Cerpen Mashdar Zainal (Suara Merdeka, 4 Januari 2015)
RUMAH kami dan rumah Wak Karni bersebelahan, hanya bersekat pagar beluntas setinggi pinggang dan beberapa pohon petai cina yang tak pernah berbuah. Rumah Wak Karni berlantai dua, berwarna kuning muda, dan berubin keramik, sedangkan rumah kami berlantai satu, sedikit reot, dan berubin tanah mentah. Jika ditilik secara saksama, dua rumah itu akan tampak seperti gubuk dan istana yang bersandingan. Atau seperti tahi lalat yang menempel di wajah cantik.
Di halaman rumah kami yang berpagar beluntas itu, sama-sama menganga dua buah kolam yang telah lama kami manfaatkan untuk memelihara ikan. Sebelum pagar hidup itu membatasi rumah kami, Bapak dan Wak Karni adalah saudara sepupu yang cukup karib.
Suatu ketika, mereka bekerja sama hendak membuka sebuah usaha peternakan ikan. Bapak dan Wak Karni bahu-membahu menggali tanah di halaman rumah kami. Mereka saling membantu, semua pekerjaan dikerjakan berdua, hingga dalam hitungan pekan, dua buah kubang selebar hampir delapan meter telah menganga dan siap dimanfaatkan. Satu kubang di halaman rumah kami, dan satu kubang lagi di halaman rumah Wak Karni.
Kubang itu pun segera dialiri air dari sungai irigasi yang kebetulan mengalir melintasi halaman depan rumah kami. Bapak dan Wak Karni yang mengurusnya. Benih gurami pun disebarkan di dua kolam itu, pada hari yang sama, dengan jumlah yang sama. Tiada hari bagi dua lelaki paruh baya itu kecuali berdua-duaan pada pagi hari, atau pada senja hari, mengelilingi dua kolam di halaman rumah sambil mengobrol ringan dan sesekali menabur-naburkan pakan ikan ke antero kolam.
Gurami-gurami yang mereka ternakkan rupanya lebih cepat tumbuh dari yang mereka perkirakan, pada tiga bulan pertama, gurami-gurami itu telah mekar sebesar telapak tangan orang dewasa. Sesekali, Bapak atau pun Wak Karni menyerok satu dua ekor bilamana kami membutuhkan lauk. Tepat dalam jangka waktu delapan bulan, gurami-gurami itu telah melebar sebesar piring dan siap untuk dipanen. Pada panen musim pertama itu, Bapak dan Wak Karni mendapatkan hasil melimpah yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya. Bahkan hasil berternak gurami itu jauh lebih menguntungkan ketimbang bertanam padi yang masa panennya empat bulan sekali namun kerap dimakan wereng dan tikus itu. Bapak dan Wak Karni membagi hasil keuntungan itu menjadi dua. Dan berencana melanjutkan peternakan yang menguntungkan itu.
***
HINGGA pada suatu petang, Wak Karni mendatangi rumah kami dan mengajak Bapak membicarakan sesuatu. Tiba-tiba Wak Karni mengutarakan maksudnya untuk menernak gurami secara individu, sendiri-sendiri. Entahlah, alasan apa yang menyebabkan Wak Karni mengutarakan keputusan seperti itu.
“Kita sudah cukup belajar bagaimana berternak gurami, kupikir kita sudah bisa mencobanya sendiri-sendiri. Maksudku, kita akan bisa melihat seberapa kemampuan kita masing-masing, dalam mengurus kolam dan ikan-ikan itu. Aku tidak meragukan kemampuanmu, aku hanya ingin mencoba kemampuanku sendiri, tidak apa-apa, kan? Kau tidak keberatan, kan?” kata-kata Wak Karni tampak nyanyuk dan terbata.
