Cerpen Doni Indra (Republika, 26 Oktober 2014)
Ibu punya obsesi yang tidak biasa. Sebelum menutup mata, beliau ingin shalat atau bersujud di tempat yang tinggi. Bukan sembarang tempat, melainkan di puncak gunung.
Penyakit pengeroposan tulang (osteoporosis) ditambah asam urat membuat gerak ibu sangat terbatas. Hari-harinya lebih banyak dihabiskan di tempat duduk sambil menonton TV atau membaca buku. Ibu hanya beranjak dari duduknya untuk makan, ke kamar tidur, dan ke kamar mandi. Meskipun sakit, ibu tetap cerewet pada anak-anak dan cucunya.
Ibu hanya mau berbaring di tempat tidur seharian kalau kakinya benar-benar sakit dan sulit digerakkan. Jika asam uratnya kambuh, ibu akan meringis seharian. Namun, ibu tidak akan mengaduh, apalagi berteriak atau menunjukkan kelemahannya. Setiap melangkah, ibu akan berjalan pelan-pelan atau berpegangan di dinding dan tidak mau pakai tongkat. Ibu menggunakan kursi roda hanya jika bepergian. Mengerjakan shalat pun ibu berusaha duduk dan hanya berbaring kalau kakinya benar-benar sakit.
Sebagai anak bungsu, aku tinggal bersama ibu, suami, dan anak semata wayangku. Kakak- kakakku yang semuanya sudah “jadi orang” sekali sebulan bergantian menengok ibu.
Sejak menikah, aku memutuskan berhenti bekerja demi merawat ibu dan menjadi ibu rumah tangga bagi keluarga kecilku. Padahal, karierku di perusahaan multinasional cukup bagus. Aku sedang dipromosikan menjadi manajer saat memutuskan resign dari kantor.
Ibu yang pensiunan bankir adalah orang yang galak menurut orang-orang di kantornya. Ia terkenal tegas dan disegani sehingga tidak heran sebelum pensiun, ibu menjadi kepala cabang di beberapa tempat dan terakhir menjabat kepala divisi, jabatan setingkat di bawah direktur.
Almarhum bapakku pensiunan jaksa yang terkenal bersih. Kami dididik secara keras, terutama dalam hal pendidikan. Aku sangat bersyukur berada dalam keluarga yang tidak kekurangan, tapi juga tidak hidup mewah. Istilah sekarang, kami ini termasuk keluarga kelas menengah yang cukup maju.
“Ibu sudah shalat Zhuhur?” tanyaku ketika melihat ibu asyik mengisi TTS.
“Sudah. Mia sudah pulang?”
“Belum, Bu. Hari ini ada ekstrakurikuler di sekolahnya.”
“Oh iya, kapan kamu mau mengajak ibu ke gunung?” tanya ibu dengan nada serius.
Aku terdiam. Itu lagi, itu lagi yang ditanyakan ibu.
“Kapan, Saras?” ibu tak sabar menunggu jawaban.
“Bu,” kataku pelan, “ibu kan sakit. Nanti, kalau ibu sudah sembuh, Saras akan ajak ke gunung. Kita mendaki sama-sama. Seluruh keluarga, Bu.”
“Ibu maunya sekarang!” nada suaranya meninggi.
“Tapi, Bu ….”
“Kamu meragukan kemampuan ibu? Sudah berapa gunung yang ibu daki bersama bapakmu. Salak, Gede-Pangrango, Lawu, Merapi, Semeru, Rinjani, Kelimutu, Leuser, Jayawijaya. Bahkan, ibu hampir berangkat ke Himalaya.”
“Saras tahu. Ibu kan perempuan tangguh. Siapa sih yang tidak kenal ibu? Primadonanya Mapala UI, ciee, ciee,” kataku bermaksud menggoda.
Ibu sedikit tersenyum. Mukanya memerah. Namun, sejenak kemudian, suaranya kembali lantang.
