Cerpen Ahmad Sastra (Republika, 06 Desember 2015)
Gulita telah menyelimuti senja. Jarum jam hampir mendekati tengah malam. Tak ada suara, kecuali sesekali hembusan dinginnya angin malam menusuk kulit. Rahma belum juga beranjak dari kursi ruang tamu. Malam itu Rahma tak sanggup memejamkan mata, meski telah didera oleh rasa kantuk. Suasana kebatinan yang dirasakan sejak sore menyebabkan matanya tak kunjung mau diajak tidur. Seolah mata itu memahami betul apa yang sedang dirasakan oleh Rahma, ia hendak menemani kegalauan hatinya.
Sesekali Rahma beranjak ke kamar anak-anaknya. Ketiga anaknya sudah terlelap tidur. Saat melihat anak pertamanya, Wildan, yang kini telah duduk di bangku kelas 2 SMP, Rahma agak lama menatapnya. Wildan adalah anak teladan di sekolahnya. Dalam tidurnya, Wildan, tampak mirip sekali dengan wajah ayahnya, terutama matanya yang agak sipit dan badannya yang tegap dan berisi. Mas Anton, begitu Rahma biasa memanggil suami yang kini telah tiada. Sudah hampir lima tahun suaminya meninggal dunia setelah setahun menderita sakit komplikasi.
Mas Anton di mata Rahma adalah suami teladan yang pantas dibanggakan. Selain rajin bekerja sebagai manajer area sebuah pabrik peralatan listrik di daerah Bekasi, ia juga adalah suami yang rajin beribadah. Ada kenangan indah yang selalu diingat oleh Rahma saat Mas Anton masih hidup. Suaminya selalu membawakan oleh-oleh makanan untuk keluarga sepulang kerja. Bahkan dengan keterbatasan ilmu agamanya yang dimilikinya, ia menyempatkan mengisi pengajian keluarga sepekan sekali.
Rahma tidak pernah mengira jika akan ditinggal suami yang sangat dia sayangi secepat itu. Padahal saat itu anak ketiganya, Nabila, baru saja berumur setahun. Sementara anak keduanya, Fatimah, baru berumur tiga tahun. Hanya Wildan yang sadar akan kematian ayah mereka. Tapi takdir berbicara lain, Allah Sang Pemilik jiwa manusia lebih awal mengambilnya kembali.
Sejak itulah Rahma mulai bekerja sebagai guru untuk membiayai ketiga anaknya. Rahma sering membatin, andai Mas Anton masih hidup, tentu ia tidak harus bekerja keluar rumah, cukup mendidik anak-anaknya di rumah. Sebab fokus mendidik anak-anak di rumah sudah menjadi keinginan kuat setelah menikah. Mas Anton pun setuju saat itu.
Tak kuasa, air mata Rahma tiba-tiba membasahi pipinya. Menjadi single parent bagi Rahma bukanlah keinginannya. Sebab selain anak tunggal, kedua orang tua Rahma juga telah lama meninggalkan dirinya. Tak ada tempat untuk mengadu. Kedua mertuanya yang tinggal di luar Jawa menjadikan Rahma mengalami kesulitan berkomunikasi. Selain jauh, keduanya juga sering sakit-sakitan. Tak tega rasanya Rahma mencurahkan isi hatinya kepada mereka.
Saat sepi mendera, saat batin meronta, hanya air mata yang bisa mewakili suara batinnya. Bahkan mulut pun terasa terkunci. Rahma segera mengusap air matanya, khawatir Wildan terbangun dan melihatnya. Rahma tak ingin anak-anaknya melihat dirinya menangis. Ia selalu berusaha menampakkan senyum ceria di hadapan ketiga buah hatinya itu. Meski hatinya kadang menyimpan kelelahan.
***
Setelah melaksanakan shalat Subuh berjamaah di rumah, Wildan menjadi imam mengantikan ayahnya. Rahma mendapatkan secercah hiburan dan kebahagiaan. Tak sia-sia Mas Anton mendidik Wildan dengan ilmu-ilmu agama. Beranjak remaja, Wildan tumbuh menjadi anak saleh yang sudah mampu menjadi imam dan menjadi teladan bagi adik- adiknya.
