Cerpen Chavchay Syaifullah (Media Indonesia, 30 November 2014)
MULANYA Nilanang hanya belajar merenda mukena untuk dijual di kota Payakumbuh atau sebagian akan dikirim oleh majikannya ke kota Padang, namun sepertinya ia harus meninggalkan pekerjaan barunya di kota Bukittinggi ini. Ia merasa tidak bisa lagi memenuhi kebutuhan hidupnya di kota yang sejak tahun 2000-an terasa sesak oleh meningkatnya jumlah manusia dan biaya hidup sehari-hari. Pertumbuhan kota yang seiring dengan mahalnya harga tanah, membuat Nilanang harus menyingkir dari kota dingin yang hampir dua puluh lima tahun menjadi ladang tempat ia mengais rezeki.
Meski Nilanang atau biasa disapa Nila, berasal dari Padang Pariaman, ia memilih hijrah ke Palupuh dengan sedikit modal untuk membuka warung nasi. Namun, karena di Palupuh listrik nyaris mati setiap malam hari, usaha warung nasi itu hanya bisa ia jalankan dari pagi hingga sore. Palupuh yang hanya sekadar daerah lintasan Padang-Pasaman-Medan, ditambah hanya bisa berdagang hingga sore hari membuat penghasilan Nila pas-pasan belaka.Sementara perutnya yang terus membesar sebentar lagi membutuhkan biaya lebih banyak. Ia sudah mencoba aborsi berkali-kali, tapi jabang bayi itu tetap bertahan di rahimnya.
“Kenapa aku harus hamil ketika usaha laknat itu berakhir?” umpat Nila tak habis-habisnya.
Usaha laknat yang dimaksud Nila tidak lain adalah profesinya sebagai mucikari atau akrabnya disebut Tante Bukit. Dia lah yang mengatur lalu lintas pelacuran di kota Bukittinggi. Di bawah pengawalan sejumlah oknum tentara, ia bebas menggerakkan bisnis laknat ini hingga bertahun-tahun.
Lantaran perlawanan ninik-mamak, alim-ulama, dan kaum cerdik pandai terhadap tempat-tempat pelacuran, dan pada saat yang sama terjadi pula pergantian Komandan Kodim, akhirnya ditutuplah seluruh tempat prostitusi di kota Bukittinggi. Masyarakat dan komandan kodim yang baru bergerak menertibkan tempat-tempat prostitusi. Ladang rezeki Nila berantakan. Harta yang ia kumpulkan selama bertahun-tahun seolah raib ditelan angin. Mulai dari ia harus menutupi kehidupan anak-anak semangnya semasa penutupan, hingga para oknum tentara yang tetap minta jatah preman meski sudah tahu usahanya akan segera gulung tikar. Nila seperti ke atas tak berpucuk, ke bawah tak berakar, di tengah digirik kumbang.
Namun, pada malam terakhir sesuai tenggat yang diberikan Komandan Kodim, Nila tak kuasa menerima permintaan seorang anak muda dari Bandung yang ingin sekali menggunakan jasanya. Anak muda itu bersikukuh menolak tawaran Nila agar ia berkencan dengan anak-anak asuhnya saja.
“Saya mau sama tante saja. Titik! Apalagi malam ini adalah malam terakhir tempat ini dibuka,” ujar anak muda itu dengan mantap.
Maka di malam terakhir itu, bibit kehidupan jabang bayi pun tumbuh. Spiral yang ia tanam di dalam rahim, tak lagi mampu membendung kehadiran jabang bayi.
Ia mengira penutupan tempat-tempat pelacuran itu seperti biasa hanya berlangsung satu atau dua hari saja, paling lama satu minggu. Namun, sudah tiga bulan tidak juga muncul tanda-tanda bisnis laknatnya beroperasi kembali. Ini benar-benar tidak biasa. Akhirnya ia iseng mengikuti temannya untuk merenda mukena. Keisengan itu lalu membuahkan keinginannya untuk bertaubat pada Tuhan dan meninggalkan bisnis lamanya. Ia mulai sadar bisikan orang bahwa uang setan akan habis dimakan jin.
