Cerpen Achmad Munif (Republika, 29 November 2015)
SORE yang cerah Wan Komar duduk santai di kursi goyang di beranda rumah. Ia pandangi lalu lintas yang cukup ramai. Sesekali Wan Komar tersenyum. Benak Wan Komar sedang menghitung-hitung uang yang sebentar lagi masuk ke koceknya. Paling sedikit ada lima orang yang sore itu akan datang membayar utang, dengan total setoran mereka sebesar Rp 20 juta.
Kalau mereka hanya mampu membayar bunga yang 30 persen itu, berarti uang yang akan masuk ke koceknya 30 persen kali Rp 20 juta tidak kurang dari Rp 6 juta. Belum lagi kalau mereka juga membayar cicilan. Bagi Wan Komar, bila mereka hanya mampu membayar bunga, tidak apa-apalah.
Kan uang yang terutang tetap utuh. Silakan saja kalau mereka hanya mampu membayar bunga, toh uang yang terutang tidak berkurang sama sekali. Dan beberapa bulan saja bunga yang diterima sudah melebihi uang yang dipinjamkan. Uang itu tetap utuh dan pengutang tetap membayar bunganya yang 30 persen itu setiap bulannya.
“Enaknya kalau orang punya uang,” pikir Wan Komar. Karena setiap hari ada saja orang mencicil utang atau cukup membayar bunganya saja maka uang bagi Wan Komar mengalir seperti air kali yang tidak jauh dari rumahnya. Dan tentu saja aliran itu bermuara di kantongnya. Wan Komar menghitung berapa juta uang yang masuk ke koceknya kalau sore itu ada 10 orang yang datang untuk mencicil utang atau hanya membayar bunganya. Wan Komar tidak akan marah walau mereka hanya membayar bunganya. Toh uang yang terutang tidak berkurang serupiah pun. Wan Komar tidak menyadari bahwa seharian sesungguhnya ia sedang menghitung-hitung riba yang sangat dilaknat Allah.
***
Wan Komar tersentak dari lamunan ketika seseorang sambil menunduk mendekatinya. Seperti biasa lelaki itu tersenyum. Wan Komar tidak pernah bermuka masam setiap menyambut orang yang datang. Bagi Wan Komar tamu sama dengan uang.
Wan Komar mengangkat kepala.
“Kamu Sudin?”
“Iya, Wan.”
“Kok sedih, ada apa?”
“Maaf Wan, saya belum bisa membayar utang.”
“Tidak masalah Sudin. Aku ini orangnya mudah. Bayar bunga saja ya boleh-boleh saja.”
“Tapi, Wan.”
“Kenapa, ada masalah?”
“Itulah, Wan.”
“Bayar bunga saja juga belum? Nggak apa-apa Sudin. Aku ini orang baik. Tapi, ingat, utangmu menjadi utang pokok ditambah bunga yang harus kamu bayarkan sekarang kamu tidak membayar. Bagaimana?”
“Jadi begitu, Wan?”
“Sudin, perlu kamu tahu, yang bisa beranak itu bukan cuma bini kamu. Uang juga bisa beranak, Sudin.”
Dan sore itu lima orang yang punya utang semua datang. Semua diterima dengan senang hati oleh Wan Komar. Kalau Sudin tidak bisa sama sekali membayar cicilan dan bunganya, Yu Sriatun hanya bisa mencicil tanpa membayar bunga. Lik Supo datang membawa sepeda yang masih baru karena baru 10 hari dibeli.
“Oh, bisa saja kalau kamu membayar bunga utangmu dengan sepeda ini. Nggak ada masalah.”
Wan Komar kemudian meneliti sepeda Lik Supo dengan mata yang berbinar-binar.
“Bagaimana, Wan?”
“Boleh. Tapi, ya itu.”
“Apa Wan?”
“Dengan sepeda ini, berarti kamu hanya membayar separuh bunga dari utangmu.”
“Masak hanya separuh, Wan.”
“Terserah kamu. Lha wong kamu tidak membayar bunga sore ini, ya nggak apa-apa. Tapi, bunga itu ditambahkan pada utangmu.”
Lik Supo tidak bisa apa-apa walau ia tahu sepeda baru itu dihargai terlalu murah. Semua yang datang sore itu membawa kesulitan masing-masing yang tidak menjadi masalah besar bagi Wan Komar. Sebab, semua ada hitungannya. Dan yang namanya perhitungan itu bisa berupa perhiasan, perabot rumah tangga, tanah, sawah, dan lain-lain yang nantinya bisa disita. Benak Wan Komar membayangkan tanah Bu Hanah yang sore itu juga hanya bisa membayar bunga. Tanah Bu Hanah yang menjadi jaminan memang tidak terlalu luas, tapi letaknya strategis, persis di pinggir jalan besar. Tanahnya pasti akan mahal jika dijual.
