Gunawan Tri Atmodjo

Lelaki Tak Bermata dan Anjing Kudisan

0
(0)

Cerpen Gunawan Tri Atmodjo (Suara Merdeka, 8 Juni 2014)

Lelaki Tak Bermata dan Anjing Kudisan ilustrasi Putut Wahyu Widodo

/1/ Kesaksian Kedua Penunggu Makam

AKU melihat sendiri betapa lelaki tak bermata itu meratap dan memohon pada penduduk desa yang sedang sakit mata itu untuk tidak membunuh anjing kudisan di pelukannya. Lelaki itu menjadikan tubuhnya sebagai perisai bagi anjing itu. Beberapa pukulan yang sempat dilancarkan penduduk desa mengenai bagian belakang tubuhnya. Lelaki itu menjerit tertahan sedangkan anjing kudisan itu terus menyalak dengan ganasnya. Anjing itu tidak berlari tetapi justru meringkuk dalam dekapan si lelaki.

Suasana seketika haru oleh pemandangan tak wajar itu. Kemarahan penduduk seakan padam. Mereka menjauhi lelaki dan anjing itu. Meski mata mereka merah dan bernanah, mereka seakan tak kuasa melihat lelehan airmata dari rongga mata lelaki itu. Tetapi mata anjing kudisan yang memelas seperti mata manusia itulah yang justru membuatku terharu.

 

/2/ Pembelaan Diri Kedua Anjing Kudisan

AKU sudah bertekad akan sekuat tenaga melawan mereka. Meski aku paham senjataku cuma sepasang taring yang tak akan mampu melawan parang dan pentungan. Tapi kebenaran telah mengobarkan nyaliku. Aku tak takut mati. Lebih baik mati dalam perlawanan daripada menghadapi fitnah keji.

Mereka mengepungku dan aku membalasnya dengan nyaring salakan. Aku melihat sorot mata mereka yang merah dan bernanah. Hampir semuanya tatap iblis yang diliputi kemarahan. Hanya sepasang mata yang kulihat memancarkan pengampunan yaitu sorot mata anak juru kunci makam yang melihat peristiwa keji ini dari jarak aman. Sejenak aku menikmati tatapan itu sebelum mereka serentak menyerangku tanpa ampun.

Aku menyalak kian nyaring dan siap menghadapi kematianku tapi tanpa kusangka ada seorang lelaki menyibak kepungan dan menjadi santa bagiku. Lelaki itu menjerit dan memelukku, menjadikan tubuhnya sebagai perisai bagi tiap serangan yang diarahkan kepadaku. Tindakan berani lelaki itu membuat penduduk desa mengurungkan niat untuk menyerangku meski beberapa pukulan sempat bersarang di tubuh lelaki itu.

Aku merinding dan merapatkan diri pada tubuh lelaki itu. Ada sesuatu di luar sifat kebinatanganku yang memaksaku untuk terharu. Sebuah perasaan yang teramat ganjil bagi keanjinganku. Ketika ketegangan mereda aku menatap wajah lelaki itu. Raut mukanya sungguh mengundang iba. Ada rongga kosong di pelupuk matanya. Anehnya dari ceruk menyedihkan itu meleleh airmata yang beberapa tetesnya mengenai badanku. Tetesan yang kurasakan begitu hangat seperti doa di pagi hari.

Tak terasa mataku juga merebak. Inilah saat terindah dalam hidupku, ada manusia yang rela mengorbankan nyawa untukku. Aku sesenggukan yang mungkin mereka dengar sebagai kaingan tertahan lalu meringkuk di pelukannya. Lelaki ini telah menyelamatkanku. Aku tak akan melupakan dermanya ini dan berjanji akan membalas budi baiknya dengan apapun, bahkan dengan nyawaku sendiri.

 

/3/ Pengakuan Kedua Lelaki Tak Bermata

AKU tak lagi punya mata tapi masih dapat memahami segala yang terjadi dalam keributan itu. Sejak kehilangan kedua bola mataku, aku telah melatih indra penciuman hingga tingkat paling tajam. Aku seperti mampu melihat dengan cuping hidungku dan aku tahu bahwa penduduk desa ini akan membunuh anjing kudisan itu. Aku harus mencegah tindakan brutal mereka.

Baca juga  Keluarga Buku

Aku telah memperhitungkan dengan matang, senjata mereka akan dapat terjinakkan dengan rasa iba yang mengembang ketika mereka melihat wajahku yang tak bermata. Aku tahu persis hal itu. Tinggal mengalirkan sedikit air dalam rongga mataku, dan itu bukan perkara sulit bagiku, untuk memiriskan suasana. Aku yakin akan dapat menundukkan mereka tanpa kekerasan yang menguras tenaga. Maka dengan kepercayaan diri penuh, aku menyeruak kerumunan yang menyerupai lingkar penjagalan itu.

