Cerpen Harris Effendi Thahar (Kompas, 5 Juli 2015)
Belum selesai jamaah berzikir sehabis shalat subuh, terdengar garin masjid meraih mikrofon. Hati Wen sudah berdetak, ini pasti pemberitahuan bahwa adawarga yang meninggal. Benar saja, Haji Jamal pensiunan Kantor Pajak, meninggal dini hari tadi di Rumah Sakit Besar. Kabarnya, sebelum masuk Rumah Sakit Besar seminggu sebelumnya, Haji Jamal terjatuh di kamar mandi sehabis buang air besar.
Memang, beberapa hari belakangan Haji Jamal tidak kelihatan ikut shalat magrib dan subuh berjamaah di masjid. Biasanya, kalau Wen duluan datang ke masjid, ia mendatangi dan menyalami Wen. Gampang menandainya, karena kebiasaan Haji Jamal memakai peci hitam bersulam benang emas, seperti biasa dipakai engku-engku datuk di tanah Minang serta berbaju koko berenda-renda. Hanya dia yang memakai peci seperti itu. Selain itu, Haji Jamal selalu memakai parfum khas Arab tiap datang ke masjid. Wen suka shalat di samping dia, ketimbang di samping Bang Malo, penjual ayam potong, berkumis ubanan yang bau tembakau dan apak asap rokok. Wen juga tidak suka shalat di samping lelaki muda penjual pulsa telepon yang kebiasaannya tiap sebentar mendehem dan sendawa seperti habis menegak tuak meski sedang shalat.
Haji Jamal orang baik, setidaknya di mata Wen. Dia selalu memberi kabar bahwa dia sudah baca tulisan Wen di koran lokal dan dia senang, lalu menyalami Wen. Tempo-tempo Wen menulis kolom dan kadang-kadang menulis komentar. Sejak Wen pensiun, Wen semakin gencar menulis untuk koran lokal, sekadar untuk menangkal atau menunda datangnya pikun, andaikata usia Wen dipanjangkan Allah. Kata orang, kalau usia senja tidak dibarengi dengan kegiatan membaca, kalau dapat sekalian menulis, bakal cepat pikun. Sejak muda Wen memang terbiasa menulis di koran-koran lokal sekadar menyalurkan hobi. Hobi itulah yang dilanjutkannya lagi setelah pensiun.
Belum lagi seminggu, Senin sebelumnya, Ustad Qamat pula yang meninggal. Beliau sering menjadi imam pengganti shalat subuh di masjid kalau imam tetap berhalangan. Akhir-akhir ini imam tetap memang sibuk setelah diangkat menjadi salah seorang anggota MUI. Ustad Qamat belum tua benar, tapi konon mengidap tekanan darah tinggi. Menurut kabar yang berkembang, Ustad Qamat terjatuh di kamar mandi rumah istri mudanya, lalu pingsan dan dilarikan ke Rumah Sakit Besar. Sampai meninggal dua hari kemudian, dia tak sadar-sadarkan diri.
Sewaktu melayat di rumah duka Ustad Qamat, Wen duduk bersebelahan dengan Haji Jamal. Malah terlibat percakapan serius mengenai ajal manusia. Satu kalimat Haji Jamal yang masih terngiang di telinga Wen waktu di rumah duka itu adalah, “Inilah rahasia Allah. Siapa yang tahu, tak berapa lama lagi, salah seorang di antara kita yang hadir ini menyusul Ustad Qamat. Entah besok entah lusa…”
“Ya, Ji. Allah yang tahu,” balas Wen.
Mengingat itu, Wen jadi bergidik. Sepertinya Haji Jamal meramalkan sendiri hari kematiannya. Kata orang, biasanya jika seseorang sudah dekat ajalnya, akan keluarlah ucapan-ucapan yang mengarah ke pintu kubur dari mulutnya. Kadang-kadang diikuti oleh tingkah laku aneh yang tidak biasa dilakukannya.
