Cerpen Fernanda Rochman Ardhana (Republika, 22 November 2015)
Sastro bukannya tak pernah tahu akan tabiat ibunya. Ya, ibunya berasal dari pelosok daerah yang masih memegang teguh adat istiadat serta kepercayaan leluhur mereka. Hal itu tentu sangat tertanam dalam diri ibunya. Kala kecil, ia pun sering diceritakan oleh ibunya tentang mitos-mitos yang dianut leluhurnya itu.
Sering kali ibunya berkata, “Sastro, kau lihat, Nak, kupu-kupu beterbangan di rumah kita. Tak lama lagi, akan ada tamu yang berkunjung!” atau “Sastro, lihatlah kunang-kunang yang bercahaya itu. Jangan kau dekati, Nak! Itu jelmaan kuku orang mati!” Saat itu, ia akan mudah memercayai semua perkataan ibunya itu. Hal-hal yang semakin lama dianggapnya sebagai takhayul yang tak lebih dari sebuah omong kosong belaka seiring dengan tumbuhnya kedewasaan.
Dia mengira semua omong kosong itu telah terkikis oleh periodisasi zaman. Bahkan, dia pun sempat meyakini bahwa kini pemikiran setiap orang telah berubah dan melupakan mitos-mitos itu. Namun, nyatanya, pada zaman yang sudah memasuki era globalisasi, ia masih menemukan orang yang tetap berpegang teguh terhadap mitos-mitos tersebut, tak terkecuali ibunya.
Kini, Sastro telah memiliki seorang putri. Telah lama juga dia memboyong ibunya meninggalkan daerahnya untuk tinggal bersama dengan dirinya. Shinta, putrinya yang masih berumur lima tahun, begitu dekat dengan ibunya. Neneknya seakan menjadi tempat curahan kasih sayang yang tak pernah Shinta rasakan dari seorang ibu. Ya, Shinta tak pernah sempat merasakan kasih sayang Irma, ibunya yang meninggal saat melahirkan buah hatinya tersebut.
Kedekatan ibunya dengan anaknya itu terkadang membuat Sastro merasa khawatir. Bukannya Sastro tak senang melihat keakraban hubungan yang terjalin antara nenek dan cucu tersebut. Dia hanya tak ingin ibunya menceritakan mitos-mitos itu kepada Shinta, seperti apa yang pernah diceritakan kepadanya pada masa kecilnya, dan kekhawatiran Sastro perlahan terbukti. Seperti yang terjadi untuk sekian kalinya pada sore itu.
Ayah! Ayah! Kata eyang, kalau ada kucing bertengkar itu tandanya akan ada orang yang sakit!”
Timbul perasaan jengkel dalam diri Sastro terhadap ibunya setiap Shinta menceritakan hal-hal yang dianggapnya sebagai omong kosong tersebut. Selama ini, perasaan itu tak pernah diungkapkannya. Namun, akhirnya kekesalannya memuncak saat suatu ketika, anaknya tampak kembali menangis ketakutan, berlari sambil memanggil-manggil dirinya. Karena merasa khawatir akan sesuatu yang menimpa anaknya, Sastro bergegas menghampirinya.
“Ayah! Ayah!”
“Ada apa, sayang?”
“Ayah, tadi Shinta pergi ke rumah Roni,” ujar Shinta dengan mimik ketakutan. Roni adalah teman sepermainan Shinta, yang mana rumahnya hanya terpaut beberapa meter dari rumah mereka.
“Kakeknya Roni sakit. Terus, Shinta lihat ada kucing hitam naik ke kasur kakeknya. Terus Shinta cerita ke eyang. Kata eyang, kakeknya Roni mau meninggal! Hiii!”
Shinta menjerit dan menangis sekeras-kerasnya di pelukan Sastro. Hati Sastro menjadi sangat sedih. Dia tidak tega melihat anaknya yang begitu ketakutan setelah mendengar perkataan ibunya tersebut. Lalu, ia berusaha untuk menghibur buah hatinya tersebut.
“Hus! Nggak kok, sayang. Kakeknya Roni bakal cepat sembuh.”
“Ta-tapi, kata eyang ….”
