Fina Lanahdiana

Tokoh Cerita yang Menetas di Kepala Ibu

0
(0)

Cerpen Fina Lanahdiana (Media Indonesia, 4 Januari 2015)

Tokoh Cerita yang Menetas di Kepala Ibu ilustrasi Pata Areadi

“JIKA kau tak lekas tidur, lalu tiba-tiba rumah menjadi gelap, seekor monster akan mendatangimu. Ia akan merebut paksa mainan-mainanmu. Tubuhnya besar dan hampir menyentuh atap dengan air liur yang menetes ke lantai. Ia juga akan mencuri buku-buku koleksimu.”

Analis merasa ngeri dan segera menutup hampir seluruh tubuhnya, kecuali sedikit rambut ikal berwarna hitam yang masih terlihat.

“Apakah itu kisah nyata?”

Ibunya mengangguk, kemudian mencium kening Analis yang dipenuhi oleh dongeng.

***

Malam sebelum ibunya datang, Analis mengendap-endap di depan pintu. Kepalanya menyembul, memeriksa sesuatu. Sepasang kaki mungilnya melangkah sangat pelan. Terdengar bunyi klik ketika hendel pintu ditutup.

Ia telah menyembunyikan mainan dan buku-buku kesayangannya. Sekarang ia sudah berbaring di tempat tidur, lengannya memeluk Cuki, boneka Beruangnya.

“Kau dengar, sebentar lagi ketika Ibu datang dan tiba-tiba seisi rumah menjadi gelap, aku akan berubah menjadi sebuah lampu. Aku akan berdoa kepada Tuhan. Bukankah kata Ibu tidak ada yang tidak mungkin bagi Tuhan?” suaranya terdengar seperti bisikan.

“Kau tenang saja, Cuki. Jika aku sudah menjadi lampu, kau tak akan lagi berada di tempat yang gelap, karena kamarku akan berwarna terang seolah malam adalah siang yang meremang.”

Ia membayangkan tubuhnya berpendar-pendar memancarkan cahaya putih, merah, kuning, hijau, biru. Ramai sekali, pikirnya. Selanjutnya laron-laron yang hidup dari segerombolan rayap yang melarikan diri dari lembap tanah musim hujan akan datang mengelilingi tubuhnya. Akan dilihatnya kepak sayap dari jarak yang sangat dekat. Semakin lama tubuhnya terasa geli karena laron-laron itu akan menempel pada permukaan kulitnya yang berwarna terang dan hangat.

“Laron selalu mendekati cahaya karena ia menyukainya atau …”

Ia turun dari ranjang menuju rak kecil berukuran 2×3 meter, mengambil sebuah ensiklopedi yang di dalamnya dipenuhi gambar-gambar dan uraian-uraian singkat. Meskipun usianya belum genap tujuh tahun, ia sudah lancar membaca. Ia membuka halaman demi halaman dan berhenti pada sebuah lembaran bertajuk Laron yang dicetak dengan huruf kapital.

Baca juga  May dan Revolver Tua

“Laron adalah serangga yang memiliki nama latin Macrotermes gilvus. Berasal dari rayap yang sudah memasuki usia matang dan akan melakukan reproduksi membentuk koloni baru. Laron hidup mendekati cahaya karena mempunyai kepekaan rangsangan gerak terhadap cahaya. Laron yang tidak menemukan pasangan akan mati dengan sendirinya.”

Ia menganggukkan kepala, menutup buku, dan mengembalikannya ke tempat semula.

“Kasihan ya laron-laron itu, ia hanya hidup dalam waktu singkat. Kenapa ya, kenapa. Hmm … Kalau begitu aku tak ingin menjadi laron. Tentu saja aku ingin menjadi lampu.”

Ibunya belum juga datang, matanya yang hitam seperti bulatan kenyal agar-agar, belum juga mengantuk.

“Apakah Ibu sudah mengetuk pintu? Aku belum mendengarnya. Ibu selalu sibuk dengan alasan pekerjaan. Huh!” Analis mendengus kesal. Ia meninju Cuki berkali-kali.

Jarum jam terasa lambat bergerak. Meskipun sudah bosan, ia masih ingin menunggu.

Dua tahun lalu saat usianya belum genap lima tahun, ibunya memperkenalkannya pada Mary, guru homeschooling. Setiap hari—kecuali Minggu—setelah jam delapan pagi, Mary datang ke rumahnya dengan membawa buku-buku tebal yang sebenarnya tidak sesuai dengan usianya. Berkali-kali Mary bilang kepada ibunya, bahwa Analis adalah gadis jenius. Ibunya percaya saja pada apa yang dikatakan Mary. Ia tampak takjub mendapati gadisnya tumbuh dalam waktu yang terlampau singkat.

Hadiah demi hadiah diberikan Mary kepada Analis ketika ia berhasil menuntaskan tugasnya. Ia senang mendapat permen, cat air, buku cerita, kamus, pensil, karet penghapus, dan kotak musik berbentuk piano yang ketika dibuka akan terdengar alunan musik.

“Terima kasih, aku suka sekali.”

Saat ini di wajahnya yang bulat telur terpasang sebingkai kaca mata minus empat.

Terkadang di dalam kepalanya berputar-putar sebuah pertanyaan yang selalu gagal untuk dituntaskan: Apakah setiap anak harus menjadi pintar dan selalu dibekali dengan buku-buku tebal? Ibu tidak pernah berkata begitu, tetapi Bu Mary mengatakannya.

Di waktu lain, ia kembali berpikir bahwa tidak jarang dirinya sangat lelah, kenapa bukan hanya gambar dan hitungan sederhana saja—seperti anak lain kebanyakan—yang diajarkan Bu Mary.