Anjing itu terus menyalak. Dari bau tubuhnya dapat kupastikan bahwa anjing itulah yang selama ini kucari dan saat ini harus kulindungi. Aku menerjang, memeluknya, menjadikan tubuhku perisai baginya seraya menjerit memilukan. Aku bisa merasakan dengan segera perubahan suasana. Penduduk desa mengurungkan niat menyerang tapi beberapa pukulan masih sempat bersarang di tubuhku. Rasanya sebetulnya bagai sentilan bagi tubuhku yang dilambari ilmu kebal tapi aku pura-pura menjerit tertahan dan itu membuat mereka menjauh.

Aku juga merasakan anjing ini menjinak padaku. Dia merapatkan tubuhnya di pelukanku. Mungkin dia mengira aku akan menjadi tuan baru yang penyayang baginya. Baguslah kalau begitu karena itu berarti aku tak perlu repot-repot untuk membawanya pulang dan membedah perutnya hidup-hidup untuk menemukan kembali sepasang mataku di sana. Ya, aku harus melakukan pembedahan itu selagi anjing ini hidup karena jika ia telah mati maka sepasang mataku yang berada di perutnya juga akan menjadi mata yang mati. Mata itu tak akan berguna lagi. Semoga saja mataku juga masih utuh di perut anjing ini.

Demi meyakinkan penduduk desa yang memang lantas pergi meninggalkan kami, aku mengelus kepala anjing kudisan yang amis ini. Dia seperti makin sayang padaku dan cuping hidungku menyadap bola mata anjing ini. Aku tergetar. Kucium sorot mata manusia dari tatapannya. Tiba-tiba terbersit niatku untuk juga mencungkil sepasang mata anjing ini dan memasangnya di belakang kepalaku. Ini akan menjadi sesuatu yang luar biasa. Hidup dengan empat mata. Sepasang untuk melihat segala yang di depan dan sepasang lagi untuk menyaksikan semua yang di belakang. Aku akan semakin sakti.

 

/4/ Muasal Prasangka Sumber Bala

PERISTIWANYA bermula dari dini hari yang laknat. Kutukan itu seperti menetas dari cangkang malam yang paling jahanam. Desa itu terserang bala yang dipercaya dibawa oleh seekor anjing kudisan. Para perondalah yang pertama kali melihat anjing itu memasuki gerbang desa. Menurut pengakuan mereka, mata anjing asing itu menyala begitu terang melebihi kilatan mata anjing biasa.

Semula mereka tidak menggubris kedatangan anjing itu tetapi petaka terjadi pada esok paginya. Beberapa warga desa tiba-tiba menderita sakit mata dan penularannya terjadi begitu cepat. Dalam waktu singkat hampir seluruh penduduk desa menderita sakit mata. Anehnya hanya mata anak-anak saja yang terselamatkan dari serangan wabah. Mata orang-orang dewasa memerah, perih, dan selalu berair. Selang beberapa hari setelah penyakit aneh ini menggila, mata penderitanya bernanah.

Baca juga  Menunggu Kelahiran

Balai pengobatan terdekat dengan desa itu merasa kewalahan menghadapi ledakan pasien sakit mata ini. Obat yang tersedia selain jumlahnya tidak memadahi juga terasa kurang berkhasiat. Maka mereka menunggu pasokan obat dari rumah sakit pusat yang perlu waktu berhari-hari untuk sampai di desa terpencil itu

Masa penantian panjang akan obat ini merangsang pikiran warga desa yang masih begitu percaya pada klenik untuk bertakhayul. Dan entah dari siapa tepatnya bermula, tapi yang pasti dari salah satu peronda, muncul syak wasangka bahwa anjing kudisan yang datang tempo hari itulah biang keladi semua bala ini. Mereka berpegang pada anggapan bahwa sebelum anjing itu datang, desa mereka aman tenteram. Prasangka itu menyebar lebih cepat dibandingkan wabah sakit mata. Mereka berkeyakinan harus membunuh anjing itu untuk menghentikan bala.

Dengan kemarahan memuncak, dicarilah anjing kudisan itu. Mereka menemukannya di pinggir pemakaman. Anjing itu sedang tiduran pada nisan di bawah pohon kamboja saat mereka mengepungnya. Mereka serentak menghunus senjata lalu salah satu dari mereka mengomando penjagalan.

 

/5/ Kesaksian Pertama Penunggu Makam

AKU sudah lama melihat anjing kudisan itu. Ia adalah anjing pendatang yang kemungkinan ingin menetap di pemakaman ini. Setiap kali aku membersihkan nisan-nisan aku selalu melihatnya nyaman tiduran di bawah pohon kamboja. Ayahku yang jadi juru kunci makam ini juga sering melihatnya. Bahkan beberapa kali kulihat anjing itu mengendus-endus sesuatu di depan pondok kami yang berada di samping pintu masuk pemakaman.

