Cerpen Hanafi Akbar (Republika, 10 Mei 2015)
Subuh berteriak membangunkan segala yang ada di bumi. Namun, sedikit saja getaran yang menyapa gendang telinganya. Setan lebih khusyuk bermain dengan mimpi mereka, khayalan kekayaan dan kekuasaan yang tak pernah di dekapnya, atau para penipu ulung yang siap menipu kematiannya di dunia. Subuh berlalu tak membuahkan hasil. Sedangkan mulut keriput hitam menciut penjaga masjid yang setia dengan mikrofonnya.
Pria dengan wajah tirus sedang membolak-balikan mushaf Alquran yang lusuh. Bacaannya terdengar fasih. Mengingatkan suara Nabi Daud yang konon melayangkan beburungan dan menenangkan segala yang hidup. Bacaannya terhenti. Ia mendengar petasan yang kencang manaburkan kertas-kertas para pencinta pesta dan keglamoran. Air matanya mengeluarkan telaga beningnya. Pipinya yang kuning langsat bercumbu dengan air mata yang penuh dengan alasan.
Pria tersebut adalah diriku, Muttabi’in Muhammad. Anak seorang guru madrasah aliyah dan penjahit. Aku baru saja selesai merampungkan pendidikan masterku di bidang kesusastraan di Kota Gudeg sana.
Gelar master yang melekat di pundakku tak membantu menjaga air mataku. Berbagai studi kesusatraan yang kutempuh mulai dari memahami puisi kemudian menghafalnya, prosa, cerpen hingga novel tak bisa menyelamatkan hubungan cintaku. Petasan yang kencang benderang itu bukan suara perayaan Idul Fitri ataupun perayaan khitanan massal, melainkan tanda berakhirnya cintaku dengan putri kiai besar pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hikmah Indramayu, Nur Elvina.
Betapa menyakitkannya kabar yang kudengar itu. Apa sesakit ini berita yang tidak diharapkan namun pasti kejadiannya? Lantas siapa yang harus dikambinghitamkan? Apa perlu aku menyalahkan waktu yang menyaksikan kita berdua untuk berjanji terpisah karena cita-cita namun harus berakhir derita? Apa perlu aku mencaci detik yang tersulam janji manis kekasihku tentang kesabaran menunggu dalam menjemput takdir jodohnya? Apa dapat mengembalikan keadaan ketika aku menyalahkan ratusan kertas bertuliskan kerinduan yang kau tulis itu?
Aku hanya bisa tersungkur mengadu kepada Pemilik Cinta. Aku meremas kemudian membuang secarik kertas putih bersulam bunga yang merupakan undangan untuk Nur Elvina dalam acara launching bukuku, Mukjizat Cinta di Kota Mangga. Sedangkan dalam batinku merintih:
“Tuhan, pantaskah untuk Engkau menyalahkanku setelah aku menepati janjiku mewujudkan apa yang diinginkannya dengan menulis semua kisah tentang cinta suci antara aku, dia, dan Engkau dalam tumpukan kertas bersulam ini?”
Ah, betapa bodohnya diriku. Untuk apa aku menangis tersedu-sedu. Menangisi perempuan yang jelas-jelas tak menaruh rasa iba sedikit pun kepadaku. Untuk apa aku berdiam diri dan terus menyaksikan setan yang menertawaiku yang tak mengikhlaskannya.
Waktu pun berlalu, sedangkan aku tak datang di hari pernikahannya. Hari yang mempertemukanku untuk mengucapkan kalimat “Barakallahu lakuma wa baraka Alaikuma wa Jama’a bainakuma fi Khoir”, sedangkan hatiku hancur melihat kilatan keemasan melilit di jari manismu.
