Griven H Putera

Jalan ke Kanan

0
(0)

Cerpen Griven H Putera (Republika, 09 November 2014)

Jalan ke Kanan ilustrasi Rendra Purnama

Jalan ke Kanan ilustrasi Rendra Purnama

Ibnu Sabir, itulah namanya. Nama itu berarti anak orang sabar. Bisa juga berarti anak yang sabar. Entah apa sebab orang tuanya memberikan nama itu untuknya. Mungkin karena namanya itulah ia selalu dicoba dan diuji Tuhan. Belum setahun pulih dari pansang, ia menderita amnesia.

Tiga bulan normal, datang lagi cobaan baru, terbuang dari rumah mertua. Menelusuri jalan-jalan sempit dan bersemak berhari bermalam diguyur hujan. Ia menerjang badai mengikuti emosi yang tak pernah dingin oleh siraman hujan yang seperti enggan berhenti.

Bila sendiri tak mengapa, tapi dengan istri dan tiga orang anak yang masih kecil-kecil pula mengendarai vespa butut, sungguh tak bisa dibayangkan. Hamdan tegak di depan, di sela setang dan tas yang teronggok. Naila di punggungnya. Yang paling bungsu, Mursyid, di belakang lagi, di pelukan istrinya. Ibnu berusaha pergi sejauh-jauhnya dari pesantren tempat ia belajar dan mengabdi selama ini.

Harus meninggalkan rumah mertua? Ah, pasalnya tak jelas, penyebabnya tak tahu pasti. Ibnu tak habis pikir apa kesalahannya pada mertuanya itu. Sebagai santri, ia hanya sami’na wa atha’na, menurut saja.

“Kita akan ke mana, abi?” tanya istrinya setelah maksud pergi dari rumah mertuanya tersebut diutarakan Ibnu pada istrinya.

“Ke mana saja,” jawab Ibnu tak berselera.

“Apa abi sudah berpikir masak-masak?”

Ibnu tak menjawab. Ia berjalan menuju lemari kitab, memasukkan buku dan kitab- kitab ke dalam tas tanpa menoleh sedikit pun pada Zainab. Wajahnya keruh.

“Bagaimana nanti dengan Naila, Hamdan, dan Mursyid? Dan, kini Inab sudah tiga bulan pula mengandung,” kata Zainab.

“Umi, abi sudah tak tahan lagi di sini. Kita harus pergi segera. Yakinlah Allah akan menolong kita. Dan …” kata-kata Ibnu tertahan.

“Dan apa, bi?”

“Dan, kalau umi keberatan ikut abi, tak apa. Nanti-nanti abi akan datang ke mari melihat kalian.”

Zainab tak berkata, hatinya perih mendengar penuturan suaminya itu. Air tampak mengambang tipis di sudut matanya.

“Abi tersinggung pada bapak?” terdengar suara Zainab seperti orang berbisik.

“Tidak, umi. Abi sedikit pun tak sakit hati pada bapak. Mungkin maksud bapak baik agar kita bisa mandiri. Kalau kita terus berdiam diri di pesantren ini, mungkin tak akan ada perubahan apa-apa.”

Akhirnya Zainab diam, ia ikuti kehendak suaminya, pergi dari rumah orang tua meski hatinya pedih tak terkatakan. Selama ini ia aman dan nyaman di sini, tak pernah pusing memikirkan ini dan itu. Tapi, nanti ia akan pergi dari tempat ini, dari tempat lahir dan besar bersama ayah bunda tercinta. Pergi dengan suami ke arah tujuan tak jelas.

Baca juga  Mimpi dan Takdir

***

Malam itu, Ibnu membawa vespa bututnya yang meraung-raung di tengah hujan deras mengguyur, menelusuri jalan setapak demi setapak yang asing tanpa tujuan. Ia genjot gas vespa butut itu mengikuti kata hatinya yang harus berbelok ke kanan. Sampai di sebuah simpang, ia berbelok ke kanan. Tiba di simpang lagi, ia berbelok ke kanan. Begitulah terus. Ke kanan, ke kanan, ke kanan, kata hatinya.

