Cerpen Toni Lesmana (Media Indonesia, 26 Oktober 2014)
WASTU berjalan paling belakang. Teman-temannya sudah jauh di depan. Ia sengaja berjalan lambat di jalan setapak yang diapit pohon-pohon mahoni. Ia enggan pulang dari hutan mungil di Kawali ini. Seolah ada yang menahannya. Hampir seharian ia mengitari situs Astana Gede. Masih saja belum puas.
Senja hampir habis. Mendung menyerbu langit. Malam berkemas. Puluhan kelelawar terbangun di dahan-dahan pohon. Serentak beterbangan. Berputar di atas situs sebelum bergerak ke utara. Kepak sayapnya seakan menjatuhkan gerimis. Memasuki areal situs, setetes gerimis pecah menimpa jarinya, Wastu teringat karinding.
Karinding pemberian seorang kakek tadi pagi. Barangkali Aki Kuncen. Ia tak sengaja menjumpainya sedang menyendiri dalam situs, tepatnya di tengah akar melingkar di depan cungkup berisi batu datar terhampar dan batu yang berdiri. Tangannya menggenggam pisau raut, di tangan yang lain sebuah karinding.
“Ambillah!” bisik Aki Kuncen sambil tersenyum.
“Kakek bisa membuat karinding?” Wastu bertanya takjub. Selama ini ia hanya bisa memainkannya, tanpa pernah bisa membuatnya.
“Kau bisa memainkannya?” Aki Kuncen balik bertanya, lalu bangkit meraih sapu lidi yang disandarkan pada sebuah pohon.
Wastu hanya mengangguk, masih dengan perasaan takjub.
“Ambillah! Karinding ini sepertinya berjodoh denganmu.”
Wastu meraih karinding dari tangan Aki Kuncen. Wajah Aki Kuncen seolah bercahaya, ubannya tampak berkilau. Ah, barangkali itu karena cahaya matahari pagi yang menerobos rimbun dedaunan, pikir Wastu.
Aki Kuncen menyapu serpih-serpih sisa rautan, lalu daun-daun di sekitar situs. Suara sapu lidi mengisi keheningan situs. Wastu memperhatikan Aki Kuncen yang berjalan ke arah prasasti, sampai menghilang di kelokan jalan setapak menuju areal situs, yang konon tempat penyimpanan abu orang yang gugur di Bubat.
Suara sapu lidi itu bergema lagi dalam ingatannya. Teman-temannya sudah tak terlihat. Mungkin sudah bersiap untuk pulang. Namun, Wastu masih ingin di sini. Menikmati suasana situs menjelang malam. Sebentar lagi, kata Wastu. Bus yang membawanya tak akan pergi jika jumlah rombongan belum utuh.
Gerimis menjadi hujan. Wastu menaiki pagar cungkup Batu Panglinggihan. Melompat dan berteduh di dalamnya. Duduk di batu yang datar lebar terhampar. Ia merasa nyaman. Sejak bertemu Aki Kuncen, ia ingin duduk di batu itu. Sunyi. Hanya suara hujan. Ia mainkan karinding. Mula-mula pelan, lama-lama ia asyik sendiri.
Bunyi karinding seperti mengundang hujan lebih lebat lagi, mengundang malam. Seperti panggilan. Dari langit bersusulan suara guludug. Hujan deras menimpa hutan mungil yang remang. Menerobos dedaunan. Berjatuhan di atas akar, batu, dan membasahi jalan setapak di antara cungkup-cungkup sunyi. Bunyi karinding terus mengalun dari prasasti ke prasasti. Bunyi sunyi.
“Wastuuuu! Wastuuuu!” teriakan dari gerbang situs Astana Gede tak dihiraukannya.
Di atas batu, yang konon dulunya digunakan untuk penobatan raja itu, Wastu menabuh karinding. Ia serasa menabuh segala yang ada di dalam situs itu. Menabuh batu, menabuh daun, menabuh akar, menabuh angin, menabuh waktu. Ia seperti menabuh tubuh sendiri. Menabuh jantung, hati, lambung. Menabuh kesunyian situs, kesunyian diri sendiri.
Wastu semakin khusyuk. Karinding dan hujan. Malam merayap.
Karinding semakin cepat tabuhannya dan hujan semakin deras menimpa apa saja. Wastu samar-samar melihat seseorang berjalan dari arah gerbang.
