Ahmad Nurullah

Nyonya Cordelia dan Anjingnya

3.7
(3)

Cerpen Ahmad Nurullah (Media Indonesia, 2 November 2014)

Nyonya Cordelia dan Anjingnya ilustrasi Pata Areadi

UDIN kesal. Amarahnya lepas. “Anjing!” makinya, seraya menendang Bruno dengan keras, setelah anjing milik majikannya dikeramasi. Entah siapa persisnya yang ia maki: anjing itu, atau majikannya?

Bruno terkaing, lalu melompat. Tubuhnya yang kuyup berjemur. Lidahnya terjulur. Sepasang matanya menghiba menatap Udin. Celakanya, kelakuan Udin tertangkap basah oleh Mak Enok.

“Hei, Udin! Kenapa Bruno ditendang?” teriak pembantu tua itu. “Aku bilangin Nyonya kamu!”

Udin kaget dan salah tingkah. Mukanya pucat. Ia tak mengira akan kepergok. “Aduh, jangan, Mak. Jangan bilang sama Nyonya. Nanti aku bisa dipecat,”

mohonnya.

“Biar saja kamu dipecat!”

“Ampun, Mak. Jangan! Kalau dipecat, aku kerja apa?”

“Tapi kenapa Bruno kamu tendang?”

“Habis, aku kesal.” katanya, lalu menyeringai.

Udin kesal karena setiap kali Nyonya Cordelia menghubungi ponselnya, selalu yang ditanyakan anjingnya. Seperti barusan, “Bruno sudah kauberi makan, Din?” Juga tadi pagi, sebelum majikannya berangkat, “Jangan lupa nanti Bruno dimandiin, Din. Jangan terlalu sore, nanti ia kedinginan.” Atau kemarin, dan kemarin lagi. Pertanyaan serupa, diulang-ulang. “Sebal!” gerutu Udin, sambil menggosok-gosok tubuh Bruno dengan handuk.

***

Sudah lima bulan lebih Udin bekerja di rumah Nyonya Cordelia. Tugasnya mencabut rumput liar di halaman, membersihkan kamar mandi seminggu sekali, kadang menyodok selokan yang mampat, dan tentu saja mengurus anjing.

“Itulah tugas pokok kamu, Din; mengurus anjing,” ujar Nyonya Cordelia, dulu. “Gaji kamu kunaikkan dua kali lipat. Mau?”

Udin girang. Wajahnya bersinar. Lagi pula, apa susahnya mengurus anjing?

Mulanya Udin bekerja sebagai OB di perusahaan tour & travel milik Nyonya Cordelia. Tugasnya menyapu kantor dua lantai dan mengepel, mengelap meja, dan membelikan nasi bungkus buat bos dan beberapa karyawan menjelang jam makan siang. Gajinya lumayan. Cukup buat makan dan bayar kontrak rumah petak di pinggiran Jakarta. Apalagi ia selalu mendapatkan tips dari beberapa karyawan.

Tapi, kapan ia kawin dengan Lipah, pacarnya di kampung? Dengan penghasilannya sebagai OB, nanti Lipah akan dikasih makan apa? Apalagi kalau nanti Lipah ikut ke Jakarta dan beranak. Maka tawaran Nyonya Cordelia dirasa membentangkan jalan terang ke masa depan.

Tapi setelah lima bulan lebih bekerja di rumah Nyonya Cordelia, mengurus anjing ternyata bukan tugas yang ringan. Sebetulnya mudah: tinggal mencolokkan selang, membuka keran air di pojok halaman depan, lalu menyemprot tubuh sang anjing dan menggosok-gosoknya dengan sampo. Gampang! Tapi kalau setiap hari berkali-kali ditanya soal anjing? “Aku bisa gila,” gerutunya.

Baca juga  Salju-salju yang Berjatuhan di dalam Dadaku

***

Nyonya Cordelia janda beranak tiga: Peter, Franky, dan Bobby. Semua sudah berkeluarga dan sudah meniti karier masing-masing. Meski usianya 56, nenek empat cucu yang masih kecil-kecil itu tetap langsing dan singset. Parasnya tetap cantik dan terawat.

Awalnya ia bukan pencinta anjing. Ia terdorong memelihara anjing sejak bertemu tetangganya, Jeng Alin, di ruang terbuka hijau dekat rumahnya di kawasan elite. Jeng Alin berolahraga ditemani seekor anjing. “Ini anjing Shih- Tzu modern, Jeng Lia. Salah satu ras anjing tertua dari Tiongkok,” ujar Jeng Alin membanggakan anjingnya.