Ketika malam telah jauh dan ketika Naila dan Hamdan sudah mulai mengantuk, ia pun berhenti. Tak peduli tempatnya di mana. Di depan pos ronda, di depan mushala, di depan pohon kayu besar, atau di depan masjid. Pokoknya, jika Naila dan Hamdan sudah mulai mengantuk, ia berhenti di situ. Ia tak ingin anak-anaknya celaka di jalan. Ini sudah malam keempat ia berjalan tanpa tujuan.

Pada suatu malam, Ibnu membawa istri dan anak-anaknya ke pondok ladang di tengah sawah. Badai hampir saja menumbangkan pondok reot tersebut. Ketika istri dan anak-anaknya lelap dalam kedinginan, Ibnu duduk. Matanya tak mau berpejam. Perutnya terasa lapar, melilit-lilit. Tapi, malam itu tak ada pengganjal perut. Sambil beringsut malas, ia ambil wudhu. Ia tampungkan kedua tangan pada tetesan hujan yang turun dari atap pondok. Ia shalat dalam dingin dan lapar.

Usai Tahajud, dipandanginya wajah Naila lekat-lekat. Wajah polos dan lugu yang memeluk ibunya dalam kedinginan tampak kumal. Rambutnya kusau. Lalu, ia lihat pula Hamdan yang sesekali batuk, telentang di kaki ibunya. Lalu, pada Mursyid yang berbantal pada lengan istrinya. Pulas. Terakhir, pada wajah istrinya.

Ibnu merasa sangat bersalah pada istri dan anak-anaknya. Karena kekerasan hatinya, mereka jadi korban. Terluntang-lantung tanpa tujuan. Ibnu mulai berpikir yang bukan-bukan. Andaikata nanti Naila demam atau mungkin Hamdan atau Mursyid jatuh sakit, apa yang akan dilakukan? Ke dokter? Ah, tadi nasi dua bungkus saja harus dibagi lima. Apakah Zainab masih menyimpan uang? Pikirnya. Kalau uang sudah habis? Pikirnya lagi bertali-tali. Atau, kembali ke pesantren, ke tempat bapak Zainab lagi? Tidak. Tak mungkin!

Sampai pagi menjelang, saat fajar mulai berkibar di langit timur, Ibnu masih belum bisa tidur. Masih memikirkan apa yang telah ia lakukan selama ini, bagaimana nasib anak istrinya kelak. Ia mulai ragu.

Baca juga  Menunggu Tamu

“Ayah, kita akan ke mana?” tanya Naila padanya seusai melaksanakan shalat Subuh.

Ibnu diam.

Zainab mengusap kepala anaknya.

“Kita akan ke mana, umi?” tanya Naila pula pada Zainab. Zainab tak memandang kepada anaknya. Perempuan itu kemudian menunduk, melipat mukena di samping Mursyid dan Hamdan yang masih lelap. Lalu, pelan-pelan ia angkat wajah, melirik pada Ibnu.

Ibnu mengerti maksud istrinya. Ia menarik napas. “Kita akan pergi ke kampung, La,” jawab Ibnu memandang lembut kepada Naila.

“Masih jauhkah kampung kita, abi?”

“Sebentar lagi kita sampai,” jawab Ibnu lirih.

“Kita kembali ke tempat kakek saja ya, bi,” kata Naila berharap.

Ibnu tak berbunyi. Hatinya pilu mendengar permintaan anaknya itu. Ia layangkan pandang ke luar jendela. Beberapa helai kabut tampak menyelimuti bebukitan yang ditumbuhi belantara.

***

Hujan belum juga reda. Gelap semakin mengepung. Sesekali pancaran kilat memancar ngeri, menanti gelegar petir yang datang sabung bersabung. Ibnu, Zainab, dan ketiga anaknya sudah kuyup. Ibnu merasa Naila dan Hamdan menggigil. Di sekeliling tak ada sesuatu yang bisa dijadikan tempat berteduh. Sekuat tenaga ia genjot gas vespanya. Semakin lama semakin kuat. Tapi, semakin lama Ibnu merasa vespanya kian tak berjalan. Tangannya serasa kejang. Gelap.

“Di mana ini?” Ibnu memandang perempuan cantik di sampingnya berbaring.

Perempuan itu hanya tersenyum. Jantung Ibnu berdebar.

“Mbak ini siapa?”

Perempuan bermata jernih, berkulit terang yang dibungkus jilbab biru mengilat, lagi-lagi tersenyum.

Ibnu coba berpikir tentang apa yang telah terjadi.