“Makanya secepatnya kita ke gunung. Ibu ingin sekali shalat di gunung. Ibu akan berdoa memohon ampun atas dosa-dosa ibu selama ini. Ibu ingin kembali merasakan hawa gunung, Saras.”
“Berdoa bisa di mana saja dan kapan saja kan, Bu. Tidak harus di gunung.”
“Gunung sudah menjadi bagian dari hidup ibu. Bahkan, waktu ulang tahun pernikahan ke-25 dulu, ibu dan bapak merayakannya di puncak Gunung Singgalang, dekat kampung bapakmu.”
“Saras paham, Bu. Begini deh, kita ke Puncak Pass saja pekan depan. Kita sudah lama kayaknya nggak pergi ke Puncak. Ibu bisa shalat di sana,” aku kehabisan akal menyiasati keinginan ibu.
“Itu bukan gunung!”
“Tapi kan tempatnya tinggi, Bu.”
“Yang lebih tinggi lagi, Saras. Yang membutuhkan perjuangan untuk sampai di sana.”
Aku tak bisa berkata apa-apa lagi.
Untuk kesekian kalinya aku berkonsultasi dengan kakak-kakakku. Mereka antara sedih, geli, dan tak habis pikir dengan obsesi ibu.
“Jangan ketawa terus, Bang. Saras yang setiap hari bersama ibu. Lama-lama kan kepikiran juga. Jangan-jangan ini permintaan terakhir ibu.”
“Huss, jangan ngomong sembarangan,” kata kakak tertuaku, “Begini deh, kamu bawa saja ibu ke Bromo. Abang dengar dari teman, katanya sekarang di Puncak Pananjakan ada mushala BSM. Bagus katanya. Ibu bisa shalat di situ nanti.”
“Yang benar, Bang?”
“Iya, coba saja browsing internet.”
Tanpa menunggu lama, aku segera browsing ‘Mbah Google’. Ternyata benar. Ada mushala BSM yang bagus sekali. Wisatawan yang selesai menikmati sunrise bisa shalat Subuh di situ. Sebelum mushala tersebut dibangun, pengunjung cukup kesulitan untuk melaksanakan shalat ketika berwisata ke Bromo.
“Bu …” pelan-pelan kubangunkan ibu yang tertidur di kursi.
Ibu membuka matanya.
“Ibu sudah shalat Ashar?”
“Belum. Sudah masuk waktu ya?”
“Sudah,” jawabku, “Oh iya, Bu, Saras sudah ketemu gunung yang bisa ibu datangi!”
“Gunung apa?”
“Gunung Bromo, Bu.”
“Bromo?”
“Iya, Bu,” kataku penuh semangat.
Mata ibu melotot. “Ibu sudah pernah ke sana dengan bapakmu. Tidak menantang sama sekali. Hanya melihat sunrise di Puncak Pananjakan, kemudian turun ke pasir melihat Gunung Batok dan mendaki tangga menuju kawah Bromo. Kayak piknik biasa dan tidak ada perjuangan sama sekali,” jawab ibu ketus.
Aku membatin. Dasar ibu, sudah emak-emak yang susah berjalan masih saja memikirkan petualangan.
“Tapi, Bu. Ibu bisa shalat di sana.”
“Susah shalat di sana. Ibu dulu sampai nggak shalat Subuh.”
“Sekarang ibu bisa shalat di Bromo. Nggak usah bawa sajadah, ibu tinggal bawa mukena.”
“Tapi, Saras ….”
“Ibu tidak usah berpikir panjang. Ibu mau shalat di gunung, kan?”
“Iya.”
“Ibu mau shalat di tempat yang jauh lebih tinggi dari Puncak Pass, kan?”
“Iya.”
“Sekarang Ibu nggak boleh protes. Ibu nurut saja apa kata Saras. Ibu siapkan saja mukena yang bagus. Kita berangkat pekan depan!”
Ibu masih terheran-heran.
“Sekarang ibu shalat Ashar dulu. Saras akan atur semuanya,” kataku sambil menuntun ibu ke kamar mandi.
