Cerpen Clara Ng (Koran Tempo, 23 November 2014)
RATUSAN tahun lalu di daratan Cina, anak babi kecil yang masih menyusu kepada ibunya dianggap sebagai lambang kesucian. Lambang kesucian bagi seorang pengantin perempuan yang belum pernah bersentuhan dengan lelaki mana pun. Pada malam pernikahan, ia, yang masih polos dan murni, akan menjadi milik sang suami.
Ting An tahu kisah ini dari kakak Papa nomor satu yang selalu bercerita tanpa diminta di setiap pesta pernikahan keluarga.
Sebenarnya, yang dimaksud dengan anak babi kecil yang masih menyusu kepada ibunya adalah daging anak babi muda yang sudah melewati proses pemanggangan dan menjadi makanan pembukaan semua perayaan, khususnya perkawinan. Daging lembut beserta kulitnya yang renyah membuat semua orang akan memandangnya dengan penuh nafsu.
“A Ting, keponakan kesayanganku,” kata kakak Papa nomor pertama. “Kamu bisa memanggangnya dengan suhu tinggi atau rendah, di tingkat atas oven atau di bawah, bertahap atau langsung. Semua teknik bisa menghasilkan anak babi panggang garing yang mencucurkan lemak manis. Lihat, hasilnya. Suwee.”
Kakak Papa nomor pertama membawa anak babi yang masih menyusu kepada ibunya tanpa dipotong-potong. Mengambil daging ini selalu lebih enak jika menggunakan jari-jari. Sensasi meremas anak babi yang gajihnya meleleh di kulit adalah sebuah upacara kenikmatan yang luar biasa. Ting dan adik-adiknya langsung berdiri dari kursi, sedikit membungkuk untuk mencabik-cabik daging dan kulit.
“Daging anak babi adalah daging terlezat sejagat alam semesta raya.”
Itu kata adik Ting nomor dua. Jari-jarinya basah oleh lemak.
PULUHAN tahun lalu, Mama minggat, meninggalkan Ting yang masih berumur dua bulan. Tidak lama kemudian, kakak Papa nomor pertama menyusui Ting seperti ia menyusui bayi perempuannya yang baru saja meninggal. Kesukaan Ting mengisap susu menjadi kisah yang sering diulang-ulang oleh kakak Papa nomor pertama kepada seluruh keluarga besar.
Ketika masuk sekolah, Ting tidak mau berbagi susu dengan siapa pun. Susu jugalah yang mempertemukan Ting dengan Fai Fai. Ia baru selesai bermain basket di lapangan sekolah. Berkeringat dan haus, Ting pergi ke toko kelontong di seberang jalan. Tampak seorang perempuan mungil yang mengenakan celana jins selutut. Dompet tertinggal dan ia kesulitan membayar belanjaannya. Ting mengeluarkan uang untuk dua kotak susu yang dibelinya. Fai Fai berterima kasih lalu membonceng Ting pulang ke rumah.
Esoknya, ia menunggu Ting di depan gerbang sekolah. Celana jinsnya masih selutut dan motornya bersandar di sebelahnya. Fai Fai mengajak Ting mencari nasi ayam yang rasanya paling gurih dan minyaknya paling tebal. Ting tidak tahu di mana letak warung yang menjual nasi ayam yang disebut Fai Fai. Ia membawa Ting ke sebuah gang di mana semua orang-orang berbicara dalam bahasa Indonesia dan dialek Hokkie yang berselang-seling seperti saling berteriak satu sama lain. Nasi ayam yang dipesan berwarna kuning pucat. Lemaknya sedap seperti susu Fai Fai yang lumer di bibir Ting.
Setiap siang setelah siang itu, Fai Fai menjemput Ting dan mereka mengabiskan sore di kamar kosnya yang sempit dan panas. Ting di atas tubuh Fai Fai, atau Fai Fai di atas tubuh Ting. Setelah sebulan rajin mencaploki susu, Ting baru tahu Fai Fai berusia lima tahun lebih tua darinya, putus-sambung kuliah jurusan ekonomi, dan tinggal sendirian di kota ini. Bagi Ting, semuanya tidak penting. Yang paling penting, Fai Fai memiliki tubuh yang membuat Ting mengeras jika melihat gadis itu bergerak sedikit saja.
Hubungan Ting diketahui ayah Fai Fai setelah setengah tahun mereka bersabung dengan penuh berahi. Ia datang menemui Ting dan menempelengnya keras-keras di halaman sekolah. “Lân-chiáu! Bocah sialan!” katanya penuh emosi sambil menunjuk-nunjuk hidung Ting. Untung ia tidak melapor ke wali kelas sehingga kemaluan Ting terselamatkan. Setelah peristiwa itu, mereka tetap berhubungan di tempat-tempat rahasia yang tak diketahui siapa-siapa. Ting masih menyusu kepada Fai Fai sampai ia lulus SMA.