Sebelum berangkat sekolah, Wildan selalu membantu adik-adiknya menyiapkan peralatan sekolah, mendampingi belajar, bahkan menyiapkan hidangan masakan Rahma untuk sarapan adik-adiknya. Setelah itu berangkat sekolah dengan Nabila yang kebetulan satu lokasi beda sekolah, tidak jauh dari rumahnya.
Sementara Rahma membawa Fatimah ke sekolah SD tempat Rahma mengajar.
Sejak ditinggal ayahnya, Wildan memang berjanji akan melanjutkan peran ayahnya untuk menjaga adik-adiknya dan bahkan akan menjadi imam di rumahnya. Kesalehan Wildan menjadi hiburan hati Rahma. Ia berharap Wildan akan menjadi tumpuan hidup keluarga.
Jam sekolah menunjukkan pukul 09.00 WIB, saatnya para siswa istirahat. Sambil duduk di mushala sekolah usai shalat Dhuha, Rahma hendak mengambil Alquran untuk tilawah. Tanpa sengaja tangannya memegang amplop hijau dalam tasnya. Perlahan Rahma perhatikan amplop surat itu. Sederet kalimat tertulis rapi, “Untuk Umi tercinta, dari anakmu Wildan”.
Rahma tidak langsung membuka amplop itu. Ada pertanyaan besar menyergap batinnya. Ada apa gerangan Wildan menulis surat yang tidak pernah dia lakukan sebelumnya. Sebab jika ada masalah apa pun, Wildan biasanya langsung menyampaikan kepada dirinya. Setelah mushala sepi, perlahan Rahma membuka amplop hijau dari Wildan.
Salam untuk Umi yang cantik dan baik hati
Dari anak-anakmu : Bang Wildan, Nabila dan Fatimah
Kami sayang Umi karena Allah………
Maaf ya Umi kalau surat ini mengejutkan Umi. Tapi karena ini penting, Bang Wildan harus ungkapkan lewat surat, biar Umi bisa membaca dan merenungkan. Tapi Umi jangan sedih dan tersinggung ya, janji ya Umi.
Sebenarnya Bang Wildan udah tahu Umi sering menangis di malam hari. Kadang Bang Wildan pura-pura tidur. Tapi bang Wildan gak ngasih tahu adik-adik kok Umi. Mereka gak tahu kok, kalau Umi sering menangis. Kalau pagi mata Umi juga masih sering kelihatan merah karena menangis, tapi tertutupi oleh senyum Umi kok he he.
Jangan marah ya Umi. Mohon maaf jika bang Wildan salah ngomong. Menurut bang Wildan Umi sudah saatnya butuh teman hidup yang bisa menggantikan peran Abi. Sehebat-hebatnya Umi menyayangi dan mendidik kami, tapi Umi juga membutuhkan orang yang bisa melindungi Umi dan bisa dijadikan sebagai tempat mengadu saat Umi menghadapi masalah.
Selain itu Nabila sering menangis karena sering mendengar cerita temen-temen sekolahnya tentang ayah-ayah mereka. Nabila baru sadar kalau Abi pergi jauh, kata Umi, berarti telah meninggal dan tidak akan pernah kembali lagi. Nabila ingin merasakan senangnya punya ayah seperti teman-temannya. Maaf ya Umi, kalau membuat Umi jadi sedih. Makasih untuk kesabaran Umi dalam mendidik dan menemani kami selama ini……
Bang Wildan cuma minta satu syarat: Umi menikah lagi dengan laki-laki yang sayang sama Umi dan kami melebihi sayangnya Abi kepada kami. Biar gak ada air mata lagi di malam hari…….
Maaf ya Umi………
Kami yang menyayangi Umi karena Allah
Bang Wildan, Nabila dan Fatimah
Dengan agak gemetar surat yang sudah basah oleh air mata itu Rahma lipat dan dimasukkan ke dalam tas. Badan terasa melayang, batin terasa hampa. Rahma mulai membatin, jangan-jangan Wildan sudah tahu kalau ada laki-laki yang pernah menanyakan dirinya. Sebab sebulan yang lalu, sahabat baiknya di bangku kuliah yang kini telah lulus S-3 di Al-Azhar Mesir pernah menelepon dirinya dan berniat untuk menikahinya.
