.

Pada malam harinya, sungai yang sebelumnya pelan-pelan sudah mulai kehilangan warna merah tiba-tiba kembali menjadi merah pekat dan semakin menyala. Kau tahu apa yang terjadi? Mayat si bapak tua mengambang di sungai itu dengan penuh luka di sekujur tubuhnya.

Esok harinya, sungai kembali pada asal. Bening dan hening. Keindahannya semakin sempurna.

Epilog

MAKA itulah beberapa cerita misteri yang mulai sejak dulu sudah ada dan menyesaki kepala warga desa ini. Tidak jelas siapa kali pertama yang telah menceritakannya. Wak Ju mendapatkan cerita-cerita itu dari orang-orang sebelumnya.

Meski seringkali ada yang menyuruh aku agar tidak bermain di sungai itu, aku tidak menghiraukannya. Aku juga tak pernah percaya pada cerita tengil dan ganjil itu. Karena sudah bertahun-tahun aku mancing di sungai ini tak satu pun kejadian aneh menimpaku. Semisal itu nyata, aku pasti lenyap dan tak kembali lagi.

Jikalau suatu hari nanti kau berniat berkunjung ke desaku, janganlah ragu. Seumpama ada salah seorang warga desaku bercerita tentang misteri sungai itu dan kemudian manakut-nakutimu agar tidak pergi ke sungai itu, maka janganlah pernah percaya. Kau pergi saja ke sungai itu, dan lihatlah betapa indahnya. Saat senja sudah tiba, maka kau akan merasa betah dan tak mau berpisah dengannya.

Apakah kalian tidak percaya kepadaku? Maka datanglah. Aku menunggu kalian di sini. Selamanya. (*)

 

Rima, 2014

— Agus Salim, lahir di Sumenep, 18 Juli 1980, menulis cerpen di beberapa media massa

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!