Tjak S Parlan

Riwayat Beduk

0
(0)

Cerpen Tjak S Parlan (Republika, 01 Juni 2014)

Riwayat Beduk ilustrasi Rendra Purnama

Riwayat Beduk ilustrasi Rendra Purnama

Entah sejak kapan, suara beduk tidak lagi menarik di kota itu. Dulu, ketika kota itu masih peka menangkap suara-suara, suara beduk memiliki daya pikat tersendiri bagi banyak orang. Namun sekarang, kota itu lebih mudah meredam suara-suara dari masa silam.

Matsani termenung di beranda surau. Tangannya yang kisut menopang dagunya, seolah dagu itu sarat dengan beban dari janggut putihnya yang rimbun. Matanya memandang ke depan surau, suwung. Di tempat lain, suara-suara lebih ramai: sayup-sayup televisi di rumah tetangga, deru kendaraan di jalanan.

Halaman surau itu tak seluas dulu lagi. Semakin menyempit dari waktu ke waktu oleh rumah-rumah yang berdiri di sekitarnya. Dulu, di halaman itu sekelompok anak-anak sering bermain-main sambil menghafal surah-surah pendek. Mereka akan berhenti bermain setelah maghrib tiba.

Lalu seperti biasanya, mereka akan berlomba menabuh beduk, sesaat sebelum Matsani mengumandangkan azan Maghrib. Selepas Maghrib, anak-anak itu akan mengaji. Ketika waktu shalat Isya’ tiba, sebelum azan dikumandangkan, anak-anak itu akan berebutan lagi untuk menabuh beduk.

Matsani bangkit dari duduknya. Ia melongok ke dalam. Jam dinding tua berbunyi tik-tak, menunjukkan waktu maghrib masih cukup lama. Matsani duduk kembali. Matanya beralih ke beranda sisi kiri di mana sebuah beduk telentang tenang ditopang kedua penyangganya yang berbentuk silang. Benda itu berdebu. Ia menyadari sudah begitu lama benda itu berdebu, tapi pada saat itulah ia benar-benar tergerak untuk membersihkannya. Diambilnya sapu yang teronggok begitu saja di pojok beranda. Seperti hari-hari sebelumnya, selepas shalat Ashar ia sudah menyapu lantai itu.

Tapi, selalu saja ada yang terlewat. Seingatnya, ia tak pernah menyentuh beduk itu lagi. Ia bahkan tak ingat kapan terakhir kali melihat anak-anak kecil berebutan membunyikan benda itu. Malam Lebaran tahun kemarin, ia hanya melihatnya sekilas di perempatan depan kantor walikota pada sebuah pawai takbir keliling. Itu pun beduk yang lain.

Matsani meraih beduk itu dengan sapu di tangannya. Setiap kali ia menggerakkan sapu, debu beterbangan ke wajahnya, membuatnya terbatuk-batuk. Sesekali ia menepis punggung beduk itu. Sawang-sawang yang berjuntaian di antara tiang penyangganya berjatuhan. Remah-remah kayu trembesi berguguran dari bagiannya yang keropos. Terang saja, sekoloni rayap telah bertahun-tahun menggerogotinya.

Baca juga  Peristiwa Jumat

Dulu, ketika anak-anak masih mengaji di surau itu, bibir beduk itu selalu tampak licin. Setiap waktu shalat tiba, sebelum azan berkumandang, beduk itu selalu menggemakan tanda panggilan. Ada bermacam-macam jenis ketukan yang dihafal luar kepala oleh anak-anak di tempat itu. Beberapa bunyi ketukan beduk akan berbeda di tiap-tiap waktu shalat.

Namun, yang paling diingat Matsani adalah bunyi beduk kematian. Biasanya jika ada warga yang meninggal, orang-orang akan memberitahunya dan ia akan memberikan kabar dengan menabuh beduk di surau sebanyak sembilan kali ketukan. Beduk kematian selalu menebarkan aura kesedihan yang mencekam bagi siapa pun yang mendengarnya. Pernah suatu kali, Guru Mashuri tergopoh-gopoh menemuinya mengabarkan berita duka.

“Tolong, Pak Mat,” ujar Guru Mashuri.

“Pak Alim tutup usia. Tolong kabarkan kepada warga.”

Matsani yang sedang menyapu lantai surau terperanjat dibuatnya. “Inallillahi…
kapan, Pak? Pak Alim yang … yang saudagar sapi itu? Inallilahi ….”

“Benar, Pak Mat. Memangnya Pak Alim yang mana lagi?”

Antara tidak percaya dan sedih Matsani meletakkan sapunya. Ia meraih tongkat penabuh yang tergantung di tiang penyangga beduk itu dan mulai menabuh sebanyak sembilan kali.

“Dung dung dung, dung dung dung, dung dung dung ….”

Matsani masih tak percaya, bahkan setelah gema beduk itu mengambang di udara. Pak Alim, adalah Muslim keturunan Tionghoa yang cukup dihormati warga. Sehari-harinya ia berjualan daging di pasar. Pak Alim pulalah yang menyumbangkan beduk di surau itu. Siang sebelum meninggal, Pak Alim sempat shalat Zhuhur berjamaah di surau itu bersamanya.

“Tumben, Pak. Kok, tidak ke pasar hari ini,” tegur Matsani setelah turun dari masjid siang itu.

“Iya, Pak Mat. Tidak tahu kenapa, tiba-tiba saya ingin istirahat dulu hari ini,” jawab Pak Salim. “Ngomong-ngomong, saya tadi kok tidak mendengar suara beduk, ya?”