Ruslan, sahabat yang cerdas dan ahli agama sibuk melanjutkan studi tafsir di Mesir hingga meraih gelar doktor sampai lupa menikah demi cita-cita untuk menjadi ahli tafsir. Ruslan adalah lelaki yang sangat saleh dan memiliki banyak kelebihan, bahkan lebih baik dari Mas Anton dalam banyak hal.
Sebagai sahabat baik, Rahma sangat paham sosok Ruslan. Dari kepribadiannya, dialah suami ideal bagi seorang istri. Buktinya, sejak di bangku kuliah dulu, dia telah menjadi bahan perbincangan para mahasiswi. Meski berasal dari keluarga kaya, Ruslan tetap menjadi mahasiswa yang santun dan sederhana.
Sejak semester kelima Ruslan telah hafal Alquran 30 juz, hingga mendapat beasiswa melanjutkan S-2 dan S-3 bidang tafsir di Mesir dari Kedutaan Mesir di Indonesia. Meski memiliki penampilan yang ideal sebagai seorang laki-laki, Ruslan tetap mampu menjaga pergaulan, rendah hati dan santun. Bagi Rahma, sosok Ruslan saat itu bukanlah padanan dirinya yang merupakan mahasiswi biasa dan berasal dari keluarga tidak mampu. Lamunan Rahma pecah oleh bunyi bel masuk kelas.
***
Malam kembali menjelang. Jarum jam telah menunjukkan pukul 22.45 WIB.
Anak-anak sudah beranjak tidur. Setelah dijanjikan bahwa besok pagi Rahma akan memberikan jawaban permintaan Wildan untuk menikah lagi, Wildan baru mau beranjak tidur. Waktu tinggal 15 menit untuk sampai jam 23.00. Jam sebelas malam adalah batas akhir bagi Rahma untuk memberikan jawaban niat baik Ruslan untuk menikahi dirinya. Detak jantung Rahma berdegup seiring detak jam dinding di kamarnya, bahkan lebih cepat lagi. Perlahan Rahma mengambil handphone dan mulai menulis jawaban untuk Ruslan…
Salam Ruslan
Semoga Allah selalu memberikan kebaikan
Sungguh tak pernah saya duga, jika setelah 20 tahun kita tak pernah ketemu lagi sejak lulus kuliah di Bandung, Ruslan muncul dan mengajak saya menikah. Sebab di antara kita tidak pernah ada komunikasi khusus sejak di kampus, selain hanya sebagai teman sekelas. Hanya itu saja. Namun saya sangat menghargai niat baik Ruslan untuk menikahi saya karena Allah. Sebagaimana SMS Ruslan sebulan yang lalu.
Setelah saya pertimbangkan dengan matang, mohon maaf jika saya memilih tetap bertahan demi malaikat-malaikat saya di rumah. Semoga Ruslan mendapat pasangan yang lebih baik.
Sahabat lamamu
Rahma Umi Wildan
Rahma segera menonaktifkan HP-nya, tanpa menunggu jawaban Ruslan. Perempuan yang biasa dipanggil Umi Wildan itu tak sabar ingin memberikan jawaban kepada Wildan esok pagi bahwa dirinya akan tetap mendidik anak-anak meski harus sendirian dan akan mengantarkan cita-cita Wildan untuk menjadi ahli tafsir dan Imam Masjid al-Haram, sebagaimana pernah diceritakan kepadanya. “Semoga Wildan bisa segera menyelesaikan hafalan Alquran yang tinggal dua juz, semoga kelak menjadi ahli tafsir sekaligus Imam Masjid al-Haram melebihi sahabatku Ruslan, kabulkan doa kami ya Allah,” batinnya.
Rahma terlelap tidur dengan tersenyum di bibirnya, entah mimpi apa …. (*)
DR- Ahmad Sastra. Peminat sastra Islam, Ketua Forum Lingkar Pena Bogor Raya tahun 2000. Dosen literasi di Pesantren Sarjana dan Pascasarjana Ulil Al Baab Bogor. Telah menulis lebih dari 20 buku fiksi dan nonfiksi.
Leave a Reply