Di malam yang gelap tanpa listrik, di Palupuh yang tanpa saudara, Nila melahirkan anaknya seorang diri. Barulah esok paginya tukang kerupuk yang bermaksud mengantar kiriman kerupuk ke warung nasi menemukan Nila terkapar di pelanta depan warung dalam kondisi yang lemah dengan bayi dalam pelukannya.
Tukang kerupuk lalu memanggil orang-orang dan memanggil bidan.Warga yang sejak semula menduga Nila tak bersuami, menjadi yakin bila Nila memang tidak bersuami. Nila menjadi bahan gunjingan warga sekitar. Warungnya pun semakin sepi. Laknat seperti sudah mendarat sempurna di warung nasi itu. Namun, Nila tetap menyembunyikan masa lalunya di hadapan warga, sampai akhirnya tukang kerupuk asal Jawa Tengah bernama Suryanto itu melamarnya untuk dijadikan istri keduanya. Atas kepedulian Suryanto selama ini, Nila menerima lamarannya. Mereka sepakat pergi dari Palupuh ke Ujung Gading. Suryanto beralasan bahwa di Ujung Gading lebih ramai. Nila bisa membuka warung nasi lagi dengan lebih maju.
Mereka pun hijrah ke Ujung Gading dan membuka warung nasi di sana. Namun, Suryanto ternyata tidak mampu membagi waktu antara istri pertama dan istri keduanya. Setelah sebulan tinggal bersama mengontrak gubuk di Ujung Gading yang ia jadikan sebagai tempat tinggal dan tempat usaha, Suryanto pamit pulang menemui istri pertamanya di Palupuh. Sejak itulah Suryanto tidak kembali lagi ke Ujung Gading. Nila semakin mirip pepatah, berinduk pada gajah, berkambing pada kijang, berayam pada kuawo. Ia terlempar ke jurang yang curam dan gelap.
Modal usaha membuka warung nasi tidak lagi mencukupi, kecuali hanya menyediakan minuman hangat seperti kopi dan teh, juga gorengan. Namun, itu pun tidak menunjukkan pertanda baik. Nila baru sadar bila tidak setiap orang berani minum kopi sembarangan di Ujung Gading, sebagai akibat dulu pernah ada masa saat aksi mencampurkan kopi dengan racun marak terjadi. Status warung kopi masih dianggap rawan racun oleh warga di sana.
Nila memutuskan hijrah lagi ke daerah Talu. Di sana, ia bekerja sebagai tukang masak di restoran khas Mandailing. Beberapa waktu ia harus belajar membedakan racikan bumbu masakan Mandailing dan Minang sebagaimana diminta oleh pemilik restoran. Nila bisa mempelajarinya dengan cepat. Pemilik restoran yang berstatus duda menaruh simpati kepada Nila, dan kemudian tumbuh berganti menjadi rasa cinta.
Nila mengetahui kalau majikannya jatuh hati padanya. Untuk urusan ini, Nila sudah hafal benar, bagaimana cara lelaki melancarkan strategi-strategi cintanya. Hanya alangkah disayangkan, cinta sang majikan datang di saat Nila sudah mulai fokus mengurusi sang buah hati dan ia masih kesal ditinggal Suryanto. Apalagi umur sang majikan sama dengan Suryanto, selisih sepuluh tahun di atas Nila.
Pada wajah Nila yang sudah mencapai usia 46 tahun, siapa pun mengerti bahwa Nila tetap masih menyimpan daya tarik yang luar biasa. Lelaki yang sudah jatuh hati padanya, bisa seperti kerasukan setan. “Pak Haji, mohon maaf, saya belum siap menikah lagi. Saya merasa sudah tua dan saya masih trauma dengan pernikahan. Lagi pula sekarang saya ingin fokus mengurus anak,” tolak Nila dengan segenap sopan santun.
