Cerpen Risda Nur Widia (Republika, 17 Mei 2015)
Pagi itu, langit seperti beranak. Pria paruh baya yang setiap malam bertugas menjaga kampung tiba-tiba mengetuk kentongan keras. Orang-orang berkumpul mengitari keramaian tersebut. Mereka tercengang mendapati suara tangisan bayi laki-laki yang tergolek di dekat parit.
Kampung yang semula tenang menjadi gaduh. Setiap pasang mata yang berkumpul di tempat tersebut memandang dengan penuh tanya; tentang riwayat seorang bayi yang tergelatak tanpa sehelai pakaian. Puak-puak orang itu menatap iba seraya mengeluarkan kalimat-kalimat umpat kepada seorang yang begitu tega membuang bayi mungil tersebut.
Barangkali, bayi itu baru saja dilahirkan; sebelum akhirya dibuang. Terlihat kulitnya yang masih merah; tertinggal bercak-bercak bekas darah. Hatiku pun ikut bergetar melihat nasib bayi malang itu. Aku bergumam di dalam hati: Siapa orang tua yang dengan kejam membuang anaknya di tempat ini; bayi tak berdosa tanpa selapis pakaian yang melekat di tubuhnya? Bibir bayi yang masih halus itu mulai biru menahan bekap udara dingin. Tak luput, benjolan kecil merah berserak di kulitnya; bekas gigitan nyamuk yang kelaparan.
Orang yang pertama kali menemukan bayi itu. “Aku melihat bayi itu jatuh dari langit.”
Sahut yang lainnya. “Maksudmu?”
“Bayi itu tiba-tiba saja jatuh dari langit.”
“Kau gila!”
Bayi itu mendadak menangis. Akan tetapi, tak ada seorang pun yang berani merangkulnya; memberikan pelukan hangat. Jeritan bayi itu semakin kencang, hingga membuat hati siapa saja menjadi ngilu dan pedih mendengarnya. Aku pun bertambah tak tega melihat bayi tak berdosa tersebut.
Ah, aku mulai dipusingkan dengan pertanyaan di dalam hati: Siapa orang tua tanpa hati yang tega membuang bayi ini? Mengapa bayi yang sehat ini harus dibuang? Bahkan, aku melihat, ketika bayi itu menangis, masih merekah segurat wajahnya yang tampan di atas air muknya.
Mungkin, bayi ini adalah anak seorang pelacur yang tak pernah menghendaki kehadirannya; milik seorang pasangan muda di luar nikah; atau pasangan selingkuh yang telah terjebak dalam suatu hubungan yang rumit. Hatiku semakin pedih mendengarkan tangisan bayi itu. Sedangkan, orang-orang masih saja mendebatkan riwayat si bayi.
“Aku tidak berbohong! Aku melihat bayi ini jatuh dari langit!”
“Kau gila! Langit tidak dapat beranak!”
“Tetapi, bayi itu benar-benar jatuh dari langit!”
“Kau pasti sedang mabuk saat melihatnya! Bagaimana bisa bayi jatuh dari langit! Seandainya benar bayi ini jatuh dari langit, pasti ia sudah mati karena setiap tulangnya remuk.”
“Tetapi, aku tidak berbohong! Demi Tuhan! Aku melihatnya terjatuh dari langit!”
Di tengah keributan, bayi mungil tersebut samakin kedinginan menahan udara gigil pagi. Bayi itu pun hanya bisa memberi isyarat dengan terus menangis; meminta pertolongan. Namun, belum ada satu pun orang yang mau menyelamatkannya. Akhirnya, karena merasa geram sekaligus iba, aku meraih bayi itu. Aku menimang-nimang bayi tersebut kemudian menyusuinya. Sosok mungil itu terdiam. Ia mulai tampak tenang dalam dekapanku.
Kepala desa baru datang. “Kalau memang bayi ini benar-benar turun dari langit maka bayi ini adalah rezeki yang Tuhan titipkan untuk kita. Siapakah yang rela mengasuh bayi ini dengan ikhlas?”
Suasana menjadi hening. Tidak ada seorang pun yang memuntahkan kata. Mereka hanya saling pandang. Keributan yang semula pecah mendadak hening. Begitulah. Karena tidak ada seorang yang bersedia merawat bayi itu, kepala desa akhirnya secara serampangan menujukku.
Kepala desa menatapku. “Untuk sementara, bayi ini kau yang merawatnya, Lastari. Kau tidak keberatan? Bukankah, kau juga kini hidup seorang diri? Kau bisa memiliki teman di rumah; selama kami mencari orang tua kandung si bayi.”
Aku sama sekali tak menjawab. Aku juga tidak menolak keingian kepala desa. Tetapi, aku akhirnya membawa pulang bayi ini. Sepanjang jalan, aku menimang-nimang bayi, membayangkan sebuah rumah yang hangat dengan tangisan seorang anak di dalamnya. Aku pun tidak akan lagi merasa sendirian. Kehadiran bayi ini bisa menjadi oase baru di dalam rumahku yang selalu murung. Ya, setidaknya aku memiliki teman hidup baru; setelah suamiku meninggal dua tahun lalu.
