Cerpen Susana Nisa (Republika, 08 November 2015)
Cinta yang agung adalah ketika kita masih setia menunggunya dengan menitikkan airmata meski kita sadar bahwa dia takkan pernah kembali untuk selamanya.
Setiap senja aku selalu melihatnya duduk di sana dengan baju yang sama dan setangkai bunga tulip putih di tangannya. Perempuan itu selalu memandang jauh ke tengah laut lepas, seolah menanti seseorang yang tak jua kunjung tiba.
Ia tak peduli deburan ombak yang berkejaran di pantai dan sisa-sisa riak kecil menjilati kaki telanjangnya. Zubaida, itulah namanya. Seorang perempuan yang tak pernah tergerus nilai-nilai modernisasi zaman. Tubuhnya masih sintal dan berisi pada usia yang lebih dari separuh abad.
Gurat-gurat kecantikan masa muda masih tampak di wajahnya yang kini terlihat muram dan kusut. Ia selalu mengenakan kebaya dan jarik sidomukti, lengkap dengan sanggul yang dihias cucuk mentul. Khas tipikal wanita Jawa tulen yang tak mungkin ditemui pada abad serba komputer ini. Aku tak seberapa paham dengan kehidupannya dan mengapa selalu datang ke pantai ini setiap menjelang senja.
Yang aku tahu, saat pertama kali melihatnya duduk di atas batang pohon tumbang di pantai itu sebulan yang lalu, aku merasa ada sebuah tarikan hebat yang membuatku ingin mengetahui siapa gerangan perempuan itu. Naluriku berkata, ada kisah istimewa di balik kebisuannya memandang kosong ke tengah samudra. Adalah Pak Syarif, induk semang di mana rumah beliau menjadi tempatku menginap, selama kurun waktu dua bulan terakhir pengerjaan skripsiku, yang menceritakan semua kisah itu.
***
Kesunyian berlalu beriringan bersama embusan angin. Melewati lorong waktu, bersama sejarah yang tak mungkin diputar kembali. Langkahnya terus mengalun, menyenandungkan kidung-kidung penantian. Perih, menyayat kalbu laksana balada yang menguak luka tanpa ujung bagi perempuan itu. Hampir tiga dasawarsa lamanya, dia menunggu dan menepikan sejumput harapannya pada pasir yang basah.
Menggantungkan impian seraya menghirup aroma laut. Setia menemani camar-camar yang datang dan pergi mencari rezeki. Setia seperti cara ia menunggu Rahmadi, sang belahan jiwa yang kini entah di mana rimbanya. Namun, keyakinannya begitu kuat, suatu saat, entah kapan, lelaki itu akan datang dan membawakan seikat bunga tulip untuknya.
Seperti janji Rahmadi pada malam terakhir saat nasib membawanya pergi entah ke mana. Dan sejak saat itulah, Zubaida selalu pergi ke tepi pantai melabuhkan harapannya pada langit biru, pada karang yang berdiri kokoh mengadang gulungan ombak. Namun, malam mulai merambat dan kegelapan memaksanya untuk pulang. Mengumpulkan sisa-sisa asa yang masih terpendam untuk terus menanti separuh hatinya yang terampas oleh takdir.
Kerlip malam lampu mercusuar mengiringi langkah tertatihnya menembus pekat. Di atas sana, sepotong bulan menyembul malu-malu, tersapu awan tipis yang menutupinya. Di perempatan jalan, ia membeli pisang goreng dan ubi rebus pada seorang pedagang gorengan langganannya.
“Habis dari mana, Nyi?” tanya penjual tersebut.
“Dari pantai, Pak Syarif,” jawabnya seraya tersenyum.
Pak Syarif, penjual gorengan itu, mahfum karena mengerti kebiasaan Zubaida.
Setelah membayar, perempuan itu bergegas pulang. Sebuah rumah tua beradat joglo dengan halaman tertata rapi. Taman bunga tak seberapa luas menghampar. Tampak pagar apotek hidup berjejer teratur. Zubaida membuka pintu rumah. Terlihat seorang anak lelaki remaja tergolek pulas di ranjang kayu yang hanya beralaskan tikar. Ia melangkah ke dapur, kemudian menaruh gorengan yang dibelinya di atas piring dan meletakkannya di meja bundar dari kayu yang terlihat sudah lapuk.