“Sssttt! Nggak usah dengerin apa kata eyang. Percaya deh apa kata ayah. Cup, sayang. Udah jangan nangis, nanti Ayah belikan es krim.”
Mendengar ayahnya berniat membelikan minuman favoritnya tersebut, hati Shinta menjadi sedikit terhibur. Dia menyeka air matanya dan perlahan ketakutan yang tergambar dalam mimiknya memudar, berganti menjadi keceriaan.
“Benar, ya, Yah.”
“Iya, sayang.”
Shinta mendekap erat ayahnya dengan manja.
***
Sastro merasa kesal dengan ibunya. Dengan memendam perasaan jengkel, dia berkata dengan sengit, “Ibu! Mengapa Ibu sering menceritakan takhayul-takhayul itu kepada Shinta?”
“I-itu, bukan takhayul, Nak.” jawab ibunya yang merasa terkejut dengan hardikan anaknya tersebut.
“Nak, semua yang kuceritakan itu benar,” lanjut ibunya dengan lirih.
Namun, Sastro tak memedulikan perkataan ibunya. Dia juga tak memedulikan gelagat ibunya yang tampak terkejut memandangi perubahan sikapnya tersebut. Dengan nada tinggi, ia kembali berucap, “Ibu! Aku tahu. Ibu tetap berpegang teguh terhadap kepercayaan leluhur kita. Namun, ibu tak harus menceritakan hal-hal tersebut kepada Shinta! Aku takut dia kelak akan menjadi gadis yang penakut. Aku tak mau hal itu terjadi! Aku tak mau, dari atas sana, Irma memandang kecewa padaku karena aku tak dapat mendidiknya dengan baik!”
Ibunya tampak murung, seolah tak percaya dengan semua perkataan kasar yang tertuju padanya. Ibunya menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya yang keriput, menutupi linangan air mata yang meleleh keluar dari kedua mata rentanya. Tak kuasa dirinya menahan kesedihan batinnya yang terluka.
Melihat situasi tersebut, tampak rasa penyesalan yang begitu mendalam dalam diri Sastro. Sebelumnya, ia tak pernah sekalipun menyakiti perasaan ibunya, orang yang begitu dimuliakannya. Namun, kali ini ia harus melihat ibunya meneteskan air mata akibat perkataannya. Dia pun mendekati ibunya dan berjongkok di hadapannya, seraya berkata lirih.
“Maafkan aku, Ibu. Aku hanya ingin Irma bahagia dan dapat beristirahat dengan tenang. Aku tak ingin mengecewakannya, Bu.”
Namun, ibunya tak berkata apa-apa. Dengan perasaan yang masih diliputi oleh kesedihan, ibunya beranjak dari kursi dan berjalan perlahan ke arah kamarnya, meninggalkan anaknya seorang diri yang terbenam oleh beribu-ribu perasaan bersalah.
Dan, sorenya, Sastro mendengar kabar yang tidak terduga-duga sebelumnya.
Entah suatu kebetulan atau tidak, kakek Roni meninggal dunia. Mendengar kabar tersebut, Shinta kembali menjerit dan menangis.
“Eyang benar, Ayah! Eyang benar!”
Sastro berusaha menenangkan anaknya tersebut. Namun, Shinta tak memercayai kata-kata ayahnya, dia tetap menjerit dan menangis sekeras-kerasnya di pelukan ayahnya.
***
Esoknya, Shinta kembali ceria. Ya, kepolosannya memudahkan dirinya untuk cepat melupakan peristiwa yang terjadi kemarin sore, termasuk perkataan-perkataan neneknya yang membuatnya merasa ketakutan.
Namun, yang membuatnya risau hanyalah cerita-cerita takhayul yang tentunya akan terus keluar dari ibunya saat menemani buah hatinya itu. Sastro menghampiri Shinta dengan gemasnya. Dia mencubit pipi putri kesayangannya tersebut.
“Ayah pergi dulu ya, sayang, jangan nakal!” ucap Sastro.
Sastro lalu menuju ke arah tempat ibunya berada. Ibunya tampak terduduk di kursi yang terletak di teras rumah, menikmati suasana pagi hari sembari menatap kosong ke arah rimbunan daun serta tanaman yang menghiasi taman halaman rumahnya.
