Cerpen Tiyasa Adfian (Suara Merdeka, 20 Juli 2014)
Tidak akan manjur rajah nurbuwat kalau tidak dibungkus kafan perempuan yang meninggal dalam keadaan perawan. Demikian pesan Kiai Arofah kepada Pak Kalimas. Jabatan “kiai” bukan lantaran gemar memberi ceramah melainkan karena Kiai Arofah bisa berurusan dengan hal tak terlihat. Juga karena lelaki yang tak pernah luput mengemut kretek itu selalu memakai kemeja putih seperti baru pulang dari Makkah.
Malam itu, di ruangan Kiai Arofah yang beraroma misik putih dan dihiasi kaligrafi, aku dan Pak Kalimas khusyuk mendengarkan. Sejak masa pemilu Pak Kalimas sering sowan ke Kiai Arofah. Malam itu aku bertugas menemani Pak Kalimas. Menemani berarti: menyopiri sedan, memarkir, duduk mendengarkan, dan bersiap memenuhi semua syarat Kiai Arofah. Pertemuan malam itu diakhiri dengan perintah kepada Pak Kalimas untuk membawa selembar rajah nurbuwat sebagai gembolan, jimat untuk pemenangan pemilu.
“Zak, sudah mengerti kan?” Pak Kalimas berkata sambil menepuk bahu kiriku. Kumis Pak Kalimas setebal lintah.
Aku hanya mengangguk mengiyakan sambil menyilakannya masuk sedan. Pikiranku berkelana membayangkan bagaimana mungkin aku harus membongkar makam dan mencuri secuil kafan mayat.
“Semoga ada perawan yang buru-buru mati. Kalau tidak, bisa berabe.”
Berita kematian menjadi hal yang membahagiakan Pak Kalimas. Kematian seorang perawan. Kalau sudah berambisi menang, semua halal dilakukan. Semua harus didapat baik itu dengan tangan, pedang, tombak, panah, atau revolver. Dan logika dinomorsekiankan.
***
BERITA kematian tak seperti taksi yang saban menit datang. Sudah seminggu semenjak kunjungan itu, tak ada satu pun perawan yang mati. Di tengah-tengah kampanye dan safari politik, Pak Kalimas selalu menanyakannya dengan nada kalimat cemas.
“Ini gimana, Zak?”
Ingin aku menjawab bahwa kemenangan bukan ditentukan oleh selembar kafan mayat perawan pembungkus rajah nurbuwat, tapi sudah dipastikan di lauful mahfuz. Tetapi yang keluar justru, “Pak Kalimas pasti menang.”
“Dalam politik, yang magis itu kayak sambal, Zak. Selalu penting kehadirannya.”
“Pak Kalimas, kalau saya boleh usul, sebaiknya turun ke masyarakat semakin digencarkan. Apalagi ini periode kedua Bapak maju. Masyarakat sudah tahu Bapak.”
Pak Kalimas terdiam. Matanya menerawang ke luar.
Aku justru tertarik mengamati sebuah asbak di meja kerja Pak Kalimas. Asbak dengan hiasan patung kecil dari kayu jati blora. Seekor rubah melawan seekor ular. Rubah tak berbisa berani melawan seekor ular dengan bisa mematikan. Seorang pemimpin petahana sekalipun akan takut menghadapi calon pemimpin baru yang datang dengan roda pergerakan baru.
Telepon genggam Pak Kalimas berdering. Mendekati masa pemilu, memang Pak Kalimas sering mendapatkan telepon atau undangan makan malam yang bersifat rahasia dengan tokoh-tokoh penting. Aku hampir berdiri keluar, tak enak menggangu percakapan pribadi lewat Pak Kalimas dengan seseorang di ujung sana. Saat bokongku sudah terangkat sedikit, Pak Kalimas menahanku dengan gerakan tangan. Mulutnya mengucapkan kalimat tanpa suara, bahwa yang sedang menghubunginya adalah Kiai Arofah.
“O… begitu? Baik. Nanti Zakaria yang kusuruh.”
“Nanti malam? Jam berapa?”
“Jam sebelas?”
“Makasih, Kiai Arofah!”
Telepon dimatikan. Namaku disebut-sebut. Ini pasti ada hubungannya dengan rajah nurbuwat dan keberadaanku sebagai pesuruh.
“Zak! Doa kita terkabul!”
Aku berlagak seperti kura-kura di perahu yang berpura-pura tidak tahu.
“Di desa Kiai Arofah ada perawan yang siang tadi mati diserang lebah hutan. Nanti malam kamu akan dijemput orang Kiai Arofah untuk mengambil kafan perawan itu.”
Jelas sekali mimik Pak Kalimas berubah. Yang semula cemas kini berkilau laiknya sebongkah emas.
“Pak…,” aku berniat menyela dan menolak.
“Orang Kiai Arofah akan menjemputmu sekitar jam 10 atau 11. Pastikan mereka bekerja benar. Kamu hanya bertugas mengawasinya. Tidak usah turun ke liang lahat. Dan besok kain kafan untuk pembungkus rajah nurbuwat itu sudah harus ada!”
Pak Kalimas meraih amplop cokelat. “Bawa ini dan serahkan ke mereka. Mungkin juga kamu kasihkan ke juru kunci. Bonusmu kukasih besok!” Amplop tebal berisi uang disodorkan kepadaku.
Kalimat itu seperti tembok besar yang susah diruntuhkan. Protesku bakal bertemu dengan ancaman seorang atasan. Kuiyakan meski sedompol ragu mulai mengajukan protesnya.