Perempuan berpakaian putih-putih. Berjalan limbung. Di belakangnya obor-obor melayang, apinya berwarna hijau kebiruan. Obor-obor yang melayang mengikuti ke mana saja perempuan itu berjalan. Setiap akar, batu, daun, dan mendadak memancarkan cahaya hijau keperakan. Aksara-aksara pada setiap batu prasasti serentak bercahaya keemasan. Situs itu marak dengan cahaya yang disiram bening hujan.
“Wastuuuu! Wastuuuuu!” teriakan kembali terdengar. Ini bukan suara teman-temannya. Ini suara perempuan. Merdu.
Wangi kembang menyeruak. Wastu memejamkan mata. Ia tahu ini tempat yang menyimpan sejarah. Ia tak ingin terbawa suasana. Namun, semakin dipejamkan semakin tampak sosok yang berjalan itu, semakin bening suara panggilannya. Semakin tak tentu tabuhan karinding-nya. Terkadang dengung yang bergulung, terkadang seperti jerit tipis burung mungil kesepian.
Obor-obor melayang di udara. Cahaya menetas di mana-mana. Di tangan perempuan itu terlihat bunga-bunga mekar, di tangan yang lain, darah berleleran. Teriakan perlahan menjadi nyanyian.
“Wastu, Aku pulang….” perempuan itu berputar dan menari. Seperti tersesat. Bunga-bunga terus bertebaran dari tangan kanan, sedang tangan kirinya tak henti meneteskan darah.
Tirai hujan dan remang malam tak dapat menutupi kecantikan perempuan muda itu. Jelita. Seperti bunga yang sedang mekar. Mekar dalam deras hujan. Wastu merasakan getar dalam dadanya. Batu, daun, tanah, dan angin ikut berdebar. Seisi situs seakan memiliki jantung. Dan semua jantung itu berdegup dalam dada Wastu. Ia mendengar seisi situs seperti berkata-kata, seperti merapal mantra atau doa. Seperti pernyataan cinta yang diulang-ulang. Pernyataan cinta yang murung dan gemuruh.
“Wastuuuu! Wastuuuu!” teriakan dari arah gerbang muncul lagi. Gaduh tak merdu. Mendekat. Ia mendengar langkah-langkah kaki. Tapi ia tak melihat siapa pun. Langkah-langkah begitu sibuk di sekitar situs. Tak lama menyebar, menjauh ke arah jalan setapak menuju mata air Cikawali.
Teriakan yang memanggil Wastu bergantian dari yang gaduh ke yang merdu. Yang merdu, pemilik suara merdu masih terus berputar dan menari. Dari cungkup ke cungkup. Menebar kembang meneteskan darah. Seperti mencari sesuatu. Seperti mencari pintu rumah.
Pakaian putih perempuan itu kuyup. Ada merah darah di dadanya. Ada sesuatu yang menancap. Wastu merasakan degupnya makin gemuruh. Pesona keindahan itu menikamkan kesedihan yang dalam. Ia tiba-tiba menyadari hujan adalah tangisan. Tangisan langit.
Perempuan itu terus menyibak hujan. Kain putihnya yang jatuh menutupi kaki, mulai bercampur warna tanah. Warna tanah itu naik merambati kain putih.
Wastu ingin bangkit dan menyongsong perempuan itu. Ingin memeluknya dan meredakan kesedihannya. Tapi ia tak bisa menghentikan jarinya yang terus menabuh karinding. Ia tumpahkan segalanya pada karinding yang menempel di bibirnya. Karinding seperti menguasai dirinya. Ia tak tahu lagi siapa yang sesungguhnya memainkan karinding, atau mungkin ia sendiri yang dimainkan oleh karinding.
“Wastu! Wastu! Aku pulang membawa kembang dan darah,” perempuan itu meliuk dari cungkup ke cungkup. Disentuhnya daun-daun. Tariannya melambat. Gerakan yang seakan melayang. Warna tanah terus merambat naik ke pinggangnya, sedang warna darah di dadanya melebar. Kain putih itu pelan berganti warna. Warna tanah melahap putih kain, melahap merah darah.