Ibu masih menatapku tak percaya. Ternyata kali ini aku bisa galak seperti ibu.
Ibu menurut saja ketika kami berangkat ke bandara. Kami pergi berlima, yakni aku, ibu, suamiku, anakku, dan kakak tertuaku.
Kami naik pesawat nmenuju Malang. Dari Malang, pukul 00.00, kami naik mobil sewaan menuju Desa Wonokitri, gerbang masuk menuju Bromo, sekitar tiga jam dari Malang.
Tepat pukul 03.30, kami naik mobil jenis hardtop menuju Puncak Pananjakan untuk melihat sunrise. Sepanjang jalan ke Puncak Pananjakan adalah jurang menganga di bawahnya, namun kami tidak bisa melihat karena malam sangat gelap.
Di Pananjakan, kakakku menggendong ibu menaiki anak tangga menuju gardu pandang untuk menyaksikan matahari terbit. Sungguh ramai sekali manusia yang ingin mereguk matahari pagi di Bromo. Setiap sudut gardu pandang penuh orang.
Pukul 04.30, fajar menyingsing. Langit Bromo memerah di tengah kegelapan. Secara perlahan, tampaklah di bawah sana deretan Gunung Batok, Gunung Bromo, dan Gunung Semeru di belakangnya yang masih berselimut kabut tebal. Suasana terasa sangat syahdu menyeruak ke seluruh sanubari.
Sungguh indah. Benar-benar berasa negeri di atas awan. Ibu menangis, tangannya mengusap air mata yang mengalir perlahan. Terkenang masa-masa indah bersama bapak ketika masih muda dan selalu bersemangat menaklukkan berbagai gunung di Indonesia.
Ibu menunjuk Gunung Semeru di kejauhan dan bercerita di puncak gunung itulah ibu dan bapak berjanji untuk menjadi dua sejoli yang tak terpisahkan. Kami membiarkan ibu lama sekali memandangi gunung-gunung indah tersebut agar dahaga ibu akan hawa gunung terpenuhi dan jiwanya yang selalu rindu akan tempat yang tinggi dapat terpuaskan.
Setelah puas melihat sunrise, kembali ka kakku menggendong ibu menuruni anak tangga. Kami akan shalat Subuh di mushala BSM.
Gapura bertulisan Mushala Bank Syariah Mandiri atau disingkat mushala BSM menyambut kami. Gapuranya berdesain arsitektural Hindu Majapahit sebagai penghormatan kepada masyarakat Hindu Tengger yang tinggal di sekitar Gunung Bromo.
“Bu, ibu bisa shalat di sini sekarang. Di puncak gunung, di tempat yang sangat-sangat tinggi!” aku setengah berteriak melawan dingin.
Kami masuk ke area mushala. Mushala ini dilengkapi tempat wudhu, kamar mandi pria dan wanita, taman, dan gazebo untuk menyaksikan sunset di Gunung Bromo.
Wow, sekarang di Bromo tidak hanya bisa melihat sunsrise, tapi juga sunset! Ini baru seru!
“Terima kasih, Saras. Ibu sangat bahagia. Walaupun tidak bisa ke puncak gunung yang membutuhkan perjuangan berat untuk mendakinya, ibu sudah merasakan hawa gunung yang lama ibu impikan,” kata ibu penuh haru.
Kami berpelukan dan menangis bahagia.
“Kalau ibu bahagia, kami semua turut bahagia, Bu.”
Ibu shalat dengan khusyuk di mushala BSM, lalu berdoa lama sekali.
“Ya Allah, hamba siap kapan pun Engkau mau memanggil hamba,” kata ibu dalam doanya. Beberapa pekan kemudian, ibu bermimpi melihat bapak memanggilnya dan mengajak ibu mendaki gunung, berdua saja. Ibu dan bapak benar-benar merayakan ulang tahun pernikahan ke-50 di suatu puncak gunung nan jauh di sana. (*)
Doni Indra, penikmat dan pegiat sastra, tinggal di Tangerang Selatan.
Leave a Reply