“Di mana Zainab? Naila, Hamdan, dan Mursyid?” katanya bergumam sendiri.

Ibnu coba duduk, tapi tak bisa. Seolah bergoni-goni beras mengimpit tubuhnya.

“Kamu ini siapa? Di mana istri dan anak-anak saya?”

Perempuan itu membalik badan, berjalan ringan menuju pintu. Lenyap meninggalkan bau wangi luar biasa dari kibaran gaun tipisnya yang berwarna ungu muda.

Tak lama kemudian, Ibnu mendengar suara Naila dan Hamdan, sayup. Ibnu senang. Tapi, mengapa mereka menangis dan memanggilnya? Di mana mereka? Ibnu tak bisa duduk. Seluruh tubuhnya terasa sakit sekali. Ibnu tak sabar menunggu kedatangan anak-anaknya. Tapi, mereka tak kelihatan juga. Suara Naila dan Hamdan terus saja terdengar memanggilnya.

Ia imbau Naila kuat-kuat, memberi tahu kalau ia ada di sini. Tapi, tak ada jawaban.
Yang terdengar hanya tangisan dan rintihan yang terus memangil ayah. Naila seolah tak mendengar panggilannya. Ia panggil pula Hamdan, juga tak menjawab. Ia panggil Zainab.
Tetap tak ada jawaban. Hanya tangis mereka yang terus terdengar, tapi keberadaan mereka tetap tidak jelas.

Baca juga  Burung-Burung Membangun Masjid

“Di mana saya ini?” tanya Ibnu lagi kepada perempuan cantik yang tiba-tiba sudah berada di sampingnya. Perempuan itu kembali tersenyum.

Seorang lelaki memasuki rumah. Ibnu terkejut, lelaki yang baru masuk itu mirip dengannya. Hanya, lelaki itu lebih muda. Lelaki yang memakai jubah krem itu seolah-olah dirinya 10 tahun yang lalu.

“Tuan, di manakah saya ini?” tanya Ibnu penuh harap. Lelaki itu tak menghiraukan Ibnu. Dengan isyarat telunjuk, ia perintah perempuan di samping Ibnu untuk meninggalkan tempat itu. Tanpa suara, lelaki asing dan perempuan yang tak dikenal Ibnu tersebut pergi.

Setelah mereka pergi, Ibnu teringat sesuatu yang lain, apakah lelaki itu adalah … ah, tidak. Saya belum siap pergi. Saya masih memerlukan anak-anak, istri, dan semua keluarga. Saya masih kurang amal. Mengingat lelaki yang mirip dengannya itu, badan Ibnu menggigil. Keringat dingin mulai mengalir di sekujur tubuhnya. Ia panggil lagi Naila, Hamdan, Mur syid, dan Zainab sekuat-kuatny,a tapi hanya tangis mereka yang terdengar.

Merasa tak berhasil, Ibnu berdoa kepada Tuhan agar ia diperkenankan bertemu lagi dengan orang-orang yang dicintainya itu. Ia baca surah al-Fatihah terpatah-patah.

***

“Nak Zainab, kalau nanti Ustaz Ibnu sudah siuman, katakan padanya kalau rumah dan semua tanah saya ini diwakafkan kepadanya untuk dibuat pesantren,” kata Bu Zaleha. Janda kaya yang sampai masa tuanya tak ditemani siapa pun itu berharap Ibnu dan Zainab mau dijadikan anak angkatnya. Zainab tak begitu peduli pada ucapan Bu Zaleha, orang baik yang menyelamatkan mereka setelah vespa Ustaz Ibnu terguling malam tadi.

Ia hanya berharap suaminya lekas sadar dari pingsan. Air mata perempuan itu terus mengalir, meleleh lembut di pipi pucatnya. Hatinya tak berhenti melantunkan doa agar suaminya selamat dari maut. Sementara, Naila dan Hamdan terus memanggil ayahnya penuh harap. Sedangkan, si bungsu, Mursyid, duduk di belakang Zainab, mengintip ayahnya yang terbujur di tengah rumah. (*)

 

 

Pekanbaru, Oktober-November 2014

Griven H Putera Lahir di Rantaubaru, Riau, 28 Juli 1976. Sejumlah tulisan berupa cerita pendek, opini, dan resensi buku pernah dimuat di media lokal dan nasional.

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!