Cerpen Aris Kurniawan (Media Indonesia, 19 Oktober 2014)
JANGAN-JANGAN benar monyet itu jelmaan Maryam! Pikiran ini begitu menggelisahkan Liman. Ia merasa heran sendiri bagaimana gagasan aneh itu bersarang di kepalanya. Padahal, selama ini ia tak percaya takhayul, hal-hal gaib, dan cerita mistis yang bertebaran di kota kecilnya. Liman selalu berpegang pada logika. Itulah yang selalu ia tanamkan pada Punang. Ketika anak semata wayangnya itu bilang bahwa monyet-monyet di taman wisata Pelangon ialah jelmaan manusia yang suka berkhianat, Liman dengan berbagai cara menjelaskan itu dongeng belaka. Tak boleh dipercaya.
Liman berdebar-debar saat berdekatan, apalagi bertatapan dengan monyet itu. Sorot matanya sinis dan mengejek. Liman sungguh membenci keadaan itu. Ia sukar menjelaskan perasaan itu pada dirinya saat melihat sorot mata dan gerak-gerik monyet yang mirip benar dengan Maryam itu. Perempuan yang sangat dicintainya, tapi kemudian dibencinya lantaran berkhianat dan minggat bersama mantan kekasihnya.
“Ayah tidak suka Si Mongki? Dia lucu sekali.” kata Punang, saat bocah itu melihat keengganannya memberi Si Mongki pisang. Susah payah Liman menjelaskan bahwa ia tidak membenci Si Mongki dan benar monyet itu lucu sekali. Liman berlaku demikian agar tidak merusak kegembiraan Punang yang lama hilang bersama kepergian Maryam. Kehadiran monyet itu mengembalikan keceriaan Punang. Monyet itu seperti mainan baru yang sangat menghibur Punang dan mampu meredakan kesedihannya sejak ditinggal Maryam. Bocah itu sangat menyayangi Si Mongki. Punang tak mau jauh-jauh dari makhluk berbulu kelabu itu.
“Berilah Si Mongki makan, Ayah! Punang mau pipis sebentar,” kata Punang sembari menyodorkan pisang pada Liman. Ia merasa tidak bisa mengelak lagi untuk menerima pisang dari Punang dan bertatapan dengan mata Si Mongki. Dengan dada berdebar Liman mengulurkan pisang kepada Si Mongki sambil matanya berpaling ke arah lain. Sialnya, Si Mongki murung dan tidak meraih pisang yang diulurkan Liman. Lelaki itu akhirnya melempar pisang sekenanya ke arah Si Mongki dan mengawasi monyet itu melalui ekor matanya dari jarak tertentu. Mongki tampak tidak tertarik dengan pisang itu. Seakan tersinggung. Monyet itu malah berjingkat mendekatinya, mencari wajah dan sorot mata Liman yang sengaja dipalingkan. Sorot mata monyet itu seakan mengharap belas kasih Liman. Ini membuat Liman tak nyaman.
Liman berpikir keras bagaimana cara menyingkirkan Mongki dan menggantinya dengan hewan piaraan lain seperti kelinci, kucing, atau anjing. Aku harus membujuk Punang, piker Liman. Tapi bagaimana menjelaskan alasannya apabila anak itu bertanya? Punang tak mudah percaya dengan penjelasan sekadarnya. Liman menyesal minggu kemarin menuruti rengekan Punang untuk bertamasya ke tempat wisata Pelangon. Bukankah mudah saja membelokkan arah ke tempat wisata lain yang tidak kurang menarik? Ah, tentu Liman melakukan itu apabila ia tahu kunjungan mereka ke Taman Wisata Pelangon akan berbuntut dengan keadaan yang dihadapinya sekarang.
Liman berpikir suatu hari ia akan membawa monyet itu keluar dari rumah dan mengembalikannya ke habitat di Pelangon. Atau membuangnya begitu saja di pinggir jalan. Rombongan topeng monyet yang makin sering dijumpai di perempatan lampu merah tentu akan menangkap dan menjadikan Si Mongki sebagai sumber penghasilan baru.
