Cerpen FX Rudy Gunawan (Media Indonesia, 14 Desember 2014)
BANDARA dipenuhi oleh ratusan penumpang. Penerbangan mereka tertahan karena asap tebal dari hutan-hutan bakau yang dibakar, hingga memperpendek jarak pandang menjadi sekitar 4-5 meter. Hanya pilot teler yang berani lepas landas di tengah kabut asap seperti itu. Dalam campur aduk kekesalan, kegelisahan, dan kekecewaan ratusan penumpang itu, Husni justru teringat sebuah siang di Ternate. Ia sudah terlalu sering mengalami suasana seperti itu. Pekerjaan sebagai konsultan penanganan limbah industri membuat Husni harus terbang setidaknya seminggu sekali ke berbagai wilayah.
Langit Ternate pada siang itu tak pernah bisa dilupakan Husni. Langit paling aneh yang pernah dilihatnya. Langit yang seperti batu Kalimaya itu menyimpan warna kuning, hijau, dan merah dalam nuansa biru yang membalut semua warna menjadi satu ikatan. Jalin-menjalin sebagai unsur-unsur bebas tapi sekaligus menjadi komposisi yang utuh. Seperti ikatan berbagai unsur kimia yang membentuk senyawa-senyawa dengan berbagai partikel. Husni tak pernah melihat langit seperti itu sebelumnya, meski ia telah menjelajah ke hampir semua pelosok Nusantara. Ia kerap terpesona oleh langit di berbagai daerah yang memiliki keunikan berbeda-beda, semacam karakter masing-masing yang mungkin dibentuk oleh mineral, kekayaan tambang, dan hutan-hutan.
Semua corak langit memang membuat Husni terpesona, namun tetap saja pesona yang paling menyihirnya adalah langit Ternate. Ini sangat subyektif. Orang lain bisa saja sama sekali tidak terpesona oleh langit Ternate, apalagi sampai tersihir. Orang lain mungkin lebih tersihir oleh langit pantai Kuta atau langit di atas laut Manado. Atau langit di bumi Bukittinggi. Semua punya daya sihir masing-masing, yang bekerja secara khusus atau acak, untuk menyihir orang tertentu. Bahkan mungkin hanya menyihir pada hari tertentu dengan suasana hati tertentu, horoskop tertentu, atau malah weton dan shio tertentu.
Bagi Husni, itu semua sangat logis. Weton adalah sebuah sistem perhitungan dalam penanggalan atau kalender Jawa kuno, demikian pula shio dalam sistem kalender Cina. Seperti sistem penghitungan apa saja, semua pasti memiliki dasar matematika dan karenanya Husni tidak pernah mengabaikan bahwa ia lahir pada Selasa Kliwon, dengan shio ular dan zodiak taurus. Mungkin karena komposisi itulah ia tersihir oleh langit Ternate di siang itu atau mungkin karena suasana hatinya saat itu tengah diliputi kehampaan. Atau mungkin karena gabungan komposisi itu dan suasana hatinya. Artinya, orang lain dengan weton atau shio yang sama dengan dirinya tapi tidak dalam suasana hati hampa pada siang itu, bisa saja tidak tersihir.
Siang itu, Husni kehilangan sahabatnya, Munandar, seorang aktivis lingkungan di Kalimantan. Munandar meninggal akibat sebuah kecelakaan di jalan raya antara Sungai Danau dan Batu Licin, Kalimantan Selatan. Berita itu mengejutkan dan seketika menimbulkan kehampaan di hati Husni. Ia langsung menengadah dan menatap langit Ternate. Seketika ia tersihir melihat langit yang seperti batu Kalimaya itu. Ia merasa terhisap dan menjadi sebutir debu yang tak berarti dalam hempasan angin yang berkesiur di bawah langit.
Mungkin sekitar 3 tahun, Husni berbagi kamar dengan Munandar sebagai sesama mahasiswa perantau di Yogyakarta. Mereka sama-sama mengandalkan beasiswa yang sangat kecil untuk menopang hidup. Sama-sama punya mimpi besar untuk mengubah dunia, menjadikan dunia sebagai tempat yang lebih baik bagi semua manusia. Husni belajar di Fakultas Teknologi Pertanian dan Munandar belajar di Fakultas Kehutanan. Mereka dipertemukan ketika sama-sama mengantre di loket kantor pos untuk mengambil uang beasiswa mereka.
Kenangan itu terlukis begitu nyata di langit Kalimaya kota Ternate siang itu. Husni merasakan kehampaan di rongga dadanya. Ia merasa sesak oleh kehampaan itu. Ketika pikirannya bergolak liar dan berujung pada kemungkinan kecelakaan yang merenggut nyawa Munandar itu bisa saja sebuah kecelakaan yang disengaja, kehampaan menenggelamkan Husni lebih dalam lagi. Lubang kehampaan yang seolah tanpa dasar. Husni tak mampu mengukurnya.