Aku keluar ruangan. Di ruang tengah, di halaman, di berbagai ruang di sekretariat pemenangan ini banyak sekali agenda rapat. Kepalaku mulai berdenyut membayangkan apa yang akan terjadi malam nanti. Selembar kain kepunyaan seorang perawan yang mati diserang lebah hutan akan kucuri demi usaha Pak Kalimas agar menang pemilu. Aku buru-buru pulang. Sore sudah mulai gelap. Langit disesaki awan dan beberapa rombongan burung pulang berpapasan dengan gerombolan kelelawar yang mencari makan di malam hari.
***
AKU sudah di halaman rumah juru kunci. Dua orang Kiai Arofah; Bung Besar yang memiliki perut sebesar ibu hamil sembilan bulan dan Bung Codet yang terdapat bekas luka sepanjang telunjuk jari di wajahnya. Mereka memanggilku bos.
“Bos, juru kuncinya minta dua juta,” kalimat Bung Besar mengagetkanku. Aku mengangguk. Tidak masalah, asal urusan ini lekas selesai.
Kuambil dari amplop. Sebendel uang kuserahkan kepada Bung Codet.
Lima belas menit kemudian mereka bertiga, Bung Besar, Bung Codet, dan juru kunci yang sudah tua berjalan membawa senter menuju area makam. Mungkin juru kunci itu akan memimpin doa. Bagaimana pun kafan yang akan diambil nanti bukan kepunyaan satu di antara kami. Mayat perempuan perawan itu berhak sepenuhnya atas kafan tersebut. Apa pun, siapa pun, bahkan mayat sekalipun sangat mungkin melakukan apa saja demi kepunyaannya yang dicuri orang.
Aku memilih berdiam di dalam sedan. Menunggu mereka selesai melakukan tugas Pak Kalimas malam itu.
Mata kupasang sangat teliti. Setiap gerik sekecil dan sedikit apa pun tidak lepas dari perhatianku. Aku tidak takut dengan makhluk halus, hantu, sundel bolong, atau apa pun. Yang kutakutkan adalah gelombang protes di pikiranku. Mereka menolak apa yang kulakukan. Mereka ingin aku menjadi bawahan yang bernalar sadar. Buat apa sekolah hingga sarjana kalau menyelesaikan masalah dengan cara demikian.
Suara jangkrik mengerik. Suara burung malam berdekuk. Suara bambu berkeriut seperti ada seseorang yang memainkannya. Kudukku meremang. Kuputar radio perlahan sebagai teman.
Suasana seram mulai menghilang. Tiga puluh menit Bung Besar dan Bung Codet ditemani juru kunci datang. Mereka membawa selembar kain dalam plastik putih. Kuserahkan upah kepada Bung Besar dan Bung Codet. Dalam sedan aku hanya terdiam. Plastik itu kudekap. Aku ingin gegas sampai rumah, menyembunyikan tubuh di bawah selimut tebal. Dan besok kain kafan untuk membungkus rajah nurbuwat kuserahkan Pak Kalimas. Beres sudah tugasku.
Perjalananku ditemani suara penyiar radio yang bertelepon dengan pendengar, lalu disambut dengan suara musik keroncong lawas. Rembulan bulat bunder seser seperti tampah, di tengah hamparan langit malam yang biru kehitaman.
***
PAK Kalimas tersenyum gembira, ketika kuserahkan kafan perawan untuk membungkus rajah nurbuwat. Entah apa yang dipikirkannya. Mungkin Pak Kalimas membayangkan kemenangannya sudah sedemikian dekat. Kemenangan di pemilu untuk kedua kalinya akan digenggam. Tidak akan rugi puluhan miliar rupiah digelontorkan untuk memuluskan jalan Pak Kalimas menduduki kursi gubernur kedua kalinya itu.
“Bagus, Zakaria!” Pak Kalimas memanggil namaku lengkap kalau sedang ceria. Aku tidak mau mengingat kembali ketengangan semalam. Cukup sekali aku harus berhubungan dengan kuburan dan pencurian kafan. Sudah kapok.
Pak Kalimas lalu mengeluarkan rajah nurbuwat pemberian Kiai Arofah. Selembar kafan yang ada bercak-bercak hitam tanah digelar di meja. Pak Kalimas membungkus rajah seperti sedang memeragakan membungkus lumpia rebung. Rajah nurbuat yang berupa lipatan kertas kecil, diletakkan di ujung. Lalu ujung kafan sampingnya dilipat untuk menutupi rajah nurbuat. Kemudian digulung hingga tertutup semua. Terakhir, Pak Kalimas menalinya dengan benang kasur warna hitam. Diikat erat, lalu dimasukkan ke saku baju safari kotak-kotaknya.
“Kiai Arofah menasihati buntelan rajah nurbuwat ini harus kubawa terus.”
Belum selesai Pak Kalimas berbicara, suara pintu diketuk mengagetkan. Setelah dipersilakan masuk, ternyata Bung Besar dan Bung Codet yang semalam membantuku mencuri kafan. Mau apa mereka ke sekretariat, kalau ada orang tahu bisa menjadi masalah.
“Mohon maaf Pak Kalimas dan Pak Zakaria. Saya mau menyerahkan kafan pesanan. Semalam ternyata Pak Zakaria pulang dahulu sebelum kami selesai menggali.”
Tengkukku tiba-tiba dingin. Aku dan Pak Kalimas saling tatap kebingungan. Aku sedang membayangkan siapa atau makhluk apa yang semalam menyerahkan selembar kafan yang sekarang dipakai membuntal rajah nurbuat Pak Kalimas. Pak Kalimas mungkin sedang berpikir untuk mendakwaku berbohong. Bung Besar dan Bung Codet bingung melihat dua orang saling tatap dan tak lekas menanggapinya.(*)
Pandega Duta 3, 2014
— Tiyasa Adfian, penulis lepas dan bermukim di Yogyakarta.
Leave a Reply