Cerpen Makanudin (Republika, 31 Agustus 2014)
Ia duduk lelah di kursi depan rumahnya. Membuka beberapa kancing baju bagian atas dan mengipas-ngipasinya dengan sobekan bekas kemasan minuman ringan alas lipatan pakaian-pakaian yang tertumpuk di atas meja. Lalu, mengelap wajah dengan selembar pakaian.
Lalu, terdengar derit pintu berkarat. Imah, istrinya keluar, lama berdiri dalam keterheranan, “Tidak biasanya, Bang.”
Ia mengerti maksud perkataannya, tapi tidak segera menjawab, masih merasakan panas yang belum juga reda. “Ingin pulang saja.” Suaranya setipis detak jam di dinding rumah. Ia terus mengipasi dadanya yang masih basah keringat.
“Biasanya, Abang pulang sore hari atau menjelang Maghrib.” Imah masih berdiri di sebelahnya.
“Tak mengapa pulang lebih cepat, kan?” ia tidak menoleh, tidak begitu memedulikannya.
“Ya. Tetapi mengapa?” suaranya terdengar sangat datar. Tapi, Imah meninggalkan suaminya dengan langkah yang lamban sebelum ia sempat menjawab. Ia menduga kepulangannya menggelayuti pikiran Imah. Ia merasa berat menceritakan kepada Imah peristiwa pahit yang kembali datang. Berat sekali.
Setahun lalu, ketika perusahaan tempatnya bekerja akan merampingkan karyawan, ia salah seorang yang terimbas.
Imah sempat shock ketika mengetahui ia terkena PHK dari pabrik mainan anak-anak itu. Imah membayangkan kesulitan mendapatkan pekerjaan baru. Selain banyak pekerja muda yang mengantre.
Sejak itu, dengan uang pesangon Imah selalu mencarikannya peluang usaha lainnya. Kemudian, sembari kembali mencoba melamar pekerjaan ia menjalankan bermacam usaha. Dari membantu temannya, sampai usaha bersama. Dari jualan bakso keliling, sampai mi soto. Dan, ia sempat menyerah setelah berkali mendapatkan kegagalan.
Ia merasakan perih. Perih sekali mengingat kejadian itu dengan kelelahan tenaga dan biaya yang ia keluarkan. Tapi, dengan kekuatan hati, istrinya masih membantu mancarikan peluang lainnya.
Terakhir, setelah menghitung sisa uang pesangonnya yang masih mencukupi, Imah memintanya mendirikan warung di antara deretan warung yang selalu ia lewati setiap kali pulang mangajukan lamaran. “Daripada menganggur, Bang.”
Ia senang sarannya. Semangatnya segera bangkit. Namun, lagi-lagi usahanya yang sedang ia rintis itu pun berakhir dengan kepahitan.
Imah keluar. Ia menyingkirkan beberapa potong pakaian yang masih tertumpuk ke tepi meja. Lalu, tanpa menoleh ia meletakkan teh manis. Ia duduk di kursi sebelahnya.
Memandangi wajahnya dalam-dalam.
“Apa yang terjadi, Bang?” tanyanya setelah mengerti yang tersembunyi dari raut wajah suaminya.
Pertanyaan Imah menyentak diamnya. Tapi, ia tidak menjawab. Tidak juga menoleh. Ia terus mengipasi dadanya dalam panas yang masih terasa menikam-nikam mengingat kejadian pahit itu.
Ketika itu, setelah baru saja turun dari mobil umum saat matahari mulai naik, ia melihat puluhan orang berseragam mengeluarkan barang dari warung-warung yang berderet di antara jalan utama dan kali yang membelah kota kecamatannya. Lalu, ia segera menemui teman-temannya yang berdiri di tepi jalan tidak jauh dari satu unit mobil beko yang sedang parkir.
“Kita cegah!” katanya sembari mengedarkan pandangan ke mereka.
“Sangat sulit,” jawab mereka.
“Harus berusaha.”
“Ya, tapi kita tidak memiliki kekuatan melawan.” Pandangan mereka ke deretan warung.
Tanpa menghiraukan mereka, ia segera mendekati alat berat itu. Begitu sampai, saat si sopir memaksa menaiki dan akan menghidupkan mesin, ia segera menarik kerah bajunya. Dengan rasa takut, ia turun dari kabin. Lalu, bersamanya, orang-orang berseragam itu menjauh. Menghindari para pemilik warung yang sudah bersamanya bersiap menyerang mereka.
Serupa mengambil alih kekuasaan, bersama teman-teman, ia segera mengembalikan barang ke dalam warung-warung yang dinding bagian atasnya hanya dari lembar-lembar papan kayu. Kegaduhan pun terdengar. Derap langkah mereka, bunyi jatuhan dan benturan barang-barang, juga kecipak deras air kali di belakang deretan warung. Lalu, desas-desus sebagian temannya. Ia memandang tajam mereka. “Tidak beralasan kalian bahagia!” tegurnya.
“Mereka akan menghentikan penggusuran,” kata salah seorang dari mereka tanpa menoleh, lebih semangat lagi mengambil barang-barang miliknya yang tercecer di muka warung.
“Lalu, kita harus senang-senang, begitu?”
“Tidak juga, tapi, mereka sudah menjauhi kita,” jawabnya.