Rencana itu kemudian memang dilakukannya. Seusai mengantar Punang ke sekolah, Liman hati-hati membawa Mongki dengan cara memasukkannya ke dalam kardus seolah membawa bom. Di jalan yang sepi menuju kantornya, ia membuka kardus dan mengeluarkan Si Mongki. Liman melangkah masuk agak ke dalam gerumbul semak dan meninggalkan Si Mongki di sana. Sekilas ia melihat mata Si Mongki yang tampak berkaca-kaca sebelum bergegas melanjutkan perjalanan. Namun, upaya itu gagal telak.
Sore sepulang kerja, Liman melihat Punang tengah membelai-belai kepala Si Mongki di teras rumah. Begitu melihat Liman datang, Punang langsung melapor kepada Liman bahwa Si Mongki menyusulnya ke sekolah. “Si Mongki duduk menungguku di bawah pohon kedondong depan pagar sekolah, Ayah. Untung enggak ada anak-anak yang menjahilinya…” Liman memaksakan bibirnya untuk tersenyum dan pura-pura turut bersyukur seraya membelai kepala Si Mongki.
“Syukur Si Mongki tidak sampai hilang,” kata Liman sambil berlalu masuk ke dalam rumah. Liman sadar kalimat yang diucapkannya terdengar hampir seperti keluhan. Untunglah Punang tidak memahaminya.
Tengah malam, ketika perasaan gelisahnya tak dapat diredakan, Liman bangun dan menuju kamar Punang.
Lalu, direnggutnya Si Mongki yang tengah tertidur pulas di samping bocah itu. Dibawanya Si Mongki ke dapur dan didudukkannya di atas meja. Diambilnya sebilah pisau. Ditatapnya mata monyet itu dengan penuh kekesalan. Si Mongki balas menatapnya. Makin lama bersitatap, makin bangkitlah sakit hatinya dikhianati Maryam. Kejadian menyakitkan itu terang benderang muncul di kepala Liman. Pagi itu Maryam menghilang setelah semalam mereka bertengkar lantaran Maryam menolak diajak bercumbu.
“Sudah kubilang, aku hanya mencintai Puja, dan dia masih menungguku. Cinta kami tidak bisa dikalahkan oleh apa pun. Jangan kamu kira ketampanan dan uangmu bisa meluluhkan hatiku, Liman!” kata Maryam seraya menepis tangan Liman yang hendak membelai tubuhnya.
Ucapan Maryam meremukkan perasaan Liman. Ia marah dan tersinggung, harga dirinya ambruk laksana dinding rapuh diterjang ombak. Dengan sisa-sisa ketegaran, pagi itu Liman mencari Maryam ke bangunan tua tak terpakai, tempat tinggal Puja di ujung gang. Maryam memang berada di sana. Mereka sedang berpelukan mesra di atas tumpukan kardus-kardus bekas. Liman tak mampu menahan perasaannya yang terbakar oleh cemburu. Namun, bukannya melabrak atau menghajar kedua orang itu, Liman justru lari meninggalkan bangunan tua itu, membawa hatinya yang gosong. Orang-orang menggunjingkannya sebagai lelaki dungu dan pengecut. Tak punya harga diri.
“Aaargh,” Liman berteriak menggebrak meja sambil melemparkan pisau, lantas meninggalkan monyet itu sendirian di dapur. Sampai pagi ia tak dapat memejamkan mata. Esok hari ia melihat Si Mongki sudah duduk manis menunggu Punang sarapan. Sambil sarapan Punang mengajak Si Mongki bercakap-cakap. Anak itu menasihati Si Mongki agar tidak mengulangi perbuatannya menyusul ke sekolah.