Wen masih ingat, setahun lalu, subuh pertama Wen shalat di masjid yang cuma tak sampai tiga ratus meter dari rumahnya itu, Wen merasa asing. Masjid itu terletak di antara dua kompleks perumahan yang dibangun bersamaan dengan kepindahan Wen ke salah satu kompleks itu dulu, lebih tiga puluh tahun lalu. Bukan apa-apa, hanya karena selama ini Wen khawatir terlambat karena terjebak macet pergi ke kantor, maka shalat subuh Wen selesaikan saja di rumah. Setelah sarapan, cepat-cepat Wen berangkat ke tempat kerja meski masih pagi sekali. Begitu juga sore hari, Wen sampai di rumah hampir selalu bertepatan dengan waktu magrib. Barulah ketika masa pensiun itu datang Wen berusaha menjadi jamaah tetap masjid Almakmur, terutama untuk waktu magrib, isya, dan subuh.
Masjid Almakmur sepertinya ditakdirkan untuk orang-orang pensiunan. Tidak banyak memang, lebih kurang dua puluhan untuk jamaah harian laki-laki. Jamaah perempuan lebih kurang sama karena sebagian besar ikut suami ke masjid. Oleh karena itu, Wen hafal betul wajah-wajah jamaah harian masjid Almakmur.
Sebutlah Pak Mul, bendaharawan masjid, paling gampang menemuinya. Sebelum waktu shalat masuk, biasanya ia telah duduk di samping tiang besar sayap kanan masjid sambil bersandar. Pak Mul selalu berbaju koko putih dan berpeci putih menandakan bahwa ia sudah berhaji. Sepengetahuan Wen dia tak pernah pakai batik. Batik panjang lengan selalu dipakai mantan Ketua RT yang juga pensiunan kepala tata usaha sebuah SMA ternama. Ia selalu membawa sajadah kecil berwarna biru dan setia mengambil tempat di belakang imam.
Akan tetapi, Pak RT ini, begitu ia dipanggil, tidak bersedia disuruh menjadi imam pengganti meskipun ia berada tepat di belakang sajadah imam. Biasanya, orang yang tepat berdiri di belakang imam harus bersedia menggantikan imam apabila sewaktu-waktu diperlukan. Tidak demikian halnya Pak RT, meski ia tetap berdiri di situ, di belakang imam. Seolah-olah tempat itu sudah menjadi miliknya sejak dulu kala. Jamaah lain seperti tidak mau mengusiknya kalau dia datang.
Lain lagi Profesor Kuman, wajahnya selalu cerah, klimis dan murah senyum. Senyumnya selalu mengambang seakan memamerkan kerapian gigi tiruannya yang putih kekuning-kuningan. Meski usianya sudah di atas tujuh puluh, pecinya selalu modis, berganti-ganti setiap hari. Kadang memakai peci Pakistan, kadang seperti orang Arab, kadang memakai peci hitam ala Soekarno, dan ada kalanya memakai peci Makassar yang pernah dipromosikan Gus Dur sewaktu menjadi presiden. Profesor Kuman inilah orang yang paling rajin berjabat tangan. Begitu dia masuk masjid, langsung menyalami setiap orang, tua-muda, besar-kecil, tidak peduli anak-anak balita. Begitu juga kalau dia mau keluar masjid, juga bersalaman dulu hampir ke setiap orang. Wen tahu betul, begitu melihat Profesor Kuman datang, ia langsung menyodorkan tangan kanannya, bersalaman, lalu bertanya sedikit mengenai nama batu akik yang sedang dipakai Profesor Kuman di jari manisnya. Biasanya dia mengganti setiap kali ke masjid cincin akiknya yang aneka warna. Menurut dia, semua itu merupakan kiriman anaknya yang bekerja di sebuah kota di Kalimantan.
“Apa ada cincin akik yang Prof kurang suka, saya bersedia menerimanya,” kata Wen merayu.