Nyonya Cordelia hanya manggut-manggut. Ia tak mengerti soal anjing. Tapi ia perhatikan, anjing itu keren juga. Bulunya panjang, sebagian menutupi daun telinganya. Ada berbagai warna dan pola pada bulunya. Tubuhnya kokoh. Moncong dan kakinya pendek. Sikapnya waspada, tapi angkuh. “Shih-Tzu sangat cocok sebagai anjing penjaga,” kata Jeng Alin.

Shih-Tzu, kata Jeng Alin lagi, salah satu dari beberapa tipe anjing singa yang nenek moyangnya dikembangkanbiakkan di Tiongkok tahun 1.000 M. Nenek moyang Shih-Tzu modern diduga dibawa ke Tiongkok dari Tibet atau Asia Tengah.

“Pada zaman dahulu, anjing ini memiliki tempat terhormat di pengadilan Kerajaan Tiongkok, Jeng, tepatnya pada masa Dinasti Manchuria. Tapi, setelah dinasti itu jatuh tahun 1911, Shih-Tzu dipelihara di luar istana kerajaan oleh masyarakat Tiongkok dan pendatang asing,” Jeng Alin mengurai sejarah Shih- Tzu.

Nyonya Cordelia mulai gerah. Tapi, tetangganya itu terus nyerocos. Shih- Tzu, katanya, pertama kali dibawa dari Tiongkok ke daerah barat sekitar akhir 1920-an dan awal 1930-an. Namun setelah komunisme berkuasa, ras anjing ini menghilang dari Tiongkok. Mao, menurut Jeng Alin, tidak suka anjing Shih-Tzu karena dianggap sebagai symbol kekayaan.

“Pada zaman dahulu, memang hanya orang kaya yang sanggup membeli anjing ini. Saya kira juga di zaman sekarang. Oke, Jeng. Kita berolahraga lagi, yuk!”

Sialan! Nyonya Cordelia meradang. Kata-kata Jeng Alin terdengar seperti ejekan. Ia menyesal karena baru menyadari bahwa anjing ternyata symbol kekayaan. Kalau tahu sejak dulu, pasti ia pun memelihara anjing. Anjing apa tadi? Zizu?

Baca juga  Marni dan Marcelia

***

Sore bulan November. Nyonya Cordelia pulang lebih cepat, dan ia membawa oleh-oleh seekor anjing. “Mul, bawa turun anjing itu,” perintahnya kepada sopirnya.

Mak Enok menjerit ketakutan ketika melihat Mulyadi menurunkan seekor anjing dan menuntunnya ke halaman. “Wah, anjing apa ini, Nyonya? Ih, ngeri! Siapa yang akan mengurus?” Mak Enok bergidik.

“Tenang, Nok,” kata Nyonya Cordelia. “Tugasmu tetap mengurus rumah. Nanti kucari orang yang akan merawat.”

Jenis kelaminnya jantan. Bulunya hitam, pendek, dan mengkilap. Tubuhnya cukup besar dan kekar. Nyonya Cordelia bangga pada anjingnya, dan ia memberinya nama; Bruno. Baginya, anjing itu semacam properti, sekaligus simbol status sosial.

“Tugasmu memberinya makan dan mandiin, Din,” katanya pada Udin. Sesuai anjuran pedagangnya saat membeli, ia berpesan agar Udin menyuapinya dengan kapsul minyak ikan setiap hari.

“Cukup 2-3 butir sehari. Supaya bulunya tetap mengkilap,” katanya.

“Baik, Nyonya.”

Hari-hari pertama bertugas mengurus anjing, Udin asyik-asyik saja. Hampir seluruh waktunya tercurah untuk merawat anjing. Lalu tibalah hari-hari yang menjengkelkan. Suatu siang, ponsel Udin berdering. Ia mengira itu dari Lipah, pacarnya di kampung. Ternyata majikannya, “Bruno sudah kauberi makan, Din?”

“Sudah, Nyonya.”

“Sudah kau mandiin?”

“Sudah, Nyonya.”

Pertanyaan itu terus berlanjut, berulang-ulang, sampai sekarang. “Masak setiap hari selalu Bruno yang ditanyakan. Aku sendiri nggak. Kalau begini terus, aku bisa gila,” gerutu Udin, dan diam-diam ia cemburu.

