Cerpen S Saiful Rahim (Republika, 14 Juni 2015)

Ketika Ayah Tiada ilustrasi Rendra Purnama
Ketika dengan mata yang berair Bunda mengatakan Ayah sudah tiada, aku masih melihat sosoknya terbaring damai di depan kami. Tak ada yang hilang dari diri Ayah. Senyumnya masih yang dulu juga. Melekat pada bibir yang ditumbuhi kumis yang dicukur dengan tidak tertib. Tidak setiap hari. Tidak seperti janggutnya yang tumbuh terpelihara dengan baik. Dengan warna yang putih merata dan berkilau bak berminyak.
Aku tidak tahu apakah matanya yang selalu bersinar itu masih tetap bersinar? Atau telah redup sebagaimana lazimnya mata orang yang sudah tiada. Ada hasrat kecil, semacam rasa penasaran di hati, yang bagaikan mendorong tanganku untuk membuka kelopak mata yang tertutup tersebut. Tapi, aku tidak sampai hati melakukannya. Tidak berani. Maka, kubiarkan saja rasa penasaran itu menggelitik.
Dua tahun yang lalu Ayah mengeluh bahwa penglihatannya tidak seterang dulu lagi. Setelah dengan susah payah aku dan Bunda membujuk, baru Ayah bersedia kubawa ke dokter mata untuk memeriksa gangguan penglihatan tersebut.
Ayah memilih dokter mata yang paling masyhur di kota kami. Bukan lantaran ingin berbangga-bangga, tapi karena Ayah berpegang teguh pada hadis Nabi; bila suatu masalah tidak diserahkan kepada ahlinya, tunggu saja petaka yang akan menimpa. Setelah memeriksa mata Ayah dengan seksama, dengan mimik yang kecewa dokter itu menyampaikan hasil analisisnya.
“Tidak banyak yang bisa diharapkan bila mata Pak Kiai tidak dioperasi. Pak Kiai hanya perlu waktu tiga hari untuk beristirahat, setelah itu insya Allah mata Bapak akan kembali pulih seperti sedia kala,” kata dokter itu. Tidak lagi dengan mimik yang kecewa, tapi dengan iringan senyum yang meyakinkan.
Ayah tersenyum lebih sejuk daripada senyum dokter itu.
“Apakah saya akan buta?” tanya Ayah tanpa waswas.
“Insya Allah tidak, bila Pak Kiai berkenan mengizinkan saya mengoperasi mata Bapak,” jawab dokter, yakin dengan teorinya.
“Bila kita biarkan ciptaan Allah ini berproses secara alamiah, berapa lama saya masih bisa memanfaatkan karunia ini?” tanya Ayah masih dengan senyum.
“Maaf, Pak Kiai. Hanya Allahlah yang tahu dengan tepat. Tapi, menurut perkiraan saya, berdasarkan ilmu yang saya pelajari, mata Bapak hanya bisa bertahan paling lama tiga tahun lagi.”
Tiba-tiba aku merasa ada yang tidak sedap dengan perasaanku ketika mendengar keterangan dokter spesialis tersebut. Aku merasa Ayah akan tidak bisa melihat. Tidak dapat kubayangkan ketika saat seperti itu benar-benar datang kepada Ayah kelak. Ayah yang selalu ingin mandiri, dan selalu cenderung menolak bantuan orang akan menjadi tanpa daksa. Akan dituntun ke mana-mana, atau akan meraba-raba di setiap langkahnya. Ah!
Bila berhadapan dengan Alquran memang tidak akan ada masalah. Ayah sangat hafal. Bukan hanya setiap ayat, bahkan setiap huruf Alquran pun Ayah tahu benar di mana letaknya. Ada pula beratus-ratus, bahkan mungkin lebih dari seribu, hadis yang dihafal di luar kepala.