Perlahan ia melangkah dan mulai membangunkan anak lelaki itu. “Wan, bangun, Nak. Emak membeli pisang goreng dan ubi rebus, bangun dan makanlah dulu,” ujarnya perlahan. Anak lelaki itu mengerjapkan kedua matanya, lalu memandang ke arah perempuan di tepi ranjang. Sebentar menguap, sejurus kemudian ia telah berdiri lalu melangkah menuju ke meja kayu lapuk untuk menyantap gorengan yang dibawa ibunya. Zubaida, perempuan itu tidak pernah menikah karena kesetiaannya pada janji suci dengan sang kekasih hati.
Dan Wandi, bocah lelaki itu bukanlah darah dagingnya. Lima belas tahun yang lalu, Zubaida menemukan bayi mungil yang masih berlumuran darah teronggok di tempat sampah terbungkus handuk lusuh. Naluri keibuan dan rasa belas kasihan yang telah menggerakkan tangannya untuk mengambil sang bayi, kemudian merawat dan membesarkannya seperti anaknya sendiri.
Toh, ia tak memiliki sanak keluarga. Kedua orang tuanya telah meninggal tatkala Zubaida masih belia. Ia adalah anak tunggal. Sedangkan, keluarga dari ibu serta bapaknya tak ia ketahui sama sekali. Peristiwa kelam bangsa ini pada 1965 telah merenggut masa lalu dan semua anggota keluarganya.
Terkadang hatinya menjerit. Mengapa Tuhan selalu mengambil orang-orang terkasihnya. Ia selalu beranggapan, jika ini jalan takdir yang telah tertulis untuknya. Namun, ia merasakan arti kehidupan setelah menemukan anak lelaki itu. Setidaknya ia memiliki tumpuan dan harapan untuk melanjutkan kehidupan.
“Mak, tadi siang ada beberapa orang laki-laki berseragam kemari dan mereka meninggalkan surat untuk emak,” anak lelaki itu berbicara sambil mulutnya mengunyah pisang goreng. Ia beranjak ke ranjang dan mengambil sebuah surat dari bawah bantal kumalnya. Lalu, memberikan kepada perempuan yang dipanggilnya emak.
Wajah Zubaida menjadi pias dan napasnya memburu tatkala membacanya. Pandangannya beralih dari surat lalu ke wajah anak asuhnya. Wandi tampak bingung dengan perilaku sang ibu. Bulir-bulir bening menetes membasahi kedua pipi Zubaida.
“Ada apa, Mak? Kenapa menangis? Apa isi surat itu?” tanya Wandi seraya memegang tangan emaknya.
“Kita harus pergi dari sini sekarang juga, Nak, sebelum mereka datang dan menangkap kita. Zubaida seperti tersadar dan bergegas mengambil kain jarik untuk kemudian mengemas beberapa helai kebaya dan bajunya. Sedangkan, Wandi disuruh membawa tas ransel butut untuk tempat baju dan keperluan lainnya. Tanpa berkata apa pun, mereka segera berkemas dan pergi meninggalkan rumah mereka dengan bekal seadanya.
***
Malam semakin beranjak, dingin dan pekat menemani langkah mereka. Di ujung jalan dekat perempatan, Zubaida menghentikan langkah dan mengajak sang anak untuk masuk ke halaman sebuah rumah. Perlahan sekali mengetuk pintu rumah itu.
“Siapa?” terdengar suara lelaki dari dalam.
“Pak Syarif, ini saya, Zubaida,” dengan memegang erat bundelan kain jarik yang berisi bajunya, perempuan paruh baya itu melihat ke kanan-kiri, seolah-olah takut ada yang melihatnya. Pintu berderit. Sedetik kemudian seorang lelaki paruh baya tampak menahan kantuk keluar sambil membawa lampu kecil di tangannya.
“Ada apa gerangan tengah malam begini Nyi Zubaida dan Nak Wandi datang ke sini?” Pak Syarif menatap keheranan ke arah mereka. Zubaida dengan gemetar menyerahkan surat di tangannya. Tampak wajah Pak Syarif pucat dan sekilas menatap perempuan di depannya.
“Kami harus pergi malam ini juga Pak Syarif, kalau tidak, mereka pasti akan datang menangkap kami, seperti apa yang akan mereka lakukan dulu kepada Rahmadi,”
suara Zubaida tercekat.
“Tapi, saya tidak tahu ke mana harus membawa Wandi di tengah malam buta begini. Saya tak punya satu pun saudara yang tinggal di kota ini,” ia memandang ke arah anak asuhnya yang berdiri mematung, tak mengerti apa yang akan terjadi jika mereka tidak segera pergi. Pak Syarif tampak berpikir dan kemudian berkata, “Pergilah ke rumah adikku di Kudus, ceritakan semua padanya, dia pasti bisa membantumu karena adikku juga seorang aktivis seperti Rahmadi.”