Dan, kali ini, Sastro tak mengetahui apa yang sedang dialami oleh ibunya itu, namun melihat guratan kesedihan yang masih membekas di raut muka senjanya, Sastro pun dapat menebak bahwa ibunya masih memendam perasaan kecewa terhadap dirinya atas perkataannya kemarin. Hal ini membuat perasaan bersalah kembali timbul menggenangi hati Sastro. Dia tak pernah menyangka, ibunya akan sampai semarah itu.
“Maafkan perkataanku kemarin, Bu.” Sastro berkata lirih.
Namun, tak sepatah kata pun terucap dari mulut ibunya. Lalu, dia menyalami dan mencium tangan ibunya seraya berucap lirih.
Sastro melangkah pergi dengan membawa kesedihan. Perlahan, ibunya melirik ke arah anaknya itu yang berjalan pergi menjauhinya hingga hilang dari pandangan tepat di pintu gerbang. Setelah kepergian anaknya, ia terlihat semakin murung. Seakan-akan merasakan siksaan batin yang mendalam. Beberapa kali dia berucap lirih, “Sastro ….” Linangan air mata tampak membasahi pipinya.
***
“Ayah! Ayah!”
Sastro sangat terkejut mendengar teriakan anaknya yang memanggil dirinya saat dia baru saja kembali menginjakkan kaki di rumahnya setelah hampir seharian berada di kantor. Bergegas Sastro memeluk anaknya yang tampak berlari ketakutan.
“Kenapa, sayang?” tanya Sastro sambil mengelus-elus rambut buah hatinya tersebut.
“Ayah, tadi siang Shinta mimpi gigi Shinta copot. Shinta cerita ke eyang, terus kata eyang salah satu keluarga kita ada yang mau me-meninggal! Hiii!”
Shinta menangis dalam dekapannya. Ya, Sastro dapat membayangkan ketakutan yang dirasakan oleh putri semata wayangnya tersebut. Ketakutan yang pernah juga dirasakan olehnya pada masa kecilnya. Ketika dia bermimpi hal yang sama persis dengan apa yang diimpikan oleh Shinta.
“Cup, sayang. Ayah bawa sesuatu,” bujuk Sastro sembari membuka tasnya dan mengambil sesuatu yang ternyata adalah es krim.
Akhirnya, dia memutuskan untuk melangkah menuju ke kamar ibunya. Dia ingin kembali meminta maaf atas semua kesalahannya dan memohon agar ibunya tidak pernah menceritakan lagi mitos-mitos tersebut kepada Shinta. Setelah sampai di depan kamar ibunya, Sastro mengetuk pintu kamar seraya berkata dengan lirih, “Ibu, ini aku. Anakmu, Sastro.”
Namun, tak ada jawaban dari dalam kamar ibunya. Sastro berpikir tentunya ibunya masih marah terhadap dirinya. Kembali rasa penyesalan hinggap dalam hatinya. Dia kembali mengetuk pintu kamar ibunya seraya memelas, “Aku menyesal telah membuat marah Ibu. Maafkan aku, Bu.”
Kembali tak terdengar suara jawaban dari ibunya. Hal ini membuat hatinya menjadi sedih. Sastro tak ingin ibunya terus membenci dirinya. Dia bertekad untuk segera mengakhiri perselisihan yang terjadi antara ibunya dan dirinya tersebut.
“Ibu,” dia terpaksa membuka pintu kamar ibunya yang ternyata tidak dikunci.
Namun, Sastro sangat terkejut dengan apa yang dilihatnya saat ini. Jasad seorang wanita tua terbujur kaku di tempat tidur.
“Ibuuu!”
Sastro menjerit sekeras-kerasnya hingga terhuyung-huyung, tubuhnya jatuh membentur lantai. (*)
Fernanda Rochman Ardhana, Kelahiran Jember, 27 Februari 1991. Beberapa karyanya terbit dalam buku antologi bersama puisi dan cerpen, seperti Seremoni Pacar di Pintu Darurat (2015), Mata Matahari (2015), serta pernah termuat di berbagai media.
Leave a Reply