“Aku harus pulang. Ada seorang lelaki yang meminangku di kota kelahiran,” begitu kata Fai Fai suatu hari. “Jangan menguntitku. Mereka tak akan suka.”
Mereka berpisah tanpa diiringi air mata dan kesenduan. Di malam-malam sepi, Ting merindukan susu Fai Fai.
BELASAN tahun lalu. Ting bolak-balik berkenalan dengan perempuan-perempuan yang salah tapi juga benar. Salah satu perempuan itu bernama Yue. Mereka berkenalan di sebuah acara perayaan grup korporasi, tempat Ting mengabdikan diri di salah satu anak perusahaan. Ting baru tahu bahwa Yue adalah manajer Humas yang malam itu bersikap sangat ramah kepadanya. Seperti disambar kilat, Ting langsung menyukai Yue. Matanya pipih seperti kacang almon. Ketika melirik, Yue membuat Ting panas dingin.
Tidak ada yang bisa mengalahkan susu Yue. Susunya kualitas nomor satu; manis dan kental di lidah. Ting mabuk tak alang kepalang. Semakin lama ia menikmati susu Yue, semakin banyak kuantitas yang dikucurkan. Yue mengabarkan ia sedang hamil tiga bulan ketika mereka saling menerkam pertama kali.
Suami Yue bekerja di perusahaan kelapa sawit di Penang yang lebih sering berada di tengah-tengah perkebunan daripada di sampingnya. Pernikahan mereka sudah mencapai titik jenuh setelah lima tahun berjalan tanpa kehadiran seorang anak. Tahu-tahu Yue hamil setelah mereka nyaris menyerah dan kemudian Ting dan Yue bertemu.
Belum pernah Ting mendapatkan sumber kalori seistimewa susu Yue. Ia menjadi lebih fokus dengan pekerjaannya, lebih kuat bekerja sampai larut malam, lebih sehat, lebih gagah, lebih kekar, dan lebih bertenaga. Karena susu Yue, semakin banyak perempuan yang melirik dan menggoda Ting, tapi ia tak berminat pada mereka. Sebab tidak ada yang sesempurna Yue. Perutnya yang membesar setiap bulan memberikan satu sensasi ajaib. Ting menjadi pecandu yang tidak terselamatkan. Bagai mukjizat, tubuh Yue menumpahkan lemak, keringat, dan susu tiada habis. Nafsu Ting langsung terbakar mirip matahari jam dua belas siang.
Setelah melahirkan bayinya, suami Yue pindah pekerjaan, kembali ke Indonesia. Kehadiran suami dan seorang bayi menuntut perhatiannya, membuat Yue kurang leluasa mencuri waktu bergelut dengan Ting. Setelah tiga kali nyaris terpergok sedang membobol sumur susu dan kemudian dikejar-kejar tukang pukul suaminya, Ting kapok.
Kehadiran Yue pelan-pelan tergantikan dengan perempuan-perempuan lain. Namun, setiap Ting memeluk satu dari perempuan-perempuan itu, Ting selalu memikirkan Yue. Memikirkan hujan susunya yang legit.
BEBERAPA tahun lalu, seorang perempuan parobaya di acara reuni keluarga datang dengan putri bungsunya yang berusia lima belas. Ternyata ia adalah istri dari saudara sepupu Ting yang tinggal di Medan. Mereka bedua memiliki wajah yang mirip. Si ibu bernama Lan Fen, dan si anak bernama Mei Fen.
Mei Fen dititipkan di rumah Ting karena ia bersekolah di SMA yang murid-muridnya bermata sipit semua, sementara ibunya kembali ke Medan. Tidak ada apa-apa di antara Mei Fen dan Ting, kecuali satu kecelakaan kecil yang mengakibatkan perubahan yang sangat drastis. Ting memergoki Mei Fen sedang menonton film porno di internet. Ketika ditegur, tatapan matanya yang malu-malu membakar Ting.
Dari kejadian itu, Ting menjadi dekat dengan Mei Fen. Sangat dekat, sampai suatu hari Ting mengajaknya menonton bioskop. Dalam kegelapan, Ting mengendus sumber susu terbaru; susu yang masih sedikit mentah dan mengkal, tapi rasanya distingtif luar biasa. Ting seketika belingsatan dengan aroma dan teksturnya.
Hubungan mereka berjalan aman dan tertutup dari sepengetahuan siapa pun sampai suatu hari ayah Mei Fan meninggal dan ibunya memutuskan pindah ke Jakarta untuk tinggal sementara di rumah Ting. Walaupun usia Lan Fen sudah parobaya, demi Tuhan, Ting bersumpah bahwa tubuhnya masih liat seperti gadis-gadis muda. Bagaimana Ting mengetahuinya? Sebab ia pernah menguras isinya.