***
Aku adalah santri dari Kiai Hafidz. Aku belajar kepada beliau semenjak aku masih duduk di bangku madrasah tsanawiyah hingga madrasah aliyah. Aku sangat mengenal beliau, bagaimana mungkin aku tidak mengenalnya yang separuh waktu tidurku kuabdikan untuk guruku itu. Sekarang aku kembali di bangunan tua ini. Bangunan yang mengingatkanku semenjak duduk sebagai santri. Bangunan yang menelanjangi mataku untuk mengingat kembali kenangan yang terkubur bersama kekasihku Nur Elvina. Sebelum Kiai Hafidz wafat, beliau memintaku lewat ayahku untuk mengabdikan ilmu yang kupunya di pesantren ini.
Awalnya aku menolak melalui perhitungan yang matang tatkala ayahku menyampaikan wasiatnya kepadaku. Namun, apa gunanya penolakanku, yang memberikan wasiat ini pun sudah di sisi Tuhannya. Setelah berpikir dalam, aku menyanggupi keinginan kiaiku untuk terakhir kalinya.
***
Waktu bergulir dengan cepat. Pekan berganti, sedangkan aku masih kalut dengan perasaanku. Entah mengapa aku sulit untuk melupakan wajah Nur Elvina yang jelas-jelas bukanlah lagi milikku. Ketika aku berusaha keras menghanyutkan kenangan indah yang berujung buruk, Tuhan malah mengirimkan perahu kecil yang lengkap dengan dayungnya.
“Silakan duduk, In,” ujar Bu Nyai dengan tersenyum.
Aku menganggukkan kepala dengan membalas senyuman.
Bu Nyai memandang diriku penuh dengan saksama. Bagaimana tidak? Beliau adalah saksi kisah cintaku dimulai. Semenjak aku dengan Nur Elvina berhubungan, beliau pula yang mendengarkan curahan hati buah hatinya itu, di saat benih cinta hinggap di dadanya. Beliau saat itu tidak menampakkan kemarahannya kepadaku yang sudah merebut hati anaknya itu. Beliau begitu sungguh baik kepadaku. Sangat baik.
***
Mungkin senyumku yang menipu ini bisa diterawang oleh beliau yang sudah memahami diriku. Aku yakin racun cinta yang kutelan ini telah bermuara pada benaknya pula. Beliau saksi sejarah cintaku. Namun, karena kedudukannya sebagai istri kiai besar, ia tak mempunyai hak untuk mengajukan pendapat atau mengelak atau tidak menyetujui saat buah hatinya dipersunting oleh pria yang tidak dikenal anaknya, namun dikenal di kalangan sesama kiai.
“Sehat, In?” tanya Bu Nyai.
“Inggih, kulo sehat, Bu.”
Tiba-tiba datanglah perempuan yang antara diharapkan dan tidak muncul di depan kelopak mataku. Jemari lentiknya begitu terlihat lembut dan menghangatkan. Pipinya masih sama seperti yang dulu, tampak kenyal dan cantik. Mengapa ia harus secepat ini berlabuh di hadapanku. Perasaanku ingin menampik mengenai wajah indah itu, namun sangat memanjakan mata. Hatiku ingin keluar, kemudian mencurahkan semua apa yang kurasa selama ini.
“Silakan diminum, Mas.” Suara Nur Elvina menghidupkan lagi perasaanku yang carut-marut.
Ia lantas berlalu dari pandanganku. Apakah ia begitu tidak merindukan diriku? Ingin bertanya tentang kabarku? Tanya bagaimana rasanya hidup tanpa dirinya? Apa mungkin ia tidak ingin memperlihatkan air mata penyesalan ataupun rasa bersalahnya?
Syariat membangunkan pikiran nakalku. Dia begitu sangat salehah dengan apa yang disandangnya saat ini sebagai istri kiai muda. Kerinduannya kalah dengan ketaatannya sebagai seorang istri.
Sebelum kakiku meninggalkan kediaman Bu Nyai, beliau memberikan amplop merah dengan berucap dengan sangat pelan. Mungkin ini akan menjawab perasaan Bi’in selama ini.”