***
Asap masih belum menipis juga. Sudah tiga jam penumpang menunggu dalam ketidakpastian. Husni masih tetap berada di bawah sihir langit Kalimaya. Ia duduk di sebuah kafe yang menyediakan ruang merokok dan sudah menandaskan dua cangkir kopi Gayo. Asam lambung di perutnya sudah mulai sedikit bereaksi. Ia sudah minum segelas kopi saat sarapan pagi di hotel dan dalam waktu tak lebih dari dua jam kemudian ditambah dua gelas kopi. Wajar jika asam lambungnya mulai bereaksi.
Para penumpang semakin ramai meracau, mengomeli sistem transportasi, merutuki para pengusaha batu bara, mengutuk para pejabat korup, mencaci kapitalisme dan memaki-maki sejarah yang tak berpihak pada rakyat sejak kemerdekaan diproklamasikan Soekarno-Hatta. Semua melemparkan kemarahan dalam celoteh penuh bumbu politik. Tak satu pun celoteh kemarahan itu yang mengganggu Husni. Semua ceracau itu sudah terlalu sering didengarnya. Mulai di warung kopi Ulee Kareng sampai kafe-kafe mahal yang tersebar seperti cendawan di musim hujan di mal kota-kota besar. Semua celoteh itu telah menjadi seperti dengung lebah yang menggumamkan bunyi-bunyi tanpa makna.
Husni ingat ketika Munandar mengajaknya berhenti berwacana, berhenti berkicau.
“Sudah cukup kita bicara, kawan. Saatnya bertindak kini. Perubahan tidak akan terjadi hanya oleh teori, apalagi omong kosong. Perubahan hanya bisa terjadi melalui tindakan nyata, sekecil apa pun. Aku mau berbuat nyata di Kalimantan. Banyak persoalan lingkungan yang serius di sana,” tegas Munandar di suatu siang di kamar kos mereka, sepuluh tahun yang lalu.
“Apa yang akan kau lakukan?”
“Aku akan masuk ke hutan.”
“Hah?”
“Hahaha, jangan takut, kawan. Aku tidak akan menjadi pemberontak. Aku mencintai bangsa ini. Aku mencintai hutan-hutannya karena itulah aku akan masuk hutan untuk membuktikan cintaku, hahaha!”
Husni tak bertemu lagi dengan Munandar sejak siang itu. Esoknya, ia sudah menghilang dan tak pernah kembali sampai Husni lulus kuliah setahun kemudian dan bekerja di sebuah organisasi internasional sambil melanjutkan kuliah S2 di jurusan yang sama. Husni baru bertemu Munandar kembali sekitar enam tahun setelah ia lulus dalam sebuah kejutan yang sama sekali tak terduga. Bukan dalam aksi unjuk rasa lingkungan, bukan dalam peristiwa politik yang heboh, dan bukan juga dalam sebuah reuni.
Ia bertemu kembali Munandar tidak dalam peristiwa tertentu. Munandar tiba-tiba nongol begitu saja di kantornya persis pada jam makan siang dan Husni bersiap keluar kantor untuk makan siang.
“Husni!”
“Hah?! Munandar??”
Itulah satu-satunya pertemuan yang terjadi setelah Munandar tiba-tiba menghilang dan sebelum Husni menerima kabar kematiannya di suatu siang saat ia berada di Ternate. Dalam pertemuan singkat itu, Husni melepas jam tangan yang dipakainya dan memberikannya pada Munandar. Sementara Munandar melepaskan cincin batu Kalimaya di jarinya, lalu memberikannya pada Husni.
Sejak saat itu, Husni memakai cincin batu Kalimaya itu di jari kelingking kanannya karena ukuran jari-jarinya lebih besar dibanding Munandar yang memakainya di jari manis. Husni kerap memperhatikan batu Kalimaya itu di setiap jeda waktu apa pun yang dimilikinya. Memperhatikannya di tengah kemacetan Jakarta, mengamatinya di saat menunggu anaknya les bahasa Prancis, memperhatikannya di sela-sela waktu kerja, mengamatinya di tengah penerbangan-penerbangan panjang yang ditempuhnya.
Apakah karena hal itu lalu langit Ternate siang itu menjadi langit Kalimaya di matanya? Husni tak tahu, tapi ia lebih senang menganggap langit Ternate menjadi langit Kalimaya siang itu karena Munandar menyapanya. Mengucapkan selamat tinggal khusus untuk dirinya dengan satu pesan yang jelas. Satu pesan tentang langit dan bumi yang kini tak lagi dihiraukan oleh manusia, meskipun kabut asap telah merebak di mana-mana. (*)
Widyatama Indah, 2014
Saat terkenang almarhum Andi Munajat
FX Rudy Gunawan, sastrawan kelahiran Cirebon, 1965. Ia menulis fiksi dan non fiksi. Novel terkininya, Tuan Ken(tut), 2013.
Leave a Reply