“Ah, bapak ini ada-ada saja. Tadi saya yang menabuhnya, kok.”

Baca juga  Siri [1]

“Oh…,” ujar Pak Alim, seperti orang linglung.

Sejak itu, setiap ada warga yang meninggal, Matsani sering teringat Pak Alim. Terutama ketika ia sendiri yang harus mengabarkan berita duka itu ke warga sekitar. Namun sekarang, semuanya sudah digantikan oleh speaker tua cempreng yang termangu sepanjang waktu di puncak kubah surau itu.

Matsani masih termangu di depan beduk tua itu. Entah sejak kapan, suara beduk tidak lagi menarik perhatian di kota itu. Ia kembali teringat ketika kota itu masih peka menangkap suara-suara, suara beduk memiliki daya pikat tersendiri bagi banyak orang. Kabar gembira saat datangnya hari kemenangan, bahkan kabar duka saat datangnya kematian, selalu disuarakan lewat beduk tua di surau itu. Namun sekarang, kota tempat tinggalnya itu lebih mudah meredam suara-suara dari masa silam.

Matsani kembali melongok ke dalam. Bunyi tik tak jam dinding tua menunjukkan waktu maghrib tidak lama lagi. Itu artinya dirinya harus mulai bersiap-siap. Ia akan berwudhu, menyalakan mesin pengeras suara, dan mengumandangkan azan. Suaranya yang renta akan terdengar semakin renta melalui speaker tua cempreng yang termangu-mangu sepanjang waktu di puncak kubah surau itu.

Setelah itu sepi kembali, tak ada lagi anak-anak yang menyenandungkan puji- pujian sembari menunggu imam shalat datang. Guru Mashuri, guru mengaji yang telah lama ditinggalkan murid-muridnya, akan datang sendirian. Mungkin akan disusul satu-dua orang tua lainnya seperti biasanya.

Matsani memandang ke depan surau, suwung. Di tempat lain, suara-suara lebih ramai; sayup-sayup televisi di rumah tetangga, deru kendaraan di jalanan. Entah sejak kapan, ia sering mendengar orang-orang di sekitarnya berujar bahwa kota itu lebih maju dari waktu ke waktu.

Anak-anak kecil belajar mengaji di sekolah-sekolah pendidikan usia dini. Beberapa orang tua mereka akan membekalinya dengan buku iqra, lalu mengajarinya sendiri di rumah sekali waktu. Beberapa lagi yang lebih beruntung akan mengundang seorang guru dari jauh yang akan mengajari mereka ‘Cara Cepat Belajar Membaca Alquran’.

Jadi, tak ada lagi yang perlu menemui Guru Mashuri yang sudah rabun untuk belajar mengaji di surau itu. Anak-anak juga tak perlu lagi berebutan menabuh beduk, sesaat sebelum dirinya mengumandangkan azan seperti yang akan dilakukannya sebentar lagi.

Baca juga  Bulan Memancar

Matsani mengencangkan kain sarungnya yang longgar. Ia berjalan ke luar, memakai sandal jepit bututnya, lantas menuju ke tempat mengambil wudhu. Namun, langkahnya tertahan oleh suara seseorang.

“Pak Mat, tolong sebentar, Pak…” ujar Ramdani, anak sulung Guru Mashuri.

“Begini, Pak …. tolong kabarkan berita ini kepada warga….”

“Ada kabar apa, Dani. Pengumuman apalagi?” tanggap Matsani.

“Begini, Pak Mat. Bapak … Bapak telah tutup usia, Pak.” ujar Ramdani dengan suara gemetar.

Sontak, Matsani termangu di tempatnya berdiri. Ia mencari-cari kebenaran sekenanya di wajah Ramdani. Benarkah guru yang baik itu sudah meninggal, batinnya. “Maksudmu, Guru Mashuri. Bapakmu?” tanya Matsani kemudian.

“Benar, Pak…”

“Innallillahi…”

Matsani tahu, Guru Mashuri sudah cukup renta seperti dirinya. Matsani juga tahu, beberapa tahun lalu Guru Mashuri pernah mengalami beberapa kali serangan jantung.
Namun belakangan, kondisinya benar-benar sudah membaik. Bahkan, Guru Mashuri-lah yang mengimami shalat Zhuhur siang tadi.

Tanpa menghiraukan Ramdani yang masih di hadapannya, Matsani melangkah gontai ke beranda surau. Seperti tak sadar, ia meraih tongkat penabuh yang tergantung di tiang penyangga beduk itu dan mulai menabuh sebanyak sembilan kali.

“Dung dung dung, dung dung dung, dung dung dung …” (*)

 

 

Mataram, 11 Oktober 2013

Tjak S. Parlan lahir di Banyuwangi, 10 November 1975. Sudah belasan tahun tinggal di Mataram, NTB. Menulis puisi dan cerpen, antara lain, dimuat Republika, Jurnal Nasional, Sinar Harapan, Pikiran Rakyat, Bali Post, Sagang, Padang Ekspres, Sumut Pos, Metro Riau Pos, Lampung Post, Suara Madura, Tabloid Cempaka, Koran Merapi, Suara NTB, dan lain-lain. Juga dalam beberapa buku bunga rampai. Diundang menghadiri Temu Sastrawan Indonesia IV (Ternate, Oktober 2011) serta Jambi International Poetry Gathering (Desember 2012). Aktif di Departemen Desain dan Publikasi, Komunitas Akar pohon, Mataram, Nusa Tenggara Barat.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!