Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 16 Agustus 2015)
Setelah perang usai, kota terlihat muram. Aku termenung di antara puing-puing bangunan sisa reruntuhan rumah setelah bom dan peluru menerjang. Sepasang mataku berjingkat mengamati pemandang kota yang seolah terbingkai dalam lukisan murung.
Anak-anak terlihat sendu. Pipi mereka basah karena air mata, tak rela melepaskan orang- orang tercinta yang mati terbantai. Kota pun tenggelam dalam sapuan ombak kemurungan. Tidak ada lagi pekik tawa. Semuanya bagai lesap bersama kesedihan dan kehilangan yang datang. “Semuanya telah mati,” pekikku mengusap keringat. “Perang telah menghancurkan segalanya.”
Aku menyusuri kota yang kini menjelma menjadi tempat pembantaian. Lenggang. Tidak ada seberkas kebahagiaan yang aku temukan. Hanya kesedihan dan kegelisahan dari raut wajah penduduk kota yang tanpa sengaja berpapasan di jalan. Mereka semua terlihat pasrah. Air muka mereka letih memanggul seluruh harapan yang telah mati. Sudah tidak ada lagi impian-impian akan kemerdekaan atau sorak kebebasan. Kematian kini seperti sepintal doa yang telah ditunggu untuk lekas datang.
Karena merasa lelah, aku singgah sebentar di sebuah reruntuhan bangunan bekas masjid. Aku menengadah, melihat langit berlatarkan warna jingga. Gumpalan-gumpalan awan tampak terpoles ranum di antara sebersit asap. Asap yang berasal dari sebuah kota mungkin baru saja selesai diserang dan dibakar. Hitam kelam.
Tiba-tiba, air mataku pun meretas seiring dengan ingatan yang ikut terlempar kepada ayah dan ibu. Kedua sosok yang kini telah hidup nyaman di surga.
“Semuanya telah mati,” desisku lagi, “perang telah merenggut masa lalu dan masa depan. Perang telah merampas segala kemerdekaan.”
Semakin deras air mataku. Bahkan, begitu larutnya aku dalam kesedihan, langit seolah mempertontonkan kembali detik-detik ketika ayah dan ibu mati. Aku masih ingat, waktu itu aku baru saja pulang dari masjid. Langit terlihat ramai oleh pendar cahaya yang berketap. Gemuruh menggema di mana-mana. Sayup-sayup terdengar pula teriakan. Bahkan, tanpa pernah aku duga, salah satu cahaya itu melintas cepat di hadapanku; menubruk dan menciptakan ledakan dasyat disusul dengan kobar api besar.
Begitulah. Sebuah rudal menerjang rumahku; merampas ayah dan ibu; membakar petak kecil halaman rumahku. Hanya ada rerutuhan serta kertas-kertas dari ayat suci yang terburai tanpa aturan. Aku kembali menarik napasku, membuang kenangan itu. Akan tetapi tak bisa. Kepalaku malah terasa pusing setiap kali melupakannya. Wajahku tertunduk, lantas memincingkan mata.
“Perang telah merenggut segalanya,” gumamku lagi sedikit mengeram, “perang telah merebut seluruh masa depan dan masa lalu! Perang telah merampas kemerdekaan!
Aku membuka mata, melirik ke arah sepasang sepatuku yang kumal. Latar kering terpajang di bawah kaki. Berserak pula ratusan peluru yang berpendar-pendar berwarna kekuningan karena terkena cahaya senja. Pun di antara gelimpang kesia-siaan itu, aku juga menemukan larik ayat-ayat Alquran yang tercabik-cabik. Bahkan, cepat aku menarik kakiku ketika sadar kalau aku sedang menangis di atas potongan-potongan ayat suci Tuhan.
Pelan tanganku meraih satu per satu lembar Alquran. Aku memungutinya, merawat ayat- ayat suci yang telah sedikit terbakar.
“Mereka juga menghancurkan Tuhan!” Pitamku berang. “Mereka menghancurkan ayat-ayat Tuhan.”
Ya. Setelah memusnahkan harapan dan mimpi, perang juga telah menghancurkan ayat-ayat Tuhan. Begitu banyak ayat-ayat suci yang hangus. Serdadu-serdadu itu seakan tak pandang bulu ketika menyerang. Mereka tidak hanya mengincar para pemberontak dan masyarakat. Serdadu-serdadu itu juga tak luput memusnahkan rumah-rumah Tuhan.
***
Sepasang tangan mungilku cekatan memunguti ayat-ayat suci tersebut; menatanya berdasarkan urutan yang bisa aku selamatkan. Sesekali aku juga membacanya.
“Sedang apa kau!” Seorang serdadu membentak. “Cepat serahkan kertas-kertas itu kepadaku!”
Aku menggeragap. Tubuhku sekejap bergetar. Sigap aku menyembunyikan potongan ayat-ayat suci itu. Serdadu itu mendekat; mencoba merenggut potongan-potongan ayat dari tanganku. Kasar pula ia merampas beberapa potong ayat, kemudian membakarnya di depan mataku. Ia menyeringai.
Serdadu itu mengarahkan moncong senapannya kepadaku. “Mata-mata kecil! Sudah tidak ada kesempatan untukmu hidup.”
Aku hanya diam. Aku berharap peluru itu lekas ditembakkan ke kepalaku. Akan tetapi, serdadu itu malah menarik senapannya. Ia melihat ada sesuatu yang masih tergenggam di tanganku; selembar potongan surah al- Fatihah yang telah kumal. Serdadu itu mencoba merenggutnya. Namun, tanpa berpikir panjang, aku menelan sepotong surah suci tersebut. Aku melumatnya.
