Cerpen Rian Gusman Widagdo (Republika, 23 November 2014)
“Hussy… husy… husy….”
Kudekap koper hitam di tanganku dengan dada naik turun. Suara teriakan massa di belakangku semakin mendekat. Aku pun semakin merapatkan diri di balik puing-puing bangkai kapal bekas tsunami empat tahun lalu, berharap tak satu pun dari mereka mencium jejakku.
Panas sang raja siang memanggang ubun-ubunku, tapi tak akan kuhiraukan. Takut mereka mengetahui posisiku. Pistol tergenggam erat di tangan kiriku, sama eratnya dengan genggaman koper di tangan sebelahku. Seseorang datang mendekat diikuti dengan langkah sang malaikat maut.
Bayangan pria itu datang terlebih dahulu menaungi ubun-ubunku yang mungkin sudah berubah bentuk. Keringat membanjiri sekujur tubuhku yang gemetar. Bagaimanapun, aku hanyalah seorang pedagang kaki lima yang sedang terjebak di antara roda-roda kehidupan yang bergerigi tajam.
Aku bimbang. Apakah aku harus terus bersembunyi dan menunggu peruntunganku atau kutembak saja sosok pemilik bayangan itu dengan risiko ketahuan yang mungkin akan berujung pada penembakan-penembakan berikutnya. Ah, memegang pistol saja baru hari ini, mau sok menembak.
Jadi, aku memutuskan untuk terus meringkuk dan menunggu sampai di mana Tuhan menulis di atas kertas hidupku. Ternyata, Tuhan masih menyukai tema hidupku sehingga Dia membuat bayangan itu menjauh, begitupun dengan suaranya.
Aku mengintip melalui tepian papan yang melindungi sosokku untuk memastikan keadaan. Kulihat punggung-punggung itu menjauhi pesisir pantai dengan putus asa. Aku pun segera pulang ke rumah dengan hati campur aduk. Tak lupa kutanggalkan topeng yang sudah melindungi aibku.
***
Kurengkuh tubuh mungilnya. Saat itu, dia sedang khusuk mengaji. Aku segera menciumnya dan mengabarkan berita gembira itu pada Andin, putri dan hartaku satu-satunya di dunia ini.
“Ada apa, to, Pak?” tanyanya keheranan. Aku segera mendudukannya di tepi ranjang dan kuusap pipinya yang sudah tidak setembem dulu.
“Besok kamu bisa masuk sekolah lagi, Nduk,” kataku, menimbulkan binar bahagia di kedua matanya.
“Benarkah, Pak?” serunya kegirangan sembari meraup leherku dengan lengan-lengan mungilnya. Aku membalasnya dengan kebahagiaan yang meluap-luap. Akhirnya, kudapatkan rona yang hilang itu lagi.
Akan kulakukan apa saja untuk kebahagiaanmu, Nduk, batinku setengah perih.
Tiba-tiba, Andin melepaskan pelukannya dan menatapku nanar. Kemudian, dari bibir mungilnya meluncur sebuah pertanyaan. “Bapak sudah punya uang?” Kuperhatikan setiap guratan pada gadis 10 tahunku. Mukenanya yang lusuh sedikit miring ke kanan, mengimbangi hidungnya yang tidak begitu simetris.
Segera kutunjukkan koper yang baru saja aku dapatkan dengan susah payah dari seorang nasabah Bank ABC. Padahal, dia masih berada di lingkungan bank. Menggelikan memang, mengingat di sana ada dua orang satpam yang menjaga dengan lena.
Sebenarnya, berat bagiku menyentuh gemerlap kertas merah jambu ini. Namun, tak dapat kumungkiri bahwa gelegak kebahagiaanku terus meluap saat melihat putri semata wayangku itu ternganga senang setengah tidak percaya.
“Pak,” katanya, “sebenarnya Andin sudah boleh masuk ke sekolah. Begitupun dengan teman-teman Andin yang tidak mampu. Tadi, Nisa ke sini dan mengabarkan bahwa Andin dan beberapa teman Andin yang tidak mampu mendapat beasiswa dari Bank ABC.
Tapi, beasiswanya dibatalkan. Ibu guru yang baru mengambil uang tersebut dari bank dirampok,” cerita bidadari mungilku. Ini yang aku tidak suka. Melihat guratan-guratan merana yang sempat tergantikan dengan rona bahagia itu muncul lagi.
Sebutir peluru menusuk jantungku, menembus setiap sel sarafku, mengoyak dan melumpuhkannya. Aku tidak sanggup berkata-kata lagi. Sepertinya, aku tahu siapa yang sedang dibicarakan Andin anakku.
“Jahat sekali, ya, Pak, perampok itu. Padahal, dari uang itulah masa depan Andin dan teman-teman Andin ditentukan. Mengapa ya, Pak, ada orang sejahat itu?”
Aku tak mampu menjawab pertanyaan malaikat kecilku. Bahkan, menatapnya pun aku tak sanggup. Tiba-tiba, terselip lagi butiran-butiran bimbang di hatiku.
