Cerpen Aya Emsa (Republika, 11 Januari 2015)
“KAMU yakin, La? Undangan pernikahan kamu udah disebar….” Yasha menatap Rella tajam- tajam. Mencari jawaban darinya. Keputusan yang diambil Rella terlalu riskan, mana bisa dia membatalkan pernikahannya yang akan terlaksana dalam hitungan jari?
Panitia sudah 50 persen menyelesaikan tugasnya, gedung sudah disewa, makanan dan suvenir telah dikantongi. Lalu, hanya karena tidak mufakat lokasi tempat tinggal mereka setelah menikah, pernikahan ini harus batal? Konyol sekali. Tapi Rella mengangguk tegas, mengiyakan pertanyaan ragu Yasha.
“Aku nggak bisa ninggalin Ibu, aku nggak mau Ibu tinggal sendirian di desa ini.” Pandangan gadis cantik yang akan menikah tak sampai sepekan lagi itu, mengarah pada halaman belakang rumahnya. Rella tidak menatap lawan bicaranya, sedang suaranya lirih seolah berbicara sendiri.
“Tapi, La, Ibu kamu kan sudah setuju kamu tinggal di kota sama Mas Wawan. Lagi pula itu kan cuma sementara aja, nanti kalian bisa merundingkannya lagi dengan kepala dingin.” Yasha masih berusaha membujuk Rella. Tapi dara manis itu tetap menggeleng.
“Aku nggak mau, Yash.”
“La, ini masalah sepele lho… kamu nggak harus membatalkan menikah begini cuma gara- gara kalian ada beda pendapat soal di mana kalian akan tinggal nantinya,” lanjut Yasha. Rella mengarahkan pandangannya ke Yasha.
“Tapi ini nggak sepele bagi Mas Wawan.” Rella membantah. Matanya tajam menatap Yasha.
“Tapi kalian masih bisa nego lagi setelah menikah!” Yasha masih bersikukuh menyang kal.
“Tapi Mas Wawan nggak mau nego lagi setelah menikah!” sanggah Rella.
Yasha membuang muka seraya menarik napas keras. Gemas. “Kalian berdua sama- sama kekanak-kanakan. Kenapa sih nggak mengalah saja salah satu?”
“Aku bukannya nggak mau mengalah, Yash! Aku hanya nggak bisa meninggalkan Ibu tinggal di sini sendirian!” Calon mempelai wanita Wawan itu meralat.
Debat kusir. Yasha tidak akan bisa mengubah pendirian Rella, sepupunya yang keras kepala itu. Yasha tahu, Wawan tadinya menyepakati keputusan untuk tinggal di kediaman Ibu Rella, meski lokasinya ada di desa dan jauh dari perkotaan.
Namun karena ia naik jabatan dan kantornya pindah ke pusat kota berikut fasilitas rumah dinas, Wawan kemudian meminta agar dia dan Rella tinggal di kota saja. Wajar jika Rella bertindak begini.
“Kapan lagi aku bisa berbakti kepada Ibu jika bukan sekarang…” Lanjut Rella. Kesedihan merayapi Rella. Yasha mendekat dan memeluknya, berusaha menyalurkan kekuatan padanya. Memori dua tahun silam tampaknya teringat lagi.
Ayah Rella meninggal dunia dua tahun yang lalu dalam sebuah kecelakaan lalu lintas. Musibah yang tidak pernah diduganya. Sang ibu harus tinggal sendirian hingga Rella menyelesaikan pendidikan strata satunya, satu bulan setelah sang nenek meninggal setahun yang lalu.
Jika sekarang dia harus tinggal di luar kota dan meninggalkan Ibunya sendirian, Rella akan menyia-nyiakan kesempatan berbakti kepada sang Ibu. Waktu terus berjalan dan umur manusia tidak ada yang bisa menebak. Rella tidak ingin kehilangan saat-saat berharga dengan orang tua tunggalnya ini, seperti ia kehilangan momen bersama sang ayah.
Rella bersekolah di luar kota dan tinggal bersama neneknya yang meninggal setahun yang lalu, sejak SMP hingga lulus dari perguruan tinggi. Rella mengerti betul perasaan seorang ibu yang kesepian tanpa sang anak, bagaimana seorang ibu menahan rindunya saat anak-anaknya berada jauh di luar kota dan jarang sekali menjenguk.
Seperti ia melihat neneknya selalu mengigau memanggil ibunya, dia atau paman dan tantenya saat kerinduan menyergap. Dan dia sama sekali tidak ingin Ibu merasakan hal tersebut di masa tuanya.
Memori pertengkarannya dengan Wawan pagi tadi, mampir lagi ke benak Rella dengan jelas.
***
“La, kita menikah dalam hitungan hari, kedua keluarga, baik itu keluarga kamu atau keluargaku sudah sama-sama mempersiapkan ini sejak satu tahun yang lalu, kamu akan mengecewakan mereka semua jika pernikahan ini kita batalkan sekarang,” bujuk Wawan.
“Aku nggak membatalkan tanpa alasan, Mas… Kamu juga tahu itu.”
“Coba kamu pikir masak-masak lagi, Rella…” Wawan mencoba merundingkannya lagi. “Kita bisa tinggal di kota tanpa harus membiarkan ibu sendirian di rumah, kita bisa sewa pembantu,” Wawan menawarkan solusi.
“Pembantu terbaik adalah putri sendiri, Mas,” jawab Rella.
Wawan menarik napas, gemas. “Oke, tapi bukan artinya pernikahan ini harus digagalkan begitu saja. Setidaknya kita bisa berunding lagi nanti, setelah menikah.”
