Cerpen Amalia Achmad (Suara Merdeka, 6 Juli 2014)
Selema tak tahu harus bagaimana. Ia bersembunyi di pojok kandang kuda yang tak terjangkau cahaya lampu gantung. Tak ada angin malam ini, dinding-dinding papan bergeming, segalanya terasa kering. Kuda-kuda meringkik gelisah seolah tahu ada hidup yang sedang terancam bahaya. Sementara di luar, teriakan memanggil-manggil namanya terdengar sahut menyahut.
Selema menerka-nerka, Tuan Pieter telah mengerahkan seluruh lelaki di rumah ini untuk mencarinya. Hanya masalah waktu, mereka pasti menemukannya.
“Selema! Keluar, Selema!”
“Selema! Jangan membuat Tuan Pieter bertambah marah!”
“Keluar Selema! Kekasihmu sudah kami tangkap!”
Selema menggigil. Ketakutan serupa selubung yang membungkusnya rapat-rapat. Ia tak kuasa merobek jalan keluar.
Lalu pintu kandang dibuka dengan kasar. Kira-kira sepuluh lelaki berdiri menantang. Api di atas suluh bambu di tangan-tangan mereka meliuk-liuk, menjilati seisi ruangan dengan cahaya remang.
Seseorang melangkah masuk lebih dalam.
Ringkik berubah menjadi pekik, kuda-kuda gugup di dalam kandang berlompatan.
“Ini dia!” Sebuah tangan merenggut gelungan rambutnya hingga tercerai berai. Salema tersentak, terhuyung-huyung mengikuti tarikan tanpa belas kasihan pada rambutnya yang panjang.
“Ampun! Ampun! Ampun!” Selema melolong. Kecuali kuda-kuda di dalam kandang, tak ada yang mendengarnya.
***
SEPATU hitam mengilap Tuan Pieter menjangkau dagu Selema hingga perempuan malang itu mau tak mau mendongakkan kepala. Ia terduduk di lantai ubin, setengah telanjang. Ikatan kain pada pinggang Selema tak cukup kuat untuk menahan pijakan langkah-langkah sembarang saat ia diseret paksa untuk keluar dari kandang kuda. Rambut panjangnya kusut masai menutupi wajah, telapak kaki-kakinya berlumpur hingga ke betis dan penuh luka sabetan rumput liar. Di lengan kanannya, bekas kebiru-biruan akibat cengkeraman mulai tampak.
“Ampun…,” Selema merintih.
Sekejap Tuan Pieter merasa iba tetapi ia menangkap kilatan mengejek pada sepasang mata Selema. Tuan Pieter berjongkok. Tangannya yang besar dengan rambut-rambut halus berwarna pirang meraih wajah Selema, membelainya sekilas sebelum kemudian membekap hidung dan mulut perempuan yang sempat membuatnya mabuk kepayang itu.
Tersumbat jalan napas, Selema menggelepar, berjuang sekuat tenaga yang tersisa untuk mempertahankan hidup.
“Tak ada ampun bagi pengkhianatan, Selema,” ucap Tuan Pieter singkat.
Habis rasa sayang untuk Selema, hilang mabuk Tuan Pieter oleh karena cinta, yang tertinggal hanya gelap mata akibat murka. Tuan Pieter membayangkan perempuan itu melingkar seperti ular dalam pelukan lelaki berkulit cokelat yang juga makan dari tangannya. Berdua mereka bercinta di atas batang-batang kering padi sambil menertawakannya. Dua peliharaannya telah berkhianat, dan tak ada ampun bagi mereka.
***
AKHIRNYA, Selema pulang ke rumah orang tuanya setelah bertahun-tahun melupakan mereka. Namun Selema bukan lagi gadis cantik berkulit warna gading dengan tingkah menggoda. Ia hanyalah tubuh kaku dalam sebuah peti.
Orang tuanya, Umak dan Ubak Ema begitu mereka dipanggil, sudah lama dikucilkan. Tak ada yang restu kembang dusun menjadi pekcun. Nelangsa Umak dan Ubak Ema. Anak satu-satunya yang mereka punya, yang dulu ditimang beriring doa-doa, yang cantik jelita, kini telah hilang nyawa dengan sia-sia. Ke mana mereka harus mengadu?
Bahkan tanah kampung halaman pun tak sudi menerima.