Aku baringkan tubuhku yang lunglai ini. Mataku terus mencari jawab yang tak kunjung datang. Sudut-sudut kamar hanya bisa diam menyaksikan dua pasang cecak sedang bercumbu. Aku menghela napas begitu panjang dengan menggoyang-goyangkan pergelanganku yang kuat memegang amplop merah pemberian Bu Nyai. Aku penasaran dan kubuka secara perlahan. Hanya tanda kecil di pojok bertuliskan tiga huruf hijaiyah “Mim Ha Nun”, yang tidak lain adalah singkatan (Min Habibatuka Nur Elvina, dari kekasihmu, Nur Elvina).
Dalam surat itu tertulis:
“Aku harap dari beberapa carik kertas putih mampu menuangkan perasaanku semua. Hari terus menunjukkan wajahnya. Tak kurang dan lebih seribu dua ratus empat puluh delapan hari aku bersamamu. Banyak kisah yang membuatku sadar dan termenung tentang bagaimana indahnya waktu yang kuhabiskan denganmu. Sela-sela waktu yang kulewati tak pernah lepas dari bingkai wajahmu. Raut wajahmu yang membuatku menjadi wanita kuat yang berani menatap ke depan. Tak duduk termenung menunggu keajaiban tanpa kesusahan. Tak selalu luput untuk menghindar dari bangkai busuk dunia yang terus di belakangku.
Malam ini dadaku menjadi sesak merindu. Kelopak mataku yang indah tak kunjung terpejam. Betapa sulitnya untuk bertemu denganmu, walau itu hanya sedetik saja. Aku perempuan lemah yang tercabut kekuatannya, miskin akan penentangan, melainkan wanita yang penuh gemerlap harapan. Meski aku menemukan harapan di pipimu, harapan saat pipimu basah tersiram air suci, acapkali air mata bahagia dan duka yang silih berganti berkabut mengairi di pipi meronamu. Aku juga menemukan semua kejayaan yang kelak menjadi kenyataan di dahi mulusmu. Dahi yang selama ini kau gunakan untuk menangis di bawah sajadah-Nya dan penuh keyakinan akan Tuhanmu yang kelak akan menerbangkan jasadmu dan cita-citamu yang selama ini kau ukir.
Abah menjodohkanku dengan pria pilihannya. Dia adalah Syihabbuddin, anak Kiai Anwar Mahfudz, pengasuh Pesantren Karang Ampel, Indramayu. Demi tetap jalannya gema dakwah dan keberlanjutan pesantren ini, ia mengikhlaskan putrinya bersanding dengan pria yang tidak dicintainya.
Aku sangat minta maaf. Ternyata cintaku tidak sekuat yang engkau harapkan. Harapan dan cita-cita yang kita bangun megahebat tidak membantu mengeluarkan masalah ini. Rahimku yang siap untuk melahirkan buah cinta kita tidak bisa menjaga mimpi kita.
Aku harap kenangan yang terjalin dengan baik dan penuh mesra tidak berakhir setelah membaca surat ini. Sekali lagi aku minta maaf. Aku berharap bukan perempuan yang satu-satunya sebagai tujuan hidupmu.
Surat ini bertepatan dengan hari wisudamu. Hari yang kau tunggu untuk keberlangsungan kariermu kelak.
Indramayu, 14 Juni 2011
Kekasihmu yang tak berdaya
Muttabi’in tersungkur lemas dengan gelinangan air mata. Ia tampak sadar dan sedikit menaruh rasa iba. Bagaimanapun Nur Elvina tetaplah Nur Elvina. Tak ada kekuatan untuknya bisa menembus kemauan dirinya, kebebesan mencintai, dan terbang bersama lelaki pilihannya. Ia hanya seorang perempuan biasa yang diciptakan untuk menemani suaminya. (*)
Mahasiswa S1 Bahasa dan Sastra Arab UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.
Leave a Reply