“Banyak anak-anak jahil, Mongki. Kemarin kamu untung tidak dijahili karena mereka tidak sempat melihatmu. Kalau hanya dijahili anak-anak masih untung, kalau kamu ditangkap rombongan topeng monyet, celaka kamu. Kamu akan disuruh bekerja setiap hari keliling kota. Ngamen di lampu merah sepanjang siang,” kata Punang seperti seorang ibu kepada anaknya. Tentu Si Mongki hanya diam, seakan mengerti nasihat Punang. Sejak monyet itu berada di rumah ini, Punang seolah mengabaikan Liman. Mandi, makan, berpakaian dilakukan Punang tanpa bantuan Liman. Benar-benar monyet celaka! Umpat Liman.
Kesempatan lain, Liman mendapatkan ide lain yang ia harapkan ampuh menyingkirkan monyet itu secara halus dari rumah. Ia akan menemui nenek di Taman Wisata Pelangon. Meminta nenek itu mengambil kembali monyet yang diberikan kepada Punang. Namun, rupanya rencana itu tidak semudah yang dibayangkan. Setelah memutari setiap sudut tempat wisata itu, ia tak juga menemukan orang yang dicari. Para petugas Taman Wisata Pelangon tak ada yang tahu nenek yang dimaksud Liman.
“Kami tak punya karyawan nenek-nenek, apalagi pawang monyet. Monyet di sini jinak tidak perlu pawang,” kata petugas dengan wajah terheran-heran mendengar pertanyaan Liman dan itu membuat ia gusar setengah mati. Namun, Liman tak berminat untuk menjelaskan bahwa salah satu monyet di taman wisata ini sekarang ada di rumahnya. Ia tak mau dituduh pencuri yang mengakui perbuatannya.
Setelah lelah berkeliling, Liman pulang dan berjanji akan mengulangi upaya itu pada hari berikutnya. Namun, hari ketiga upayanya tetap tidak membuahkan hasil. Magrib ketika ia benar-benar putus harapan, seseorang menepuk punggungnya. Liman memalingkan wajah. Dilihatnya nenek itu.
“Kamu mencari saya?”
Di antara terkejut dan gembira, Liman mengangguk ragu. Nenek itu kemudian mengajaknya menepi, duduk di undakan batu.
“Anakmu pintar merawat monyet, mereka saling menyayangi. Kenapa kamu ingin memisahkan mereka?” ujar si nenek.
“Tapi monyet membuat dia jadi lupa belajar dan tak mau bermain dengan kawan sebayanya,” kata Liman.
“Saya tahu itu bukan alasan kamu yang sebenarnya,” kata si nenek dengan sorot mata misterius, “kamu tidak percaya bahwa monyet-monyet di sini dulunya manusia yang dikutuk Pangeran Panjunan karena pengkhianatan dan kerakusan mereka.”
Liman terperangah.
“Kamu juga tidak percaya monyet di sini jumlahnya tetap 99 ekor sejak ratusan lalu?”
Liman diam.
“Pulanglah. Monyet itu akan saya ambil kembali apabila monyet di sini berkurang satu,” kata si nenek. Seperti terhipnosis, Liman menuruti perintah nenek itu. Dengan lesu dan langkah gontai Liman pulang. Sepanjang perjalanan Liman membayangkan Si Mongki akan semakin sinis memandangnya. Ternyata kejadiannya lebih buruk dari itu. Ketika Liman tiba di rumah, di teras dilihatnya Punang sedang duduk murung sendirian.
“Ada apa, Punang? Ke mana Si Mongki?” Liman segera membimbing Punang masuk ke dalam. Begitu mereka melewati pintu, Si Mongki tampak sedang berpelukan mesra dengan monyet lain di atas sofa, serupa sepasang kekasih yang sedang dimabuk asmara. Liman seakan menyaksikan Maryam dan Puja. (*)
2014
Aris Kurniawan, lahir di Cirebon 24 Agustus 1976. Menulis cerpen, puisi, resensi, esai untuk sejumlah penerbitan. Buku cerpennya yang telah terbit: Lagu Cinta untuk Tuhan (2005).
rifanpecros
Reblogged this on Peace Lover and commented:
Si Mongki
Efwe F
Reblogged this on Ruang Efwe.