“Oh, jangan begitulah Pak Wen. Jika Pak Wen mau, besok setelah shalat Jumat saya kasih Pak Wen. Cincin akik saya banyak. Ha-ha-ha…. Alhamdulillah.”
Kamis malam, sebelum tidur Wen ceritakan juga pada istrinya bahwa kalau Profesor Kuman tidak lupa, sehabis shalat Jumat esok ia akan mendapatkan cincin akik. Akan tetapi, setelah selesai shalat sunat sehabis shalat Jumat, Wen tidak melihat Profesor Kuman. Padahal, malamnya Wen bermimpi menerima segenggam cincin akik dari Profesor Kuman di halaman masjid. Akhirnya Wen menafsirkan sendiri mimpinya bahwa dia tidak akan pernah mendapatkan cincin akik dari lelaki tua itu. Tapi, apakah dia sakit? Kabar itulah yang belum didapat Wen.
Barulah selesai shalat magrib Wen dapat cerita bahwa Profesor Kuman masuk rumah sakit akibat terjatuh di kamar mandi. Konon, Profesor Kuman terpeleset sewaktu mau mengeruk lubang WC mengambil cincin akiknya yang jatuh ke situ. Kemungkinan besar lantai kamar mandinya licin karena lelehan sabun cair yang tumpah. Tidak ada yang tahu persis bagaimana peristiwa itu sesungguhnya, karena istrinya yang juga sudah tua juga baru tahu setelah ia ingin menggunakan WC, tiba-tiba melihat suaminya sudah tergeletak.
Sambil mengikat tali sepatu Wen berpikir-pikir tentang Profesor Kuman yang kini sedang dirawat di ICU Rumah Sakit Besar. Wen meneguhkan hatinya untuk jalan kaki tiga kilometer Sabtu pagi itu. Olahraga jalan kaki itu telah rutin dilakukannya tiga kali seminggu kalau tidak hujan dan kalau tidak sedang sakit. Menurut Wen, hanya jalan kakilah olahraga yang paling murah agar tetap sehat dan bersemangat. Sejak pensiun, Wen selalu menambah butir doanya dengan meminta disehatkan dan dijauhkan dari segala macam penyakit. Tentulah tidak serta merta dikabulkan Tuhan kalau tidak diiringi dengan usaha, antara lain dengan berolahraga dan tidak merokok.
***
“Apa yang bapak pikirkan?”
“Banyak. Orang setua saya tentu banyak pula yang dipikirkan.”
“Bukan berarti saya melarang Bapak berpikir. Tapi, janganlah yang berat-berat, yang bisa menyebabkan Bapak stres.”
Wen hanya tersenyum kecut sambil berpikir-pikir, “Hal apa ya, yang menyebabkan saya berpikir hingga stres?”
“Bapak kebanyakan nonton berita televisi ya?”
“Biasalah dokter, namanya orang pensiun.”
“Bapak suka berita politik apa gosip?”
“Kalau politik bagaimana?”
“Nah. Itu!”
“Kenapa dokter?”
“Saya saja yang masih muda bisa stres menyimak berita politik sekarang. Apalagi Bapak? Soal KPK dikriminalisasi saja, saya stres.”
“Sama dok. Tapi, bukankah itu normal?”
“Bapak harus segera periksa tekanan darah kalau sudah merasa tidak enak badan. Ini, kalau sudah 180 ini, Bapak harus hati-hati. Jangan dibiarkan,” kata dokter Askes itu sambil memanggil pasien giliran berikutnya.
***
Baru saja shalat magrib selesai, garin masjid terdengar meraih mikrofon. Hati Wen sudah berdetak, ini pasti pemberitahuan bahwa ada warga yang meninggal. Jangan-jangan jamaah tetap masjid. Memang, seperti yang diduga Wen, Profesor Kuman meninggal senja tadi. Semua jamaah magrib diminta untuk melayat serentak ke rumah duka yang tidak seberapa jauh dari masjid.