Memang banyak yang tidak suka kepada Wan Komar. Laki-laki ramah yang tidak pernah bermuka masam namun sesungguhnya sudah terlalu sering mencekik leher banyak orang. Mereka tidak suka kepada Wan Komar, namun sekaligus membutuhkannya. Nyatanya di daerah itu tidak ada orang lain yang siap memberi pinjaman tanpa batas waktu. Artinya, pintu rumah Wan Komar terbuka 24 jam untuk mereka yang butuh uang.
***
TIBA-TIBA suatu hari ada perubahan yang mengejutkan pada fisik Wan Komar. Lelaki setengah abad itu kebingungan. Apakah dirinya diserang gigantisisme? Wan Komar pernah membaca di koran ada seorang perempuan yang tubuhnya memanjang sedikit demi sedikit. Para ahli kedokteran mengatakan, perempuan tersebut terjangkit penyakit gigantik.
Tetapi, perubahan pada tubuh Wan Komar berbeda dengan perempuan itu. Bukan tulang-tulangnya memanjang, melainkan perutnya sedikit demi sedikit membesar. Tadinya lelaki jutawan itu menganggap perubahan yang terjadi pada tubuhnya itu hanya kegemukan biasa. Bukankah beberapa bulan terakhir ini nafsu makannya berlipat ganda?
Maka, wajar apabila kegemukan menyerang tubuhnya. Ia mulai waswas ketika merasakan yang menggemuk hanya pada perut, sedangkan organ-organ lainnya tidak mengalami perubahan, kecuali pada kepala yang justru semakin mengecil. Selain itu, Wan Komar sering merasakan sakit yang luar biasa di kepala dan perut.
Ternyata istri Wan Komar juga merasakan ada penggemukan di perut dan penyusutan di kepala suaminya. Pada mulanya Nyonya Komar yang masih tampak muda dan cantik itu takut menyatakan apa yang sedang dirasakan. Kadang ia ingin tertawa terpingkal-pingkal melihat tubuh suaminya berubah menjadi lucu. Perut buncit tetapi kepala kecil, bentuknya seperti buah sawo.
Tetapi aneh, sejauh itu suaminya tidak pernah mengeluh bahwa dirinya sedang sakit. Dia memang tidak mau lagi keluar kamar. Hanya sikapnya yang berubah. Kini suaminya tidak mau lagi tidur satu kamar dengan dirinya. Bahkan, kalau berpapasan pun Wan Komar suka membuang muka.
Wan Komar malu menemui orang, termasuk mereka yang datang untuk membayar utang atau bunga saja. Diam-diam Nyonya Komar mencari cara bagaimana agar suaminya menjadi normal kembali. Ada kalanya Nyonya Komar mengajak suaminya ke dokter dan orang-orang pintar.
Tapi, Wan Komar selalu menolak. Anak-anak Wan Komar juga heran melihat perubahan fisik ayah mereka. Akhirnya Nyonya Komar bertemu seorang kiai di sebuah desa kecil. Sang Kiai meminta Nyonya Komar bercerita tentang suaminya tanpa harus ada yang ditutup-tutupi. Setelah mendengar seluruh cerita Nyonya Komar, kiai itu merenung kemudian berkata singkat.
“Suami ibu harus berhenti menghitung-hitung riba.”
“Maksudnya Kiai?”
“Ibu tentu tahu maksud saya. Suami ibu harus berhenti menghitung-hitung riba. Itu saja, tidak kurang tidak lebih.”
Sampai di rumah Nyonya bercerita tentang pertemuannya dengan kiai dari sebuah desa kecil. Sementara, Wan Komar tiba-tiba merasa sakit luar biasa baik di kepala maupun perutnya. Setelah agak tenang karena sakitnya sedikit berkurang, Nyonya Komar berbisik di telinga suaminya.
“Bapak akan kembali normal, tapi Bapak harus berhenti menghitung-hitung riba.”
“Apa maksudnya, Bu?”
“Berhentilah, Pak. Jangan lagi menghitung-hitung riba. Itu kalau Bapak mau sembuh.”
Diam beberapa saat Wan Komar bangkit, kemudian mengamuk. Semua barang hasil sitaan ia hancurkan. Emas berlian ia sebar di halaman dan di jalan dekat rumah. Ia ambil bergepok-gepok uang dari lemari lalu berteriak keras-keras. Orang-orang datang bergerombol ingin tahu apa yang terjadi. Wan Komar menyebarkan uang itu kepada orang yang makin lama makin memenuhi halaman rumahnya yang luas itu.
Wan Komar bergerak dan terus bergerak membagikan uang dari karung yang dipanggulnya. Orang-orang dengan senang hati menerima uang itu. Mereka bersorak, berjingkrak kesetanan. Dan tidak lama kemudian Wan Komar jatuh pingsan dan tidak bisa lagi menghitung riba. (*)
Achmad Munif, adik kandung novelis ternama, Habiburrahman El-Shirazy, ini juga menggemari sastra. Cerpennya banyak dimuat di media nasional dan lokal.
Leave a Reply