“Kenapa Ibu selalu pulang larut malam sampai aku dan Cuki lelah menunggu?”

Baca juga  Incogni-type Lalu Debu

“Karena Ibumu bekerja.”

“Bagaimana dengan Ayah?”

“Ayahmu juga.”

Di luar hujan menderas, memukul-mukul atap rumah secara bersamaan. Kilatan-kilatan cahaya terang mengerjap-ngerjap seolah-olah sebuah kamera raksasa yang sedang dioperasikan seorang fotografer profesional.

Ruangan kamar gelap, Analis menenggelamkan tubuhnya ke dalam selimut, semakin dalam, kepalanya melorot dari bantal hingga tidak ada satu bagian pun dari tubuhnya yang terlihat.

Tak ada keinginan untuk menjerit, meskipun ketakutan tumbuh serupa bayang-bayang.

“Ssst, jangan khawatir, Cuki. Kita punya Tuhan, kita punya Tuhan. Kata Bu Mary, Tuhan tak pernah tidur meskipun kita sedang tidur, dan tak pernah lupa kepada kita, meskipun kita melupakanNya.” Ia peluk bonekanya erat-erat, semakin erat.

Terdengar suara pintu berderit, debuman, dan seretan langkah—yang suaranya kian mendekati telinga Analis—juga dentuman lonceng yang terombang-ambing oleh angin.

Seorang pria mengenakan kemeja lengan panjang berwarna biru langit yang dilipat sebatas siku, terengah-engah. Tubuhnya kuyup, begitu juga perempuan di hadapannya.

“Aku tak suka kau pulang kerja selarut ini. Kau tega membiarkan anakmu sendirian, hah!”

“Duduklah, aku perlu bicara.”

Pria itu tampak menyesal menyadari kekesalan pada kalimat yang baru saja ia ucapkan. Keduanya lantas hanyut dalam diam. Mereka sama-sama kehabisan kata-kata.

Airmata menggantung di pelupuk mata perempuan itu, namun ia segera menghapusnya. Pria itu melonggarkan dasi yang menggantung di kerah kemejanya. Ia hendak berdiri untuk mengganti baju ketika perempuan di hadapannya mencegahnya.

“Biar aku saja.”

Sesaat perempuan itu kembali ke ruang tamu, menyerahkan kaus kepada suaminya. Ia juga telah menyiapkan dua cangkir teh panas di atas meja.

***

“Apakah kita boleh membakar foto seseorang yang tidak kita sukai, Bu?”

“Kenapa kau berkata seperti itu?”

“Aku melihatnya di televisi. Seorang pembawa acara wanita di televisi itu mengatakan mereka adalah mahasiswa. Mereka membakar foto Bapak Pejabat. Aku ingin ibu juga membakar foto Ayah.”

“Tidak boleh seperti itu, Sayang.” Ibunya merengkuh tubuh Analis ke dalam dadanya.

“Ayah jarang sekali pulang, Bu. Aku benci Ayah. Apakah ia masih sayang sama kita?”

Baca juga  Mata Monyet

Ibunya tersenyum. “Tentu saja.” Senyum yang meranggas, seperti musim kemarau yang tak kunjung dibasahi gerimis.

Perempuan itu tersentak dari lamunannya. Ia baru saja menyadari sesuatu. Malam semakin pekat. Hujan sudah reda, menyisakan bunyi kecil lonceng yang tergantung di ujung tiang di teras rumahnya. Udara tiba-tiba dingin hingga sekujur tubuh merinding, membangunkan bulu-bulu halus di permukaan kulit.

“Ya Tuhan, Analis. Ke mana dia? Aku benar-benar merasa berdosa. Maafkan aku. Aku jarang pulang, sementara kau …”

Sudahlah, lupakan. Kita pikirkan bagaimana cara memperbaiki semuanya. Analis gadis manis yang jenius. Ia sudah lancar membaca dan pandai berbahasa Inggris, mirip sekali denganmu.” Ia tersenyum. Mereka saling memeluk.

Di depan pintu kamar Analis, ayah dan ibunya berdiri, melongok melalui celah kaca di bagian sisi pintu. Gelap. Tak ada cahaya yang tersisa. Pintu didobrak paksa. Tak ada siapa-siapa. Tak ada di kolong ranjang, di dalam lemari, di kamar mandi, tak ada di mana-mana.

Di ujung ranjang, di dekat bantal, ada sebuah meja kecil tempat Analis meletakkan jam weker, pigura, dan kotak musik pemberian Mary. Di sana foto ayahnya tergeletak begitu saja, sementara pigura kosong tidak menyimpan foto siapa-siapa. Yang ada hanyalah seekor kupu-kupu yang menempel di sudut pigura. Sayapnya mengepak-ngepak naik-turun. Kupu-kupu yang indah, pikir ibunya. Memang tidak biasanya malam-malam buta begini ada seekor kupu-kupu.

Mereka percaya jika ada seekor kupu-kupu di dalam rumah, maka rumah itu akan didatangi oleh tamu. Tapi siapa?

Sebelum ibunya datang dan badai menyerang, Analis mengubah doanya, “Tuhan, maafkan aku. Aku tak ingin menjadi lampu. Ibu telah berbohong, monster itu tidak ada ketika seluruh ruangan dilahap kegelapan. Aku ingin menjadi tokoh dalam buku-buku cerita di kepala Ibu.” (*)

Kalirandugede, 2014

Fina Lanahdiana, lahir 19 Februari 1992. Menulis puisi dan cerpen. Saat ini tinggal di Kendal, Jawa Tengah.

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

1 Comment

  1. Great! Fina menulis dengan amat indah.

Leave a Reply

error: Content is protected !!