Di rumah duka, didorong rasa penasaran, Wen sempat nyelonong memeriksa kamar mandi Profesor Kuman. Kamar mandi itu berlantai keramik putih bersih. Wen penasaran, lalu masuk dan mencoba menginjak lantainya yang bersih itu dengan debaran jantung seperti gendang. Ternyata tidak licin. Wen mencoba membuka penutup kloset, spontan saja memeriksa kalau-kalau masih ada cincin akik Profesor Kuman seperti yang diberitakan di dalamnya. Ketika Wen secara spontan mencoba memasukkan tangan kirinya ke dalam gua kloset itu, pintu kamar mandi itu berderit, seseorang membukanya. Wen kaget, tidak menduga akan dipergoki, ditimpa rasa sesal mengapa tidak mengunci pintu dari dalam. Dalam keadaan kaget itulah ia terlonjak dan terpeleset jatuh. Wen merasa pusing sepusing-pusingnya, tertelentang, sementara orang yang tadi membuka pintu dan melihat ada orang, juga kaget dan cepat-cepat pergi.
Wen merasa melayang-layang dan berusaha berdiri. Akan tetapi semua anggota tubuhnya seperti tidak mau digerakkan. Lidahnya pun kelu. Tiba-tiba pandangannya gelap dan akhirnya tersadar setelah berada di kamar rawat inap Rumah Sakit Besar.
Begitu tersadar, kata pertama yang keluar dari mulut Wen adalah, “kamar mandi.”
“Kenapa kamar mandi?” tanya istrinya.
“Kamar mandi kita harus dipasang pegangan di dinding-dindingnya,” katanya terbata-bata.
“Pegangan apa?”
“Besi pegangan, tempat berpegang agar tidak jatuh…,” kata Wen.
Setelah menyampaikan pesan itu kepada istrinya, Wen tidak berkata-kata lagi hingga dinyatakan meninggal seminggu setelah percakapan itu.
Ketika jasad Wen dimandikan di rumahnya, pemasangan pegangan tangan di kamar mandi Wen belum selesai dikerjakan tukang. (*)
Harris Effendi Thahar. Lahir di Tembilahan Riau, 4 Januari 1950. Bekerja sebagai profesor di Universitas Negeri Padang. Sejumlah cerpennya termuat dalam beberapa antologi Cerpen Pilihan Kompas. Dua buku kumpulan cerpennya Si Padang dan Anjing Bagus diterbitkan Penerbit Buku Kompas.
Budi Rudiana
secara materi, cerpen ini datar saja. tidak seperti cerpen-cerpen lain yang biasa dihasillan harris. tapi seperti biasa, tulisan harris mengalir jernih. enak diikuti.
Pak Shodiq
Menarik. Saya dapat fiilnya, mungkin karena saya muslim. Deskripsi tentang jamaah di masjid tersebut bisa saya bayangkan dengan baik. Meskipun, agak kurang suka dengan endingnya yang kurang suspense…
saerulzaman
semoga segala amal ibadahnya diterima disisi Allah SWT,,
Dian
Datar tapi tetap ada suprise di ujung nya… keren
fahmi
Yunik,, bisa jadi kisah mistis “akik keramat”
fahmi
Yunik,, bisa jadi cerita mistis “akik keramat”
fevi
ya ekspetasi ending yang saya baca tidak luar biasa seperti yang saya duga.tapi alur ceritanya bagus.
ryo
endingnya kurang logis menurut saya, bagaimana mungkin orang mati nenceritakan kisah hidupnya
Reza
Wasiatnya ternyata masalah kamar mandi. Mantep gan……
hil
mati..?
tidak ada kata “aku” didalam cerita.
Eka safriadi
Menarik,tapi saya tidak tahu apa id, ego,superego dari cerpen tersebut,ada yg bisa bantu