“Aku ingin kesepakatan sekarang. Dan kita sudah sepakat mau tinggal sama ibu setelah menikah, sebelum ini. Kamu yang tiba-tiba berubah pikiran dan aku juga jadi ingin berubah pikiran mengenai keputusanku untuk menikah dengan kamu, Mas.”
Jeda sesaat. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Wawan tidak ingin membatalkan pernikahannya, di lain pihak, dia juga tidak mungkin melepaskan jabatan yang baru dia terima kurang dari satu pekan ini.
“Kenapa kamu nggak mau mengalah?” tanya Wawan mulai naik darah.
“Kenapa kamu nggak mau menepati kesepakatan kita?” Rella balik bertanya.
Emosi Wawan makin memuncak. Rella yang dicintainya adalah gadis yang keras kepala, sulit sekali keinginannya dipatahkan. Apalagi ini menyangkut Ibunya, seorang yang paling penting dalam hidup Rella, satu-satunya keluarga kandung yang ia miliki saat ini.
“Kamu egois, La. Kamu nggak mencoba sedikitpun untuk mengerti posisiku sekarang!”
“Kamu lebih egois, Mas! Kamu lebih mementingkan kariermu ketimbang kesepakatan yang sudah kita buat. Kamu nggak menepati janji!”
Keduanya dikuasai emosi. “Sekarang mau kamu apa?”
“Aku mau kamu tinggal sama aku di sini atau kita tidak usah menikah saja!”
“Oke! Kita batalkan,” Rella terpana. Air matanya menitik. Ternyata harus berakhir begini. Rella tidak menduga Wawan secepat itu akan memutuskan untuk membatalkan saja pernikahan mereka. Di satu sisi, undangan sudah disebar, gedung sudah dipesan, makanan dan suvenir sudah dipersiapkan.
“Ya, batalkan saja,” sahutnya sembab.
“Daripada aku kehilangan surga, daripada aku kehilangan kesempatan merawat dan menemani ibu, jauh lebih baik aku kehilangan kamu.” Lanjut gadis 24 tahun itu dengan rela.
Lirih, hampir-hampir tak terdengar. Dalam diam, Rella mengatakan pada dirinya sendiri, “Jodoh yang pergi meninggalkanmu akan diganti oleh-Nya dengan yang lebih baik, tapi seorang Ibu yang meninggalkanmu karena tidak kamu rawat dengan baik, akan membuatmu menyesal seumur hidup. Seorang Ibu tidak akan pernah tergantikan.”
***
Harusnya tiga hari lagi Rella menikah. Menapaki satu langkah penting dari kehidupan nya, mengubah status dan menggenapi setengah agamanya. Seharusnya begitu, seandainya dia tidak emosi dan gegabah membatalkan pernikahan secara mendadak, seharusnya dia sekarang sudah mulai mempersiapkan prosesi menuju lembaran dari hidupnya. Tentu saja, berandai-andai tidak ada gunanya. Semua sudah terjadi. Pernikahannya sudah dibatalkan. Yang tersisa sekarang adalah segumpal sesal di dalam hati Rella.
Gadis itu termenung menatap rintik-rintik hujan yang membasahi kaca jendela. Meleleh, seperti hatinya yang ringkih. Ah, ini masih pagi, kenapa gadis cantik harus bermuram durja? Rella menghela napas, berat.
Semestinya dia tidak dibutakan emosi, semestinya dia sekarang sudah sibuk mempersiapkan hari besarnya, semestinya dia saat ini adalah calon seorang pengantin. Gumpalan sesal semakin membesar, menyesakkan dada.
Ketika gumpalan sesal itu menggelembung begitu hebatnya, Ibu Rella masuk ke kamar gadis itu. Wanita setengah abad itu duduk di samping putrinya.
“Nduk, Ibu tahu kamu pasti akan menyesal seperti ini,” tutur Ibu Rella lembut sambil mengelus kepala putrinya. “Kamu kemarin terlalu emosi dan terburu-buru. Karena itu, Ibu tidak pernah membatalkan pernikahan kamu.” Rella serta merta menatap wajah penuh sayang ibunya. Terpana. Dari celah pintu kamar yang terbuka, ia melihat banyak orang berlalu lalang membawa berbagai bahan persiapan pesta pernikahan.
“Pernikahan itu nduk, bukan semata-mata hubungan antara dua orang. Pernikahan adalah hubungan dua keluarga besar. Keputusan yang diambil dalam proses menuju pernikahan juga bukan hanya dari kamu dan Wawan saja, tapi kedua keluarga besar juga ikut mengambil peran. Karena itu nduk…, jangan kamu gegabah dan egois dengan membatalkannya.” Nasihat Ibu Rella panjang-lebar.
Rella menunduk terpekur menatap lantai. Sekarang, ia tidak lagi berkeras membatalkan pernikahan seperti beberapa hari yang lalu. Rella sudah menyadari bahwa tindakannya keliru dan tidak bijak, ia telah mengambil keputusan sepihak yang egois.
“Ini ada kiriman dari Wawan,” lanjut Ibu Rella seraya menyerahkan rangkaian bunga mawar dan beranjak.
Sepucuk surat kecil terselip di antara tangkai mawar yang dikirimkan Wawan. Di atas kertas merah muda itu tertulis:
“Daripada aku kehilangan bidadari surga, daripada aku kehilangan kesempatan mengarungi sisa kehidupanku bersamamu, jauh lebih baik aku kehilangan pekerjaanku.” (*)
Colomadu, Desember 2014
Penulis yang bernama asli Anindya Aryu Inayati aktif menulis cerpen. Beberapa di antaranya sering dimuat di media lokal dan nasional.
heri
Lah, kenapa si ibu ga diajak tinggal di kota aja deh. Ga cerdas emang.