“Sudahlah,” kataku sambil mengusap pipinya lagi.
“Toh, sekarang Andin sudah bisa membayar sekolah lagi, kan? Sekarang ayo makan. Bapak bawakan makanan lezat buat Andin.”
“Iya, sih, Pak. Tapi bagaimana dengan teman-teman Andin?”
Astaga. Anak sekecil ini saja tidak berpikiran egois. Andinku memang berbeda. Tapi, bagaimana dengan bapaknya ini?
Aku mengelus kepalanya tanpa bisa berkata-kata lagi, kemudian meletakkan koper penuh uang itu di atas lemari pakaian dan menggendong putri kecilku itu ke meja makan dengan pikiran masih penuh.
Semoga makanan lezat ini dapat menghapusnya.
***
Aku tidak bisa memejamkan mataku. Gelisah memenuhi benakku. Kutatap langit-langit dan kuadukan semua masalahku kepada-Nya. Ombak berdebur di sela-sela rintik hujan yang menghiasi November. Sekali lagi, kutatap putriku yang meringkuk nyenyak di sebelahku dan kembali sesuatu menusuk setiap neuron di kepalaku.
Ada berapa anak, ya, yang seperti Andin di luar sana?
Aku bangkit, duduk, dan menatap ke luar berharap ada jawaban di sana. Lalu, kejadian tadi siang pun kembali melesat di kepalaku. Wajah guru itu. Teriakan minta tolongnya. Dan, semua derap langkah kematian itu.
Kugenggam kepalaku erat-erat. Apa yang harus aku lakukan? Saat ini, pasti ada banyak orang tua sepertiku yang sedang jungkir balik memikirkan pendidikan putra-putrinya. Padahal, mereka sebenarnya tidak perlu secemas itu kalau… ah, sudahlah. Nasi sudah menjadi bubur.
Kucoba memaksakan diri untuk tidur, tapi gagal. Di luar, petir masih mengamuk. Kembali kutatap koper hitam di atas lemari dengan sejuta pertanyaan. Di sana, terkunci masa depan teman-teman putriku. Dan, di sana pula terdapat pintu nerakaku.
Jantungku mulai berdegup tak beraturan. Dengung melodinya semakin membebani punggungku menusuk-nusuk nuraniku.
Kalau aku kembalikan koper ini, apa mungkin Andin masih bisa mendapatkan beasiswa? Dapat pun pasti cuma sampai lulus SD. Padahal, di dalam koper itu pendidikan Andin bisa lebih terjamin, setidaknya sampai jenjang menengah pertama. Tapi, jika tidak kukembalikan, bagaimana dengan nasib teman-teman Andin? Dan, bagaimana perasaan Andin sendiri kalau bapaknya yang sudah tua inilah yang telah merenggut masa depan teman-temannya.
Kepalaku berdenyar dan hujan di luar semakin lebat.
Kembalikan….
Tidak….
Kembalikan….
Tidak….
***
Mataku perih tertimpa air hujan. Malam sudah sangat larut dan tak ada satu pun orang yang mau keluar dari selimutnya, apalagi berlari di sepanjang pesisir pantai kecuali orang bodoh. Dan, akulah orang bodoh itu.
Kudekap koper hitam itu sambil terus berlari menyibak hujan. Hati nuraniku tidak rela kalau putriku harus makan dan mendapat ilmu dari uang yang tidak sehat. Kalaupun nanti tidak ada rezeki bagiku untuk menyekolahkannya tinggi-tinggi aku berniat untuk mengajarinya sebuah keterampilan. Berdagang, misalnya. Daripada menjadi seorang doktor dari uang yang tidak halal. Bisa-bisa, nanti dia malah melakukan kejahatan dengan ilmunya itu.
Ah, mikir apa aku ini….
Setibanya di bank, aku menengok ke kanan dan ke kiri, memastikan bahwa pengamanan di sini benar-benar longgar. Aku segera memanjat gerbang dan tak satupun tampak penjaga. Pengamanan di bank ini benar-benar sangat longgar.
Kuletakkan koper hitam itu di depan pintu kacanya, agak tersembunyi di balik pot. Tak lupa, kutempel sebuah kertas berisi pesan di atasnya, sebelum berjalan pulang dengan langkah yang jauh lebih ringan.
Yth. Pemilik koper
Maafkan saya karena sudah mengambil koper ini tanpa izin.
Saya sudah terlanjur mengambil beberapa lembar di dalamnya. Saya akan menggantinya dengan mendidik putri saya menjadi orang yang jujur.
Kertas itu segera basah dan luntur. Ah, tidak luntur pun mungkin tidak akan ada yang bisa membaca tulisan dari seorang mantan mahasiswa kedokteran yang dikeluarkan karena tidak bisa bayar kuliah ini. (*)
Sewon, 28 November 2009
Pegiat sastra tinggal di Bantul, Yogyakarta.
somuch
hahaha,realita hidup yg trjdi di ngri trcinta…
kren cerpenya…
Kryya
Cerpeny baguss,,,
I like it