***
Dua tahun terakhir aku memang hidup dalam kesedirian. Di dalam rumahku yang luas, kesedihan seakan menggumpal pekat pada setiap ruangan. Tak ada pekik tawa atau tangis bayi yang selalu aku idam-idamkan setelah perkawinan. Mimpi-mimpiku semakin kabur, ketika suamiku meninggal karena sebuah kecelakaan sepulang dari kantor. Setiap hari, aku hanya mengurung diri di dalam kamar; mengutuki nasib buruk yang dilimpahkan Tuhan.
Akan tetapi, pagi itu Tuhan seperti memberikan hadiah untukku. Tuhan menganugerahiku seorang bayi mungil yang secara perlahan menghidupkan rumah. Suara tangisan bayi itu terasa begitu hangat terdengar. Aku merawat bayi itu seperti mengasuh anakku sendiri.
Bahkan, sering juga ketika aku mengurus bayi malang ini, berkelindan pikiran ganjil di dalam benakku. Apalagi, saat aku melihat sepasang mata dan raut wajahnya yang tanpa dosa. Bayi ini seakan tidak berasal dari bumi. Apakah benar bayi ini jatuh dari langit, atau bayi ini adalah makhluk dari surga yang sengaja Tuhan turunkan untukku? Telisikku penuh curiga.
Gesit. Aku menggelengkan kepala. Langit tak mungkin dapat melahirkan seorang anak. Aku membuang pikiran-pikiran tak masuk akal itu. Setiap anak adalah rahmat yang dititip Tuhan. Namun, akhir-akhir ini, di televisi aku memang sering melihat tayangan tentang orang-orang yang tega membuang-membunuh darah dagingnya sendiri. Orang-orang yang dapat dengan mudah mencampakkan berkah yang dititipkan Tuhan kepadanya. Mungkin, bayi ini adalah salah satu dari sekian bayi-bayi tak dikehendaki itu.
Bayi itu mendadak menangis; aku gesit memeluknya; menimang-nimang seraya menyusuinya. Aku mengamati garis wajahnya yang polos tak berdosa. Aku melihat setitik cahaya yang begitu terang dari sepasang mata jernihnya.
Pekikku lirih. “Hanya orang-orang jahat yang tega membuang anaknya sendiri. Apakah mereka pernah berpikir: Begitu banyak orang- orang yang memimpikan seorang anak hingga melakukan berbagai hal? Tetapi, mengapa rezeki yang sudah di depan mata harus dibuang.”
Aku mengecup kening bayi yang kembali tertidur tenang di dalam pelukkan. Namun, tiba-tiba, terdengar teriakan dari luar. Aku mendengar seorang wanita menjerit-jerit keras ketakutan.
“Tolong! Tolong! Tolong! Ada bayi jatuh dari langit!”
Suara wanita itu melengking, seperti moncong senapan yang ditembakkan. Orang- orang pun bergegas berkumpul; mengerumuni seorang wanita dengan tubuh bergetar; melihat seonggok tumbuh mengeliat-geliat di tepi jalan. Sesosok bayi perempuan terkapar tanpa pakaian; masih berlumuran darah; terlihat malang. Bayi itu pun menangis kencang.
Kepala desa lekas datang menuju lokasi. “Bayi lagi?”
Wanita itu menjelaskan. “Bayi itu jatuh dari langit!”
“Gila! Tak mungkin bayi jatuh dari langit!”
“Tidak! Aku tidak berbohong! Langit melahirkan seorang bayi!”
Wanita itu mencoba menjabarkan yang dilihat sebelumnya. Tubuhnya pun masih bergidik ketakutan dengan selapis wajah pucat; melihat sosok mungil berlumur darah yang mengerang di tengah jalan. Bayi itu mengeliat-geliat seakan meminta pelukan. Namun, tak ada seorang pun yang mendekat untuk memungutnya.
Akan tetapi, seperti sebuah mimpi, tiba- tiba di tengah ketegangan warga, langit sekali lagi memuntahkan segumpal daging ke tepi jalan. Setiap mata melihat kejadian aneh itu. Terperangah. Segumpal daging menggeletar-geletar di jalan, hingga akhirnya berubah menjadi sesosok bayi yang menangis nyaring. Beberapa orang pun menjerit ketakutan memandang kejadian ganjil tersebut.
“Langit benar-benar telah melahirkan!”
“Ini sudah di luar hukum-hukum alam!”
“Dunia pasti akan kiamat!”
Aku ikut tercenung memandang fenomena tak masuk akal itu. Aku pun mulai mendengar dengung doa-doa yang dipanjatkan. Orang-orang itu tampak panik melihat dua sosok bayi yang dimuntahkan oleh langit. Kedua bayi itu menangis bersamaan.
Aku memecah kepanikan setiap orang. “Bukankah kalian pernah bilang kalau bayi- bayi itu adalah rezeki yang dititpkan oleh Tuhan. Mengapa kalian hanya memandangnya?
Apakah kalian tidak ingin merawat rezeki yang dititipkan Tuhan?”
Orang-orang itu hanya saling menatap; tidak berani mendekat. Sedangkan, dua sosok bayi yang menggelepar di tepi jalan, terus meraung meminta susu dan pelukkan. (*)
Risda Nur Widia. Belajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa. Cerpennya telah tersiar di berbagai media.
Leave a Reply