Bapak hanya berdeham. Tentu ia tak bisa mencegah keinginan Wak Karni. Dan akhirnya mereka pun berpisah. Beternak gurami sendiri-sendiri. Setelah memutuskan kerjasamanya dengan bapak, Wak Karni melebarkan kolamnya tiga kali lipat, mengingat halaman rumahnya jauh lebih luas ketimbang halaman rumah kami. Wak Karni membayar beberapa orang untuk menggali kubang baru di halaman rumahnya, mengalirinya dengan air yang sama, dan melepaskan benih-benih ikan yang sama pada hari yang sama dan dengan jumlah yang sama per kolamnya.
Waktu pun berjalan, pekan dan bulan seolah menjelma menjadi ikan-ikan kecil yang terus tumbuh dan berenang-renang di dalam kolam kami. Bapak dan Wak Karni sudah mulai jarang berdua-duaan lagi. Sesekali mereka masih berpapasan di halaman rumah ketika tengah memberi makan ikan-ikan itu. Mereka semakin sedikit berbicara. Bulan demi bulan pun mengantarkan kami ke masa panen. Ketika ikan-ikan itu dipanen, terjadi suatu yang mengejutkan. Entah musabab apa, gurami-gurami yang dipanen di kolam Wak Karni jauh lebih kecil ketimbang gurami-gurami hasil ternakan Bapak. Hasil panen dari satu kolam milik Bapak sama dengan hasil panen dua kolam milik Wak Karni.
Wak Karni sempat heran dan kemudian kembali mendatangi Bapak untuk menanyakan kira-kira apa yang membuat panen guraminya kurang mulus. Tanpa menggurui, Bapak pun menjelentrehkan caranya beternak, caranya memberi pakan, memberi gizi tambahan untuk ikan-ikan, mengatur aliran air, dan sebagainya….
Pada musim berikutnya benih-benih gurami pun kembali diternakkan, pada waktu yang sama, dengan jumlah yang sama. Anehnya, ketika masa panen tiba, hasil panen dari satu kolam milik kami nyaris sama dengan hasil dari tiga kolam milik Wak Karni. Wak Karni mengalami panen yang lebih buruk dari musim sebelumnya.
Entah mengapa, semenjak itu Wak Karni tak pernah lagi mengajak Bapak bicara. Konon, di warung-warung dan di pasar-pasar Wak Karni menebar desas-desus yang mengatakan bahwa Bapak telah menumpahkan guna-guna ke kolam Wak Karni sehingga panennya selalu gagal. Mendengar kabar itu Bapak hanya tersenyum simpul, dan merasa tak perlu menanggapinya. Hingga suatu pagi, ketika bapak hendak memberi makan ikan-ikan di kolam kami, Bapak menemukan ratusan gurami yang belum siap panen itu telah membangkai dan mengapung di permukaan kolam seperti cendol. Beberapa gurami yang masih sekarat tampak menggelepar berputar-putar di antara ratusan bangkai lainnya sebelum terdiam dan mengapung dengan mata mendelik seperti layaknya mata ikan.
Bapak yakin sekali, seseorang telah menuang racun ke kolam kami. Karena, jika air irigasi itu beracun, tentu ikan-ikan di kolam Wak Karni mengalami hal yang sama. Betapa mendongkolnya hati Bapak ketika itu hingga ia nyaris menangis. Ratusan ikan itu adalah nyawa, dan mereka melayang sia-sia. Mau tak mau ratusan ikan itupun terbuang tanpa faedah.
“Aku tak tahu, siapa orang yang tega melakukan ini, siapa pun itu, aku telah merelakannya, biar Tuhan yang mengurus orang itu. Kedengarannya memang sangat remeh, hanya ikan-ikan, tapi ikan-ikan itu adalah nyawa yang disematkan Tuhan, manusia tak bisa melakukan itu, maka biar Tuhan saja yang mengurus orang itu,” ujar Bapak dengan mata berkilat-kilat.
