Cerpen Sule Subaweh (Republika, 21 Juni 2015)
Laki-laki itu menangis, di tangannya Alquran terbelah menjadi dua. Dia menunduk seperti mengeja ayat-ayat yang berbaris. Basah oleh air matanya. Perlahan matanya mengeja satu persatu huruf-huruf yang berbaris rapi, bibirnya mulai komat-kamit, tanpa suara. Tak lama setelah itu, air matanya kembali membasahi lembaran kitab yang dipangkunya, diikuti seduan-seduan kecil yang ditelannya.
Malam itu sunyi, tak ada angin, tak terdengar binatang-binatang sawah. “Apakah Anda masih ingin melanjutkan?” Ustaz Alung melihat lelaki itu menagis. Laki-laki itu masih mengangguk, tanda semangatnya masih tak berkurang.
“Kalau begitu, bacalah pelan-pelan, tidak perlu tergesa-gesa,” pinta Ustaz Alung. Perlahan laki-laki itu mengeja penuh hati-hati. Tak sempat habis satu baris, Ustaz Alung menghentikan bacaannya, lalu dengan telaten dia menjelaskan satu persatu kekeliruannya. Tapi, laki-laki itu semakin menangis histeris, tersedu-sedu, seperti seorang anak yang merengek-rengek kepada ibunya. Kali ini air matanya tumpah ruah.
“Mengapa Anda terus menangis? Apakah ada yang salah dengan cara mengajar saya?”
“Tidak, Ustaz,” sanggah laki-laki itu.
“Lalu, mengapa setiap kali saya perbaiki cara membacanya selalu dibarengi dengan tangisan?” Laki-laki itu hanya diam. Merunduk menyembunyikan matanya yang lebam. Orang yang dipanggilnya ustaz itu mengelus-elus pundaknya. Laki-laki itu perlahan mengangkat kepala.
“Ceritalah jika ada masalah?” pinta Ustaz Alung.
“Tidak ada, Ustaz,” jawabnya singkat sambil menahan seduhan.
“Kalau begitu, mari kita lanjutkan lagi,” pinta Ustaz Alung lagi.
Laki-laki itu kembali melanjutkan meski mulutnya seperti terkunci oleh seduan-seduan yang ditahannya. Dia terus berusaha, nadanya pelan.
“Salah…”
Laki-laki itu diam, suasana sunyi, lalu dia kembali melanjutkan sambil mengulang ayat sebelumnya.
“Salah!” Tegur lagi Ustaz Alung diikuti dengan membenarkan cara bacaannya. Laki-laki itu menirukan macaan sambil melajutkan kalimat selanjutnya.
“Salah…”
“Salah!” Laki-laki itu kembali diam. Kepalanya merunduk, napasnya terengah-engah, keringatnya jatuh diikuti dengan air matanya. Alquran itu semakin basah. Dia masih merunduk menahan desahannya.
“Jika ada yang salah saat saya membaca. Bolehkah saya minta di pukul, Ustaz,” pinta laki-laki itu sambil mengangkat kepalanya pelan lalu kembali merunduk. Ustaz itu tertegun mendengar permintaannya.
Laki-laki itu masih menekuk kepalanya ke bawah, menunggu jawaban. Di sela-sela menunggu, wajah almarhum ibunya terlintas di benaknya. Lalu dia teringat masa kecilnya saat ibunya meminta dia mau mengaji. Tiba-tiba dia rindu akan jeweran ibunya saat dia menolak untuk pergi mengaji waktu itu.
Jika azan Maghrib berkumandang dan suara laki-laki itu tak terdengar di rumah, ibunya dengan sigab berdiri di tempat dia bermain, sambil menekuk tangannya seperti ceret berdiri tegak dan sorotan matanya yang tajam. Tak lupa juga dengan kayu panjang di tangan siap melesat ke tubuhnya. Dengan begitu, dia pun tanpa pikir panjang berlari menuju kamar mandi.
Lalu sosok yang lain berkelebat kepala laki-laki itu. Keh Suqi, begitu para murid yang mengaji memanggilanya. Keh Suqi dikenal tegas, tidak segan-segan memberikan jamu pahit kepada muridnya yang tidak hafal bacaan shalat. Dia juga akan meminta muridnya yang jahil kepada temannya untuk membaca surah Yasin 10 kali di kuburan. Kembali dia terkenang saat menjadi penghuni kuburan hingga dia hafal surah Yasin yang dibacanya. Dia rindu pukulan rotan Keh Suqi yang membuat tubuhnya memar sekaligus membuatnya lancar membaca Alquran.
“Adakah cara lain selain memukul?” Ustaz Alung membuyarkan lamunan laki-laki itu.
“Adakah cara lain agar saya bisa kembali mengaji seperti puluhan tahun yang lalu?”
“Sudah sekian lama saya meninggalkan ayat-ayat suci itu, adapun yang bisa saya baca mungkin surah Yasin dan beberapa surah juz’Amma yang pendek-pendek peninggalan ajaran ibu dan Keh Suqi dulu. Semenjak keluar dari tanah kelahiran, menuntut ilmu di kota asing, saya habiskan waktu untuk belajar dan buku-buku menjadi santapan yang menggiurkan.”