Memang terjadi peristiwa aneh beberapa saat lalu. Kulihat anjing itu menggondol sesuatu ke sarangnya. Pada awalnya kupikir itu usus ayam atau binatang lainnya tapi betapa terkejutnya aku setelah mendekatinya karena ketertarikan yang janggal, aku menyaksikan sendiri anjing itu sedang menyantap sepasang bola mata.

 

/6/ Pembelaan Diri Pertama Anjing Kudisan

AKU adalah anjing yang bebas, tanpa tuan, dan bisa pergi ke mana saja. Aku menjelajah segala ranah yang aku mau dan singgah di segala kenyamanan yang kusebut rumah. Tapi aku bukan anjing maling. Aku tak pernah mencuri. Makananku tersedia di sepanjang jalan. Aku hanya perlu mengaisnya dan aku tidak akan makan sesuatu yang bukan hakku.

Hari itu pagi di puncak musim kemarau. Aku berjalan tenang menyusuri sungai yang mulai mengering dan minum sedikit air. Di atasku ada jembatan kecil yang sepi karena tak dipakai lagi. Di situlah aku mendapatkan berkah perjalanananku. Berkah yang datangnya tak dapat diduga-duga. Hidungku yang peka mencium bau anyir yang masih segar. Aku segera menuju sumber bau di bagian lain bawah jembatan. Betapa terkejutnya aku ketika mengetahui bahwa aroma menggoda itu bersumber dari sepasang bola mata. Aku menyalak antara kegirangan dan dorongan hewani sebagai tanda bahwa akulah pemilik sepasang mata itu. Aku segera menggondolnya dan berlari pulang menuju pemakaman yang menjadi rumah baruku. Sepasang mata ini menjadi menu makan siang yang sangat lezat. Aku mengunyah kedua bola mata itu hingga lumat, hingga serpih terkecil sebelum menelannya. Setelah tandas, beberapa tetes lendir masih terasa gurih menggaris lidahku.

Baca juga  Sungai Buntung

/7/ Pengakuan Pertama Lelaki Tak Bermata

AKU ingin sekali menguasai kesaktian ini. Aku ingin dapat melihat yang tak terlihat. Aku ingin menyaksikan segala yang tersembunyi. Aku ingin dapat memandang kegaiban dan segenap rahasia yang tersimpan di dalamnya. Aku ingin melacak yang tak nampak.

Tapi guruku bilang bahwa ini adalah ilmu yang sulit. Aku harus melatihnya di ketinggian, penuh konsentrasi, dan tidak boleh kehilangan keseimbangan. Tahap mula ilmu ini adalah mampu melihat dengan jelas benda yang berada di kejauhan, maka aku memilih jembatan sepi ini untuk berlatih. Dari jembatan ini, aku dapat lurus menatap bukit di kejauhan. Jika tahap ini berhasil maka aku akan dapat dengan jelas melihat sebatang pohon yang telah kutandai di bukit itu.

Aku segera merapal mantra dan berkonsentrasi. Pandanganku tertuju ke bukit itu. Tapi hari itu memang hari naasku. Seekor burung gereja terbang ke arahku dan mengejutkanku. Konsentrasiku buyar dan aku kehilangan keseimbangan sedang segala tenaga terpusat di mataku. Aku hilang kendali. Sepasang mataku direnggut gravitasi, terjatuh ke sungai yang mulai mengering. Kepalaku tiba-tiba menjadi pening dan di bawah jembatan aku mendengar salak anjing. Dengan limbung aku meninggalkan jembatan mencari sepasang mataku yang jatuh.

 

/8/ Muasal Harapan Penolak Bala

SUDAH sebulan desa itu diserang wabah sakit mata. Bantuan obat-obatan dari rumah sakit pusat belum datang juga. Harapan kesembuhan kini dibebankan kepada tetua desa yang telah tiga hari tiga malam bersemadi di petilasan keramat di desa itu.

Setelah mendapat petunjuk, tetua adat itu bangkit dari semadinya dengan kelemasan di sekujur badan tetapi terpancar kelegaan dari wajahnya. Dia meminta air untuk minum dan membasuh matanya yang bernanah dan lengket karena terlalu lama terpejam lalu meminta seluruh warga desa berkumpul di halaman rumahnya.

Warga desa segera berkumpul mengelilinginya seperti laron mengerubuti lentera di malam hari. Dengan tenang, tetua desa itu menjelaskan bahwa sang penolak bala akan segera datang ke desa itu dan dia meminta warga desa menyiapkan penyambutan dan perjamuan. Sontak saja seluruh warga desa diliputi kegembiraan mendengarkan kabar itu. Kepala desa memberanikan diri bertanya kepada tetua desa mengenai sosok sang penolak bala itu. Tetua adat menjawab sesuai wangsit gaib yang didapatnya bahwa sang penolak bala itu adalah seorang laki-laki bermata anjing. (*)

Solo, 2012 -2014

— Gunawan Tri Atmodjo, cerpenis tinggal di Solo.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!