Tetapi, mereka tidak begitu menjauh. Hanya berkumpul di tepi jalan ujung warung. Ia masih bisa melihat salah seorang berseragam mengambil handphone dari saku celananya. Entah bicara dengan siapa. Lalu, lama kemudian menutupnya dan memasukkannya kembali. Tapi, tanpa menghiraukannya, ia melanjutkan pekerjaannya itu, mengembalikan barang-barang.
Namun, tidak lama kemudian, satu mobil keamanan datang. Ia ternganga. Napasnya bergetar. Seperti menyerah ketika dengan penjagaan keamanan mereka kembali ke warung mengeluarkan barang-barang dan mendorong satu per satu gerobak, lalu memasukkannya ke bak truk yang parkir di tepi jalan.
Namun, ia bergeming ketika teman-temannya menjauh, menghindari kemungkinan buruk yang akan menimpa. Dan, tanpa menghiraukan keamanan yang berbaris rapat di depan deretan warung mengamankan proses penggusuran setelah mengambil sepotong kayu yang tergeletak di depan, ia tegak berdiri. Menggerak-gerakkan kayu mencegah mereka melantakkan warung. Sampai-sampai, ia tidak mendengarkan teriakan teman-temannya yang memintanya agar ia menjauhi orang-orang berseragam itu.
Ingin menyelamatkannya dari amarah mereka, juga dari reruntuhan bangunan, sebagian teman-temannya kembali mendekatinya. Tapi, ia tetap menggerak-gerakkan kayu. Tidak menghiraukan mereka.
“Aku akan tetap di sini. Sampai orang-orang berseragam itu menghentikannya,”
katanya, begitu mereka memintanya meninggalkan warung.
“Hapid, mereka tidak akan memedulikan kita. Meski dengan tangis dan jeritan.”
Ia tetap tidak menghiraukan sarannya.
“Kita tinggalkan, Pid. Tak berguna lagi berlama-lama.”
“Tidak peduli.”
“Lalu, untuk apa di sini.”
“Kalian tinggalkan saja aku.”
Mereka menggeleng tak mengerti ia tidak menghiraukan saran mereka. Lalu, menoleh ke sekitar. Lalu, “Kau lihat beko itu, Pid. Lihatlah!” seru sebagian mereka, juga dengan suara berat menahan sesak.
Ia berbalik ke belakang. Lalu merasakan pisau bagai menggores tandas kulitnya begitu melihat satu per satu warung dilantakkan.
“Begitulah kekuatan mereka, Pid.”
Dan, begitu warungnya sudah merata dengan tanah, ia menyerah, lalu diikuti teman-temannya yang masih dalam kerumunan, ia meninggalkan beko yang tidak lagi bekerja, juga runtuhan warung-warung yang sudah lebih dahulu ditinggalkan orang-orang berseragam itu.
Namun, tangan dan dadanya semakin bergemetar menahan amarah. Dan, dengan kepedihan yang tak bisa lagi terbendung, ia pulang. Begitu sampai, ia langsung duduk dengan berusaha menahan goncangan pikiran yang menggumpal sejak perjalanannya dari warung.
Imah menggeser kursi. Merapatkan duduknya setelah lama Hapid tidak juga berkata. Lalu, ia mengelap keringat yang masih mengucur di wajah dan leher suaminya itu.
“Abang mendapatkan masalah dengan warung?” tanya Imah setelah menangkap dari sikapnya.
Ia bingung, meski benar-benar berat menceritakannya, sepertinya ia sudah tidak bisa lagi menyembunyikan kejadian itu. “Ini ujian, Imah,” katanya setelah sempat diam beberapa lama.
Imah ternganga, menarik lap dari wajahnya yang masih basah. “Maksud Abang?”
Lagi-lagi, ia diam.
Imah memandangi wajahnya dalam-dalam. “Apa yang terjadi, Bang?”
“Sampai kapan ujian ini kita terima, Imah.”
“Warung, Bang?” menduga-duga.
“Ya.” Suaranya rendah. Khawatir kegoncangan perasaan Imah.
“Mengapa, Bang!?”
Tidak segera menjawab. “Mobil Beko, Imah.”
“Mengapa dengan mobil beko, Bang?” cecarnya ingin jelas.
“Warung, Imah. Semua warung di bantaran kali sudah merata oleh alat berat itu. Tak ada yang tersisa. Termasuk milik kita,” katanya parau, lalu suaranya tercekat di tenggorokan. Lalu sunyi.
Tiba-tiba, keringat Imah bercucuran.
Membasahi seluruh tubuhnya mengingat dirinya dengan kemauan yang tak mudah menyerah selalu membantu suaminya mencari bermacam usaha. Tetapi, kegagalan masih juga menimpanya. Dan, meski kepedihannya meluap-luap dalam dirinya, ia masih bisa menguatkan hatinya. Sekuat keinginannya selalu membantu Hapid membangun usaha.
Tak kuat menyaksikan kepedihan yang tentu dirasakan istrinya, Hapid bangkit dari duduknya, lamban masuk ke rumah. Namun, Imah masih tetap duduk, belum terpikirkan lagi menghitung sisa pesangonnya.(*)
Sukawangi, Awal Agustus 2014
Makanudin, lahir dan menetap di Bekasi. Bekerja sebagai guru. Pernah belajar di Pesantren Al-Wardayani Warudoyong Sukabumi. Alumni Pesantren Assa’adah Cikeusal, Serang, Banten. Sarjana Bahasa Arab Universitas Islam Jakarta.
Leave a Reply