Seperti tanah yang kebanjiran air hujan di musim semi, begitulah Ting tergenang susu. Sepuluh bulan yang penuh gandrung, akhirnya Ting berhadapan dengan kejadian terpelik dalam sejarah hidupnya. Seharusnya Ting bisa menjadi lelaki yang paling bahagia dari semua kumpulan bajingan di kota setan ini, tapi nyatanya ia berakhir menjadi sebuah kutukan.
Yang hamil pertama kali adalah Mei Fen. Ia berusaha menggugurkannya dengan segala cara. Kehamilanna hanya berbeda sebulan dengan ibunya. Seperti kecurigaan Ting dari awal, Lan Fen belum mengalami menopause. Ia masih subur, kebablasan hamil, dan berusaha menggugurkannya. Mereka berdua tidak pernah berhasil. Para jabang bayi keras kepala seperti ayahnya. Ting kabur dari keluarga ketika mereka mendesak dan mengancam Ting setiap hari agar mengawini Mei Fen.
HARI ini, Ting mendapat telepon dari kakak Papa nomor terakhir. Ia mengabari kakak Papa nomor pertama yang pandai memanggang daging anak babi meninggal. Ia meminta Ting pulang dan menghadiri upacara kremasi. Di hari-hari terakhirnya almarhum hanya menyebut-nyebut nama Ting saja.
Ting mematikan telepon dengan perasaan datar. Ini usaha terbaik adik Papa nomor terakhir memaksa Ting agar pulang. Sebelumnya Ting sudah berkali-kali ditelepon dan ia selalu menolak dengan dingin. Demi mengingat apa yang sudah terjadi, siapa yang mau berhadapan dengan keluarga sendiri untuk dikeroyok dan dipanggang hidup-hidup?
“Ada apa?” Pacar Ting memandangnya lekat setelah Ting meletakkan telepon di meja. Ia berhenti membuka bungkusan makanan.
“Boh tai ji,” kata Ting pendek.
Pacar Ting meraup beberapa potong daging anak babi dari bungkusannya ke piring. Ia sebenarnya tidak pandai memasak. Dua hari lalu, Ting memesan makanan dari tetangga yang menjual nasi campur dan aneka daging panggang.
Ting melempar pandang ke arah pacarnya yang sedang mengenakan daster longgar. Sela-sela kukunya basah dan lengket dipenuhi minyak. Ia menarik kursi, menimbulkan suara derit pelan. Pahanya tersingkap tanpa sengaja. Ting melihatnya dan terpaku, bermenit-menit. Gema suara adik Papa nomor terakhir menggertak di kepala, “Kàn ni na-bu! Dasar babi! Anak tidak tahu diuntung! Nggak punya titit!” Perlahan, ada yang terbangun di balik celana Ting. (*)
2014
Catatan:
Anak babi yang masih menyusu kepada ibunya: bayi babi yang berusia maksimal 6 minggu, masih menyusui. Ia dipisahkan dari induknya untuk dikuliti dan dipanggang sampai kering garing. Disebut dengan rŭ zhű pîn pán (Mandarin) atau sederhananya, anak babi panggang.
Dalam dialek Hokkien: Suwee, cantik. Lân-chiáu, brengsek. Boh tai ji, tidak ada apa-apa. Kàn ni na-bu, bangsat keparat sundal.
Clara Ng tinggal di Jakarta. Buku-bukunya antara lain Blackjack (novel, 2013), Princess, Bajak Laut, dan Alien (novel anak-anak, 2013), dan Malaikat Jatuh dan Cerita-cerita Lainnya (2008).
Woshi
Suka sekaliii…
Paham benar bahasa Mandarin & Hokkien <3
rizzaumami
Bahasa metafora untuk mengaburkan yang mesum. 🙂
Syaiful
Mbak Clara Ng akan jadi pembicara tlkshow loh….
Ini infonya:
Perlu cara dan ranah tertentu untuk membicarakan seksualitas yang berkualitas. Tidak perlu ragu untuk ikut serta ke dalam bingkai persoalan seks.
[PSIKOMEDIA PROUDLY PRESENT
SIKOLASTIK 2015]
Talkshow bareng Clara Ng (penulis serial novel Indiana Chronicle, The (Un)reality Show, dan Utukki: Sayap Para Dewa)”
· Minggu,15 NOVEMBER 2015
· 07.00 – selesai
· Ruang G100 Fakultas Psikologi UGM
~ 50k (talkshow + booksigning)
~ 35k (talkshow)
Reservasi tiket:
(Nama_instansi_jumlah tiket _50/35)
Kirim ke CP️088215398854 (Dita)
mei
pen ku jutak pala si a ting ke jamban..