Ketika itu, orang-orang tengah berkerumun di tepian kolam dengan ratusan bangkai ikan itu, dan Wak Karni juga ada di sana dan ikut mengikrarkan bela sungkawa dengan wajah tertekuk.
Bapak tak pernah menuduh Wak Karni atau siapa pun, tapi entah mengapa, jarak antara Bapak dan Wak Karni terasa semakin jauh. Setelah peristiwa yang menyesakkan itu, Bapak mengalami kerugian yang cukup besar hingga ia harus mengistiratkan kolamnya. Dan di belakang kami, Wak Karni kembali menebarkan desas-desus busuk bahwa peristiwa matinya ikan-ikan di kolam kami adalah hukuman dari Tuhan untuk kami. Sebagai manusia biasa, Bapak pun tak bisa terus menerus menyabarkan hatinya. Satu hal yang sangat tidak disukai Bapak dari Wak Karni adalah, ia terlalu pengecut, ia selalu menutup mulutnya rapat-rapat di hadapan kami, dan kemudian membeo keras-keras di belakang kami.
Karena tak kuasa lagi membentengi kemarahannya, suatu petang, Bapak menemui Wak Karni yang tengah memberi makan ikan-ikan di halaman rumahnya. Terjadilah adu mulut di antara mereka. Nyaris saja dua lelaki paruh baya itu saling pukul seperti bocah cilik yang rebutan mainan, kalau saja para tetangga tidak datang dan memisahkan mereka.
Esok paginya, kami mendapati istri Wak Karni tengah menancapkan ranting-ranting beluntas sebagai pagar pembatas antara rumah kami. Seiring waktu, pagar beluntas itu pun kian merimbun dan menjulang hingga setinggi pinggul orang dewasa. Wak Karni pun masih meneruskan usaha berternak guraminya. Dan kami dengar, hasil panenan Wak Karni tak pernah sebagus hasil panenan kami. Sementara itu, Bapak masih mengistirahatkan kolamnya. Hingga suatu hari, pelanggan Bapak datang dan menawarkan bantuan untuk Bapak, supaya Bapak bisa kembali memanfaatkan kolam di halaman rumah yang telah lama menganggur itu.
Tepat hari itu, ketika salah satu pelanggan Bapak datang dan bertamu ke rumah kami, kami mendengar suara ramai-ramai dari rumah sebelah, dari rumah Wak Karni. Sesekali kami mendengar tangisan dan jeritan. Sebagai kerabat yang cemas, sekaligus sebagai tetangga yang baik, kami pun berlari tanpa peduli, menerobos pagar beluntas yang menjulang memisahkan rumah kami. Di ruang tengah, di antara kerumunan orang-orang, kami mendapati Wak Karni tengah terbaring dengan suara tercekik. Wajahnya memerah dan matanya mendelik.
Kata istrinya, saat sarapan dengan lauk lalapan gurami, beberapa jam lalu, tulang gurami tersangkut di tenggorokan Wak Karni dan tak dapat dikeluarkan. Beberapa orang mengusulkan supaya Wak Karni lekas-lekas dibawa ke rumah sakit. Namun, sebelum tubuh Wak Karni yang lemas itu dibopong ke dalam mobil, Wak Karni telah menghembuskan napas terakhirnya. Istri Wak karni pingsan dan anak-anaknya menjerit tak keruan. Tak seorang pun menganggap itu masuk akal. Bagaimana mungkin setangkai tulang ikan dapat merenggut nyawa seseorang?
Sementara itu, Bapak hanya bungkam, matanya redup namun berkilat- kilat serupa cermin retak. Mata Wak Karni yang mendelik itu mengingatkan Bapak pada mata ratusan ikan yang mengapung di kolamnya beberapa waktu silam. (*)
Malang, 2014
— Mashdar Zainal, lahir di Madiun 5 juni 1984, suka membaca dan menulis puisi serta prosa, kini bermukim di Malang.
Ida Raihan
Cakeeeppp. Jadi keinget Duo Bali Nine. 😀