Tapi, bagaimana dengan kitab-kitab kuning yang entah berapa banyak judul dan ragamnya? Rasanya tidak mungkin Ayah hafal semua. Tapi, menghadapi semua itu Ayah bersikap biasa saja. Tidak tampak rasa waswas sedikit pun. Bayangan kelam yang ada di benakku dan sangat menakutkan itu rupanya tidak ada di dalam pikiran Ayah.
“Kalau begitu, biarkanlah mata tua ini berproses sebagaimana adanya. Saya ingin ketika menghadap Allah kelak, seluruh titipan-Nya pada saya tidak ada yang diubah,” jawab Ayah ketika itu.
Dan, sampai Bunda mengatakan Ayah sudah tiada, mata itu utuh masih yang dulu. Tidak ada yang berubah. Hanya sekarang terpejam. Damai. Dan, aku ingin membukanya dengan tanganku, tetapi tidak kulakukan. Bahkan, dengan hatiku pun tidak.
***
Ketika Bunda mengatakan Ayah sudah tiada, aku masih melihat sosoknya terbaring damai di depan kami. Tidak ada yang hilang dari dirinya. Senyumnya masih senyum yang dulu juga. Senyum yang berganti tangis ketika di sebuah malam pada Ramadhan Ayah memergoki aku sedang berjudi.
Dia sedih sekali. Aku tidak tahu apakah hatinya luka? Tapi, kukira tidak. Setidak-tidaknya aku berharap tidak. Dia sedih sekali karena begitu banyak orang. Beratus-ratus orang. Beribu-ribu orang. Bahkan, mungkin berpuluh ribu orang mendengarkan nasihatnya yang semata-mata dipetik dari Alquran dan hadis, tetapi tidak diacuhkan oleh anak tertuanya sendiri.
Si sulung yang boleh jadi diharapkan akan dapat meneruskan langkahnya. Anak yang masih diberi makan, diberi pakaian, dan dibiarkan berteduh di bawah atap rumahnya. Ayah tidak akan menangis bila bukan karena rasa kecewa yang tidak tertanggungkan. Sebelum itu, aku tidak pernah melihat Ayah menangis. Sesudahnya pun tidak. Atau, mungkinkah tangis itu disembunyikan dari mataku?
Ketika Ayah ditangkap serdadu Belanda di Cikampek, digebuki, dijemur, dan disekap di dalam sel yang busuk, Ayah tidak menangis. Aku juga tidak menangis. Karena, aku belum tahu seharusnya saat itu, atau saat seperti itu, aku menangis. Aku masih terlalu kecil saat itu. Jadi, hanya Bundalah yang tidak bisa menahan air mata.
Malam itu, malam ketika aku dipergoki berjudi itu, Ayah tidak marah. Tidak memaki-maki, apalagi memukul atau menamparku. Dia hanya mengiringi aku pulang sambil menangis. Tetapi, karena itu udara menjelang dini yang dingin, terasa panas membakarku.
Kurasa juga membakar diri Ayah, dan terutama membakar matanya yang melihat aku sedang membanting kartu domino dengan kemahiran seorang profesional sejati. Dan kemudian, mata itu menangis sampai kami tiba di rumah.
Paginya, seperti biasa kami minum teh bersama. Ayah, Bunda, aku, dan dua orang adikku. Hanya bila biasanya aku duduk di sebelah Ayah, pagi itu adikku yang duduk di sana. Aku telah lebih dulu memilih duduk di sebelah Bunda. Bahkan, bila tidak berulang kali dipanggil Bunda, aku tidak berani berkumpul bersama.
Biasanya, setelah acara minum teh bersama, Ayah masuk ke kamar kerjanya dan menenggelamkan diri dengan membaca kitab-kitabnya yang banyak. Tetapi pagi itu, Ayah menyuruh aku ikut ke kamarnya. Aku merasa kakiku lemas akibat rasa takut yang luar biasa. Tapi, setelah kami di dalam kamar Ayah hanya bersikap seperti biasa. Duduk di belakang meja kerjanya tanpa ada tanda-tanda kemarahan sedikit pun. Kemudian, Ayah menyuruh aku duduk di bangku yang ada di depannya. Di seberang meja kerja.