“Jangan panggil saya Pak Haji lagi. Kamu bisa panggil nama saya saja,” tegas Haji Misbah merendah penuh rayuan. Nila termenung.
Sejak pernyataan perasaan dan permintaan Haji Misbah itu, Nila memutuskan berhenti kerja di restoran. Meskipun saat itu belum terpikir olehnya pekerjaan apa lagi yang harus ia lakoni. Ia merasa banyak jarum menancap di kepalanya. Ia seperti tak kuasa memutuskan pilihan hidupnya. Hanya salat taubat dan berzikir yang bisa ia lakukan, sambil mengurus anaknya yang sudah berumur satu tahun.
Di hari ketiga berhenti kerja, Haji Misbah bertandang ke rumah kontrakan Nila. Ia menyatakan dirinya bersalah telah menaruh rasa cinta kepada Nila dan berharap Nila mau bekerja kembali di restorannya. Nila tak berkata apa-apa sampai Haji Misbah pulang.Ia hanya meneteskan air mata di depan Haji Misbah.
Keesokan harinya Haji Misbah datang kembali dengan membawa uang gaji dan uang pesangon Nila. Pada kesempatan itulah Haji Misbah menjadi tahu bahwa perempuan yang dihadapinya ialah mantan pelacur dan mucikari. Bayi satu tahun di hadapannya itu adalah hasil dari hubungan liar dengan seorang tamu, anak muda dari Bandung. Nila juga mengakui bahwa dirinya sudah berkali-kali menikah, sampai terakhir menikah dengan tukang kerupuk asal Palupuh.
“Begitulah hidup saya Pak Haji. Jadi, tolong jauhi saya!” pinta Nila.
Haji Misbah tak kuasa menahan tangis. Ia tak banyak cakap kecuali ia nyatakan perlahan bahwa ia siap menerima masa lalu Nila. Tetap bersedia menjadi suaminya dan bapak bagi anaknya. Nila hanya menjawab bahwa ia cuma punya anak satu-satunya dan ia minta Haji Misbah bisa turut menjaga anaknya bila di kemudian hari ia menjadi istrinya. Haji Misbah mengangguk cepat dan perlahan menggenggam tangan Nila.
“Hari sudah malam. Sebaiknya Pak Haji pulanglah. Tak baik dilihat tetangga,” harap Nila.
Belum tiga jam Haji Misbah tiba di rumahnya, ia mendapat kabar dari warga kalau Tante Nila meninggal dunia. Jantung Haji Misbah berdetak bagai derap lari kuda. Ia pun berlari secepat kilat ke rumah Nila. Ia dapati Nila sudah terbujur kaku di atas sajadah, masih mengenakan mukena. Ketika mata Haji Misbah yang berlumur air mata menatap anak Nila, bayi satu tahun itu pun tersenyum manis. Haji Misbah menggendong bayi itu dengan hati yang benar-benar longsor. Di hadapan warga, ia bersumpah akan menjadi bapak angkat bagi bayi di pelukannya.
Dua tahun kemudian, sebuah bus wisata mampir di restoran Haji Misbah. Salah seorang rombongan bertanya kepada Haji Misbah tentang foto yang dipajang di restorannya.
“Maaf, Pak Haji, foto yang dipajang di tembok itu apakah foto Tante Nila?” tanya seorang anak muda.
“Ya. Benar. Kenapa? Apa kamu kenal?” tanya Haji Misbah.
“Oh enggak. Cuma kenal sekilas saja,” kata anak muda itu.
“Kalian rombongan dari mana?” tanya Haji Misbah.
“Dari Bandung, Pak Haji,” jawab anak muda itu.
Mendengar jawaban anak muda di hadapannya, Haji Misbah langsung berdiri kaku. Bahkan, ketika seluruh rombongan dari Bandung itu sudah pergi meninggalkan Talu. (*)
Chavchay Syaifullah, menulis prosa dan puisi. Salah satu novelnya yang sudah terbit, Sendalu (2006). Selain menulis, ia juga bermain musik di band Rempah.
wawan
mantap…..