Setelah memberikan alamat adiknya dan beberapa lembar uang ribuan untuk Zubaida, Pak Syarif segera meminta mereka untuk bergegas meningggalkan kampung itu. Keesokan harinya, apa yang ditakutkan oleh Zubaida benar-benar terjadi. Beberapa orang berseragam mendatangi dan mengobrak-abrik rumahnya. Beberapa tetangga dekat, tampak ketakutan dan berdiam di dalam rumah. Begitu pun dengan Pak Syarif yang hari itu sengaja tidak berjualan agar terhindar dari interogasi orang-orang itu.
***
Suatu siang yang terik, di sela gegap gempita euforia reformasi, sesosok wanita paruh baya melangkah menenteng bungkusan kumal kain jarik. Di punggungnya tergantung sebuah tas ransel. Ia melangkah memasuki halaman rumah joglo yang dulu ditinggalkannya. Ia baringkan tubuh lelahnya di atas dipan kayu usang. Tak dipedulikannya keadaan rumah yang berantakan.
Sinar mentari menerobos masuk lewat genteng yang kini silang-menyilang tak beraturan. Mata tuanya terpejam. Namun, hati dan pikirannya melayang ke masa-masa yang telah dilaluinya. Malam di mana sang kekasih hati harus pergi meninggalkannya, karena kegiatan Rahmadi di sebuah organisasi buruh yang dicurigai pemerintah pada saat itu. Dan, ia termasuk dalam daftar orang yang dicari karena memimpin pergerakan massa melakukan unjuk rasa yang mengancam Orde Baru.
Sehari sebelum tertangkap, Rahmadi berpamitan akan berlayar dan mencari perlindungan di negeri seberang. Serta mengucapkan sebuah janji untuk kembali dan membawakannya seikat bunga tulip putih. Namun, tak berbilang hari, pekan, bulan, bahkan tahun, Rahmadi tak pernah kembali.
Dan, setahun yang lalu, sebuah surat dari orang-orang berseragam diterimanya. Mereka mencurigai Zubaida masih berhubungan dengan Rahmadi dan meminta wanita itu menyerahkan diri secara baik-baik. Karena itu, ia pun harus pergi meninggalkan kampung di tengah malam buta, bersama Wandi anak asuhnya.
Namun, malang, di tengah perjalanan ke rumah adik Pak Syarif di Kudus, sebuah kereta telah merenggut nyawa remaja itu. Putus asa dan hilang harapan, Zubaida hidup menggelandang dari satu kota ke kota yang lain. Hingga tangan takdir membawanya kembali ke kampung halamannya di Solo.
Mata perempuan itu mengerjap dan kristal bening mengalir membasahi pipinya. Nestapa merajai bilik hati. Pada saat seperti itu, hanya satu yang bisa ia lakukan. Pergi ke pantai dan memandang ke laut lepas. Tetap berharap Rahmadi akan datang menepati janjinya.
Putaran kehidupan yang penuh liku dan asa tanpa ujung seolah telah menjadi tali takdir yang harus ia jalani. Namun, Zubaida tetap dalam penantiannya. Jauh di lubuk hatinya telah terpatri sebuah nama yang membuatnya tegak bergeming laksana karang. Dari mulai perahu nelayan yang berlalu-lalang hingga kapal-kapal dagang yang perkasa di lautan, Zubaida menghitung tiap senja. Dan pantai pun tak pernah jengah dengan kesetiaan perempuan itu yang masih menggantungkan harapannya bersama sampah yang berserakan.
***
Mentari terus bergulir. Kutatap kembali sosok Zubaida, ia masih duduk di tempat yang sama. Aku beranjak untuk menyapanya, namun kuurungkan niat dan berbalik arah menjauhinya. Kutinggalkan ia bersama siluet senja yang kian temaram menyambut malam. (*)
Negeri Beton, 30 November 2014
Susana Nisa adalah Buruh Migran Indonesia (BMI) yang saat ini bekerja di Hong Kong. Cerpen “Setangkai Tulip Putih” ini berhasil memenangkan Juara Pertama Bilik Sastra Award 2015 yang diadakan oleh Voice of Indonesia (VOI) RRI Siaran Luar Negeri dan dikhususkan bagi warga negara Indonesia (WNI) yang tinggal di luar negeri. Umumnya, mereka adalah buruh migran Indonesia (BMI), namun banyak juga pelajar dan mahasiswa, serta ibu rumah tangga.
Leave a Reply