“Apa yang kau telan?” Bentak serdadu tersebut. “Lekas keluarkan!”
Aku menggelengkan kepala seraya melangkah mundur. Serdadu itu terus menguntit hingga tubuhku tertumbuk pada dinding. Mulutnya berceracau menyuruhku mengeluarkan lembaran kertas yang aku telan. Namun, aku kukuh menolaknya. Serdadu itu menjadi berang. Ia pun akhirnya menendang perutku serta mengayunkan kepal tangannya keras ke wajahku. Aku tetap bertahan. Aku tidak mau kembali dilecehkan oleh serdadu-serdadu itu.
***
Serdadu itu tak jengah mendesak. Dan aku masih tak mengalah. Ahh, aku rela mati demi mempertahankan selembar ayat yang berada di dalam perutku. Sebuah kemerdekaan yang masih tersisa dalam diriku.
“Cepat keluarkan kertas itu!” Bentak serdadu tersebut. “Apa kau ingin mati?!”
Berjam-jam pria itu menyiksaku. Ia mulai terlihat kualahan. Hantaman-hantaman tangannya melemah. Karena kehabisan tenaga, akhirnya ia membawaku dengan mobilnya entah ke mana.
***
Pandanganku mengabur. Aku tidak tahu sedang berada di mana. Aku melihat seberkas cahaya temaram yang mengantung di langit. Bergoyang-goyang. Sayup-sayup, aku juga mendengar suara seorang yang bercakap. Dan ketika membuka mata, terdapat dua orang serdadu menatapku.
“Anak ini seorang mata-mata!”
“Dari mana kau tahu kalau anak ini adalah mata-mata?”
“Aku melihat ia menyembunyikan sesuatu di dalam perutnya.”
“Maksudmu?”
“Anak ini menelan secarik surat rahasia.”
Serdadu itu kembali memaksa untuk mengeluarkan selembar ayat yang berhasil aku telan. Namun, aku belum ingin menyerah. Aku tidak akan membiarkan satu-satunya kehormatanku dirampas olah para serdadu itu.
“Jangan kau serahkan agama dan kitabmu. Itu adalah kemerdekaan kita satu-satunya.” Kalimat ayah yang lembut kembali terdengar di antara dera siksaan.
Serdadu itu terus mendaratkan pukulan dan tendangannya. Keras melesat ke tubuh.
Akan tetapi, entah mengapa, aku sudah tidak lagi merasa sakit. Pukulan dan tendangan itu tak lagi meninggalkan rasa pedih di tubuhku. Bahkan, ketika sang ajal datang merenggut nyawaku, aku tidak merasakan apa pun selain kebahagian atas agama yang terus aku pertahankan; kemerdekaan yang tak boleh hilang walau maut menjemput.
***
Dua serdadu itu memutuskan untuk membedah isi perutku. Mereka tidak dapat lagi menggali informasi setelah sang maut mengambil nyawaku. Seorang dokter bedah pun diutus untuk mengelurkan isi perutku. Khusyuk ia mengamati semua bagian. Dan dokter bedah itu tercengang. Di dalam perutku, ia tidak menemukan apa pun selain lempengan besar yang terbuat dari emas. Sebuah lempengan yang terdapat guratan surah al-Fatihah.
Dokter itu tidak habis pikir kalau selarik mulutku yang mungil dapat menelan sebuah lempengan emas yang cukup besar. Dokter itu pun lekas melaporkan temuannya.
“Tidak ada apa pun di dalam perut anak itu,” kata dokter bedah. “Tidak ada berkas- berkas rahasia. Hanya ada lempengan ini.” Dokter itu meletakkan sebuah lempengan emas bertuliskan surah al-Fatihah di atas meja.
“Lempengan emas?” Kedua serdadu itu ikut terkejut dengan apa yang ditemukan malam itu.
***
Karena merasa penasaran dengan apa yang ditemukan di dalam perutku, serdadu itu membawa pulang lempengan emas tersebut. Ia memajang lempengan emas itu di dinding kamarnya. Ia memandanginya terus hingga larut malam.
“Bocah itu menelan sebuah kertas!” Katanya ragu, “ia menelan kertas. Bukan lempengan emas!”
Muncul berbagai macam pertanyaan dalam benak serdadu itu. Bahkan karena merasa sangat penasaran, ia pun mencoba menelan salah satu potongan kitab suci yang rencananya akan ia bakar di hadapan penduduk kota; memastikan kalau mereka benar-benar telah kalah dalam peperangan. Ia menelan kertas itu; mengunyah dengan mata mendelik. Namun, ia selalu gagal.
Pucat wajah serdadu itu. Habis pula cairan tubuhnya, mual. Dan karena merasa frustrasi, ia pun melempar lempengan emas itu ke dinding. Akan tetapi, lempengan itu tiba-tiba bercahaya, kemudian disusul dengan lembar ayat-ayat suci lainnya yang melayang-melayang memenuhi ruangan lantas terbang membelah langit malam. Langit-langit pun mendadak bergemuruh. (*)
Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Pernah
mendapat juara dua dalam sayembara menulis sastra mahasiswa se-Indonesia UGM (2013), Nominator Sastra Profetik Kuntowijoyo UHAMKA (2013). Buku kumpulan cerpen tunggalnya: Bunga-Bunga Kesunyian (2015). Cerpennya telah tersiar di berbagai media.
Leave a Reply