***

Sebuah akhir pekan di bulan Mei. Pagi masih pucat ketika Nyonya Cordelia berlari-lari kecil bersama anjingnya. Ia berharap pagi itu bertemu Jeng Alin. Ia merasa perlu menunjukkan bahwa ia pun punya anjing. Bruno bermalas-malasan mengikuti langkah majikannya. Maklum, hubungan Nyonya Cordelia-Bruno tak terlalu akrab, sebab sehari-hari anjing itu lebih sering bersama Udin.

Guk, guk, guk! Terdengar gonggong anjing dari kejauhan. Tampak Jeng Alin berlari-lari kecil bersama anjing Shih-Tzu-nya. Tetangganya itu mendekat. “Halo, Jeng Lia!” sapanya, ramah. “Sudah lama tak berolahraga. Ke mana aja?”

Nyonya Cordelia tersenyum. “O, saya sudah lama ikut Klub Senam, Jeng Alin. Itu sebabnya saya jarang berolahraga di sini. Pagi ini saya hanya iseng. Mengisi waktu.”

“Mau memamerkan anjing kampung?” Jeng Alin langsung menembak.

Wajah Nyonya Cordelia memerah. Telinganya tersengat. Bruno menggonggong keras. Bukan karena ia tersinggung dikatai “anjing kampong”, tapi karena anjing kampung itu gentar melihat anjing Shih-Tzu di hadapannya, yang tampak lebih galak.

Baca juga  Mozaik

“Sttt!” kata Jeng Alin pada anjing Shih-Tzu-nya, lalu menoleh ke Nyonya Cordelia. “Tenang, Jeng Lia,” katanya, “Anjing saya tidak akan menyerang. Masak anjing Shih-Tzu harus melawan anjing kampung? Nggak level lah.”

Nyonya Cordelia terbakar. Dengan nada tinggi ia membela anjingnya, “Jangan sembarang ngomong, Jeng Alin. Bruno bukan anjing kampung!”

“Anjing apa?”

“Kata yang jual, ini anjing Mongrel.”

Tawa Jeng Alin meledak hingga bola matanya yang kecil lenyap ke dalam kelopaknya. “Apa bedanya anjing kampung dengan anjing Mongrel, Jeng? Eh, tahu nggak: anjing jenis itu ada di mana-mana. Hanya orang miskin yang memeliharanya.”

Telinga Nyonya Cordelia tersambar. Wajahnya ikut hangus. Ia tak punya kata-kata untuk membela anjingnya. Dengan perasaan malu ia langsung pergi meninggalkan Jeng Alin, diikuti Bruno, yang melangkah munduk-munduk di belakang.

***

Pagi itu Nyonya Cordelia uring-uringan. Mak Enok, yang sedang menyapu lantai, jadi kaget. Udin, yang baru saja keluar dari kamar tidurnya, langsung kena tembak. “Hei, Udin! Buang anjing itu!” kata majikannya itu, berang.

“Lho, kenapa, Nyonya? Kenapa Bruno akan dibuang?”

“Itu anjing kampung! Bikin malu saja!”

Nyonya Cordelia menelepon Mulyadi, sopirnya. Marah-marah. “Mul! Kenapa kamu nggak bilang kalau anjing yang kita beli itu anjing kampung?”

“Wah, saya tidak tahu, Nyonya. Saya tidak mengerti anjing. Kan Nyonya sendiri yang pilih. Kata Nyonya, yang murah saja.”

“Cepat ke sini kau! Buang anjing itu!”

“Dibuang ke mana, Nyonya?”

“Terserah! Aku tidak mau melihatnya lagi!”

***

Malam yang risau. Di kamar tidurnya dekat dapur, Udin tak dapat memejamkan mata. Wajah Bruno terbayang. Entah di mana anjing itu sekarang. Ia menyesal. “Maafkan aku, Bruno,” suaranya lirih. Sampai menjelang fajar ia terus menerawang. Meratapi kepergian Bruno, sekaligus mencemaskan nasibnya sendiri. Kini ia sadar, tanpa Bruno ia bukan apa-apa. Tanpa anjing itu, ia kehilangan pekerjaan. Lalu, akan ke mana? Udin terisak. (*)

Jakarta, 2014

Ahmad Nurullah, Sastrawan kelahiran Sumenep, Madura, 1964. Selain cerpen, ia menulis puisi, kolom, dan kritik sastra. Buku puisinya, Setelah Hari Keenam (2011)

Loading

Average rating 3.7 / 5. Vote count: 3

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. aisal

    Ceritanya simple, tp mengena!!
    Suka

Leave a Reply

error: Content is protected !!