Wastu serasa ikut melayang. Batu, akar, daun, dan pohonan juga ia saksikan melayang. Ia seakan berada di tempat lain. Berada di ketinggian. Jauh di atas hujan. Ia masih mendengar gaduh yang memanggil namanya, tetapi suara-suara itu seperti berada jauh di bawah. Semakin jauh. Teriakan-teriakan itu semakin riuh.
Namun, ia terus melayang. Seisi situs melayang. Cahaya-cahaya melayang.
“Wastu! Aku pulaaang!” jerit perempuan itu melengking tinggi. Melayang lebih tinggi lagi. Seluruh kain putihnya sudah berwarna tanah. Benar-benar tanah. Tiba-tiba saja seluruh cahaya menetes seperti hujan, seperti air mata, lalu bergerak mengerumuni tubuh yang masih menari dengan gerakan yang sangat lambat. Cahaya-cahaya bergulung. Menyatu. Membubung tinggi membawa perempuan jelita itu lepas dari pakaiannya. Melesat menjadi cahaya dalam cahaya. Pakaiannya yang berwarna tanah meledak. Berguguran. Hujan abu. Wastu merasa dirinya ikut hancur menjadi abu.
“Pulanglah, Wastu. Pulanglah, Wastu!” seseorang berbisik, melepas karinding dari bibirnya.
Wastu tersentak. Ia mendapati dirinya terduduk di dalam cungkup Batu Pangeunteungan. Tak ada hujan. Di hadapannya Aki Kuncen tersenyum sambil membawa obor. Di luar cungkup ada banyak orang. Remang wajah orang-orang. Selebihnya gelap.
“Siapa yang tadi kulihat, Ki?” Wastu gemetar.
“Dia yang berangkat berhias dan pulang hanya abu. Dia yang abunya disemayamkan di sini. Dia yang sangat mencintai tanah airnya, melati Kawali yang gugur di Bubat. Barangkali ia melihat adiknya dalam dirimu,” bisik Aki Kuncen halus. “Dyah Pitaloka [1] barangkali ingin mengisahkan kesedihannya. Namamu Wastu, bukan? Adiknya bernama Wastu Kancana [2].”
Wastu diam. Nama yang benar-benar sama dengan namanya. Aki Kuncen kembali tersenyum sambil mengusap lembut kepalanya.
“Hampir pagi, Ki [3]!” terdengar ada yang berbisik gelisah dari orang-orang berwajah remang.
“Ayo, pulang. Teman-temanmu sudah lama menunggu. Bawalah karinding ini sebagai kenang-kenangan. Ini milikmu.” Aki Kuncen menuntunnya. Memintanya berjalan di depan.
Wastu melangkah sambil menggenggam karinding, ia teringat cahaya-cahaya yang marak di situs. Ia teringat kesedihan seisi situs. Cahaya-cahaya yang menangis. Wastu tenggelam dalam kesedihan.
Sebelum mencapai pintu gerbang, Wastu berbalik, ingin mengucapkan terima kasih kepada Aki Kuncen. Namun, nyala obor itu, orang-orang itu, seolah lenyap ditelan gelap. Tak ada siapa pun di belakangnya. (*)
Catatan:
[1] Nama putri Kerajaan Galuh yang gugur di Bubat.
[2] Nama adik Dyah Pitaloka, tak ikut ke Bubat.
[3] Nama Patih Kerajaan Galuh sekaligus paman dan pengasuh Wastu Kancana
Toni Lesmana, lahir di Sumedang. Menulis puisi dan prosa dalam bahasa Sunda dan bahasa Indonesia. Buku cerpennya Jam Malam Kota Merah (2012). Kini ia bergiat di Komunitas Studio Titikdua, Ciamis, Jawa Barat.
Icha Bayu Nugroho
saya sungguh terpana dengan ceritanya, dan masih memikirkannya sampai beberapa lama,,
*tiba2 merasa jadi orang Sunda yang sama sekali tidak tahu tentang tanah sunda
T.Trisilowaty
Membaca cerpen ini seperti menonton teater tragis yang membuat penontonnya lupa mengambil nafas.Setiap kata yang dirajut dirancang untuk menghasilkan efek yang memukau pembacanya
Gunawan Giatmadja
Rapi dan amat mengalir,
nur hayati
Tak bosan2nya saya baca cerpen ini,
Nurhayati
G bosan2 baca ini…2017 jg masih baca.