Ya, ketika pemakaman tiba, hanya ada beberapa karib keluarga yang bersedia hadir melepas kepergian Selema. Tetapi bukan itu masalahnya. Selema tak bisa dikuburkan. Tubuh mati itu menolak ditanam di dalam tanah, seolah ada yang belum tuntas di dunia. Bagaimana perinciannya, tidak ada yang mau membuka suara. Pendek kata, Selema tak bisa dikuburkan. Itu saja.
***
SELEMA terombang-ambing. Di bawahnya mengalir deras air Sungai Musi. Di atasnya terang bintang-bintang berlatar langit pekat sementara rembulan bulat merekah. Selema dingin dan dendam.
Selema yang telah mati tak bisa disimpan di rumah. Juga, tak seorang pun yang sedia membakarnya. Atas dasar kesepakatan bersama antara orangtua, keluarga, dan imam yang serta dalam upacara pemakamannya, Selema akhirnya dihanyutkan di Sungai Musi.
Umak dan Ubak Ema ingat betul, dulu anak perempuan mereka gemar mencandai aliran sungai di belakang rumah itu. Setelah tunai kewajiban membersihkan diri atau mencuci kain dan pecah belah, Selema betah tinggal berlama-lama. Barangkali inilah jalan terbaik. Barangkali Selema akan rela kembali ke sana.
Di tepi Sungai Musi, perjumpaan-perjumpaan rahasia antara Selema dan seorang lelaki bernama Duli pernah terjadi.
Kulit Duli yang cokelat, otot yang pejal, tubuh dengan lekuk laksana pahatan dewa. Kembang senyum tipis Duli yang misteri, lirik mata yang menyimpan goda, wajah setampan pangeran dari barat. Namun, Duli bukan anak dewa atau pangeran muda, ia hanyalah seorang yatim piatu yang diangkat sebagai pengurus kuda-kuda milik seorang menir Belanda.
Hari berganti minggu berganti bulan berganti tahun, Selema menemui Duli di tepian Sungai Musi.
“Kak Duli, sudahkah kau temukan jawab atas permintaanku? Bawa aku ke Tuan Pieter, serahkan aku sebagai persembahan baginya.”
“Ema, jawabku tetap sama, aku tetap teguh. Kau milikku seorang, aku tak akan membagimu.”
“Kak, segera setelah cukup kukumpulkan bekal untuk hidup kita di masa depan, aku akan meninggalkan Tuan Pieter, kau akan ikut denganku, orang tuaku akan ikut dengan kita. Kita langlang buana, keluar dari dusun.”
Duli tak menginginkan pembicaraan yang sama terulang. Ia jelas menentang cita-cita kekasihnya, Selema, untuk menyerahkan diri sebagai gundik bagi tuan tanah dari Belanda. Meski penyerahan diri hanyalah muslihat demi menghimpun kekayaan yang akhirnya akan mereka nikmati bersama, Duli tak akan rela.
Namun, Selema keras kepalanya.
***
SELEMA dingin dan dendam. Di hilir, Duli menanti. Direngkuhnya tubuh mati kekasih tercinta. Bersama Selema dalam pelukan, ia melaju dengan Sungai Musi sebagai kendara. Duli dingin dan dendam. Kesumat yang liar telah membelitnya. Sumpah telah ditera, Duli tak akan pernah memaafkan Tuan Pieter dan seluruh jongosnya, tidak pula orang-orang dusun yang telah begitu keji menghalau ia dan kekasihnya.
***
KETUKAN pelan di pintu terdengar. Aku terlonjak dari dudukku. Kutatap mata Nenek yang kelabu. Ia belum sempat menyimpul cerita.
“Siapa?” seru Nenek.
Aku menahan napas. Menunggu.
Lalu lirih jawaban datang, “Selema. Tolong, tolong bukakan pintu. Di sini dingin, di sini sepi. Nenek juru masak di rumah Tuan Pieter, aku mencari Tuan Pieter. Adakah Tuan Pieter di dalam, Nek?”
Sesayup-sayup, di antara kecipak arus deras Sungai Musi yang terbentur batu-batu kali, kudengar ringkik gelisah kuda. Aku tercekat. (*)
— Amalia Achmad adalah nama pena Chusna Amalia, lulusan Universitas Negeri Yogyakarta, jurusan Linguistik Terapan dan bekerja sebagai karyawan Universitas Gadjah Mada. Cerpen-cerpennya di muat di beberapa media massa.
Leave a Reply