“Alquran pemberian ibu yang seharusnya dibaca, diabaikan, berdebu, tertimbun bersama buku-buku yang telah selesai saya baca. Saya ingin lancar membaca Alquran lagi.
Saya merasa hanya dengan membaca Alquran diri lebih tenang. Di sisa-sisa hidup ini saya ingin menghabiskan waktu untuk beribadah, Ustaz.”
“Pukullah jika saya salah saat membaca Ustaz,” pintanya lagi.
“Mengapa harus dipukul?”
“Karena, dengan dipukul saya akan bisa dan termotivasi untuk terus belajar, seperti masa kecil dulu. Sekarang, saya benar-benar miskin kemauan, miskin motivasi. Mungkin, dengan pecutan rotan, saya bisa membangun motivasi dari ketakutan-ketakutan. Dan rasa sakit itu akan terasa lebih sakit saat saya tak bisa mengeja ayat-ayat itu.”
“Tidak! Itu melanggar,” seru Ustaz Alung.
“Jika itu menjadi kehendakmu, mungkin akan melanggar. Tapi ini kehendakku, jadi tidak perlu takut.”
“Memukul itu perbuatan tidak terpuji, itu akan mendekatkan saya pada dosa.”
“Saya yang tanggung.”
“Tidak ada dosa ditanggung orang lain. Jangan ngawur. Anda lebih tua dari saya. Apa kata orang kalau saya mengajar Anda dengan cara memukuli. Bacalah lagi, semua akan dilalui dengan baik. Asal Anda lebih tenang,” bujuk Ustaz Alung sambil menyuguhkan segelas air untuk laki-laki itu.
“Masih ada hari esok. Saya akan menunggu di sini dan menemanimu, hingga bisa.”
“Besok akan berbeda, Ustaz. Semangat ini sungguh berharga bagiku. Percayalah, saya sudah sering berharap pada hari esok, tapi selalu gagal. Lalu saya menjadi pengkhianat janji sendiri. Jangan biarkan itu terjadi lagi, Ustaz. Ayolah, saya mohon,”
lelaki setengah baya itu mendesak.
“Pukul saya dengan rotan ini setiap saya salah membaca.” Bujuknya kemudian sambil menyodorkan rotan yang sudah dipersiapkannya. Ustaz Alung menatap laki-laki itu. Raut wajahnya penuh ambisi. Mereka saling pandang. Lalu, laki-laki itu mengangguk sebagai isyarat keyakinan atas permintaannya. Tapi, Ustaz Alung masih dengan pendiriannya.
“Kita cari cara lain selain cara ini,” pintanya.
“Tidak ada cara lain Ustaz, selain cara ini. Saya sudah pernah mencoba segala cara sebelum ini. Keh Suqi sudah meninggal beberapa tahun yang lalu, demikian Ibu yang begitu sabar menuntunku untuk belajar. Ayolah Ustaz, waktu terus berjalan. Saya tidak mau digilas waktu tanpa mendapatkan apa-apa.”
Sunyi.
“Bukankah Anda sudah pernah membaca hingga lancar. Anda tidak akan kesulitan melakukannya lagi. Anda pasti bisa, cobalah untuk bersabar,” Ustaz Alung terus menolak.
“Sudah sekian waktu saya bersabar. Sekian waktu pula saya habiskan. Berkali-kali saya mencoba untuk membaca. Tapi hasilnya selalu mengecewakan, setiap dicoba, bayang-bayang gelap itu menghalang pandang. Seperti menutup harakat dan ayat-ayat. Bayang-bayang itu selalu muncul setiap kali saya membaca, Ustaz. Barangkali dengan pecutan dan rasa sakit itu, bayang-bayang gelap itu buyar dan membukakan mata hati yang sekian lama dipenuhi keburukan.”
“Ayolah Ustaz, saya mohon. Sungguh saya ihklas dan rela dipukul berkali-kali untuk bisa membaca kembali,” desak lelaki itu.
“Baiklah, tapi jangan salahkan saya jika ada apa-apa.”
“Tidak Ustaz, saya sudah siap dengan segala risikonya,” tegasnya.
Lalu, Ustaz Alung menyuruh laki-laki itu membaca. Perlahan dia membacanya penuh semangat. Tak sampai satu baris, rotan itu melesat ke tubuhnya. Laki-laki berhenti sambil menyimak penjelasan Ustaz itu, kemudian dilanjutkan lagi.
“Salah…”
“Tass…!” Rotan melesat lagi ke tubuhnya.
“Salah!!!” Pukulan itu berlangsung setiap ada kesalahan. Ustaz Alung sembari melepas pukulan, air matanya mengalir bersama seduan-seduan yang tertahan. Sedangkan, laki-laki itu masih dengan semangatnya yang merah seperti tubuhnya yang memar.
Malam sunyi, angin tak berembus, yang terdengar hanya suara pukulan, desahan, dan ayat-ayat suci diikuti dengan tangisan dan seduhan yang tertahan. (*)
Jejak Imaji, 2013-2015
Sule Subaweh adalah nama pena dari Suliman, puisi, cerpen dan artikel, dimuat di koran lokal dan nasional. Bekerja di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) dan Aktif di Komunitas Jejak Imaji.
Leave a Reply