Setelah kami duduk berhadap, Ayah bertanya berapa banyak uang yang masih kumiliki. Ketika aku merogoh saku akan mengambil semua uangku yang ada, Ayah mencegah. Sambil menatap tepat ke biji mataku, Ayah berkata, kalau aku masih suka berjudi dan bisa menang terus-terusan, berjudilah terus sampai kaya raya. Tak usah memikirkan dosa dan neraka. Karena itu semua urusan Allah. Hak prerogatif Dia. Bila seorang penjudi, koruptor, bahkan pembunuh, Allah masukkan ke dalam surga, siapa yang mampu mencegah? Dan sebaliknya, bila orang yang alim dan taat beribadah Dia masukkan ke neraka, mau komplain ke mana dan kepada siapa?
Tapi, bila judi tidak menjamin orang jadi kaya raya, alangkah bodohnya mereka yang mengorbankan nikmatnya tidur, teraturnya makan, dan berpakaian untuk suatu kegiatan yang merugikan diri sendiri, yang bernama judi itu. Ayah menyuruh aku memikirkan dan mencamkan itu.
Sejak mendengar nasihat Ayah itu, sampai Bunda berkata Ayah telah tiada, aku tidak pernah berjudi lagi. Mendekatinya saja pun tidak. Bukan semata-mata lantaran takut dibakar di neraka, tetapi karena nalar dan kesadaranku berkata judi adalah pekerjaan yang sia-sia. Yang dilakukan oleh orang-orang yang tidak mampu melawan nafsu buruknya.
***
Beberapa hari sebelum Bunda mengatakan Ayah sudah tiada, Ayah mengeluhkan badannya yang terasa tidak sehat. Dari dokter yang memeriksanya, selain memperoleh resep obat, Ayah juga mendapat nasihat agar berhati-hati terhadap makanan. Tekanan darahnya tinggi. Karena itu, kepala Ayah sering kali terserang pening yang amat sangat. Dokter melarang ayah makan daging dan garam. Ayah mengeluh, tapi patuh.
Lalu, sampailah malam itu. Ketika akan berwudhu untuk salat Isya, Ayah oleng. Aku menawarkan diri untuk menuntunnya ke kamar mandi, tetapi Ayah menolak. Ayah memang selalu ingin mandiri. Dengan isyarat, Bunda menyuruh aku mengikuti Ayah ke kamar mandi. Ayah tampak tidak suka, tapi diam saja.
Dan, seperti biasa, setelah masuk ke kamar mandi, pintu pun dikunci. Aku hanya bisa menunggu di luar. Mendengar Ayah buang air kecil, berkumur-kumur, dan melaksanakan tertib wudhu. Mungkin ketika akan mengangkat kaki untuk membasuhnya terdengar Ayah jatuh. Kemudian hening. Hanya kucuran air dari keran yang bersuara.
Tiba-tiba Bunda berteriak histeris dan menyuruh aku mendobrak pintu kamar mandi. Di dalam kudapati Ayah terkapar. Menahan nyeri, tapi diam. Bersama Bunda dan adik, Ayah kami gotong ke kamar dan kami baringkan di tempat tidur. Dokter yang kami panggil, setelah memeriksa seperlunya, menyuruh membawa Ayah ke rumah sakit.
Tetapi sejak itu, Ayah tidak pernah sadar. Setelah hampir sepekan Ayah tidak pernah sadar lagi, aku yang sedang di rumah mendapat telepon dari Bunda yang sedang berada di rumah sakit. Melalui telepon itulah pertama kali aku mendengar Bunda berkata Ayah telah tiada. (*)
Rawamangun, 28 Oktober 2013
S Saiful Rahim. Selain cerpen, juga menulis puisi, drama, esai dan kritik sastra, film, dan musik. Telah menulis 18 buku dan sebuah skenarionya sudah difilmkan.
Leave a Reply