Cerpen Poetry Ann (Republika, 24 Mei 2015)
Duduk sini, Nak. Dekat pada bapak
Jangan kau ganggu ibumu
Turunlah lekas dari pangkuannya
Engkau lelaki, kelak sendiri
Suara Iwan Fals terdengar dari stasiun radio favoritnya menuntun ingatannya menelusuri inci demi inci kenangan yang terpampang dalam sebuah foto buram kecokelatan akibat termakan usia di tangannya.
Terlihat di sana seorang bapak tua bertubuh kurus yang terbungkus kaus lusuh tengah berselonjor dengan peluh membanjir, mengibas-ngibaskan caping ke tubuhnya sembari melambaikan tangan sebelahnya, memanggil seorang bocah yang kelihatannya tak mau beranjak dari pangkuan ibunya yang tengah sibuk di depan tungku.
Sebuah potret yang tanpa sengaja diabadikan Sukarni, pamannya yang ketika itu baru saja datang hendak memamerkan tustel yang baru dibelinya setelah setahun lamanya menabung itu, tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata, ditikam rasa bersalah yang ternyata tak juga bisa dilupakannya.
Rasa bersalah yang selama ini tak disangkanya juga ditanggung bapaknya. Sengaja disembunyikan berpuluh-puluh tahun lamanya, berpura-pura bersikap baik-baik saja di hadapannya demi melindunginya. Kesadaran yang datang begitu terlambat.
Untuk beberapa saat ia masih bisa menahan diri untuk tak terisak, tapi beberapa detik setelahnya ia menyerah. Dibiarkannya isakan itu meluncur dari dalam dirinya. Menjebol kekuatan yang selama ini selalu ditunjukkan pada orang-orang di sekelilingnya. Isak penyesalan yang tak lagi mampu disembunyikan. Setidaknya dari diri sendiri.
Masih lekat di ingatannya, genggaman tangan sang bapak yang langsung menyambutnya begitu dirinya muncul dan duduk di sisi tubuhnya yang terbaring lemah, di ranjang rumah sakit yang sudah bertahun-tahun ditempatinya. Genggaman hangat sekaligus dingin disertai geletar yang begitu hebat dirasakannya.
Seperti ada beban yang entah apa, yang hendak dikatakan bapaknya, tapi mulutnya tak mampu melakukan itu. Mulut bapaknya berusaha bergerak, tapi tak ada suara sedikitpun yang bisa tertangkap telinganya. Sampai akhirnya ia putuskan untuk merunduk, memeluknya, merapatkan telinganya tepat di depan mulut bapaknya.
“Ibumu.” Hanya kata itu yang jelas tertangkap telinganya. Selebihnya samar. Tapi, satu kata yang ditangkapnya itu sudah cukup membuat wajahnya pucat. Kesalahan masa lalu yang selama ini disembunyikannya selalu kembali menyiksanya tiap kali kata “ibumu” disebut di hadapannya.
Ia baru saja hendak menjauhkan telinganya dari mulut bapaknya ketika tangan kiri bapaknya menahan pundaknya. “Bapak tahu, Mar,” ucap bapaknya lagi, pendek. Setelahnya, ia kembali bersusah payah mengatur napas.
“Tahu apa, Pak? Apa yang sebenarnya ingin Bapak katakan?” Wajahnya semakin pucat. Sebenarnya ia tak mau bapaknya itu mengulangi apa yang berusaha ingin dikatakannya karena takut lagi-lagi akan menyinggung kata “ibumu” yang sudah dianggapnya seperti lecut dari neraka saja. Tapi, rasa penasarannya memaksanya untuk kembali membantu bapaknya mengulangi apa yang ingin disampaikannya.
Ia memberanikan dirinya untuk mendengarkan apa yang ingin disampaikan bapaknya itu sekali lagi. Ia membiarkan bapaknya menahan pundaknya. Membiarkan bapaknya kembali mengatur napas, lalu memeluknya lagi. Merapatkan telinganya ke mulut bapaknya lagi untuk mendengarkan dengan lebih awas apa yang akan dikatakan bapaknya.
“Ibumu,” bapaknya kembali membuka mulut. “Ti-dak ter-ba-kar sen-di-ri, Ba-pak ta-hu i-tu,” lanjut bapaknya dengan napas terpatah-patah. Suaranya masih samar, tapi kali ini cukup bisa terdengar daripada sebelumnya.
Ia terhenyak. Wajahnya semakin pucat. Jantungnya nyaris copot untuk sedetik. Air mata sudah menggenang di kelopak matanya. Penyesalan. Ketakutan. Dosa. Dan semua rasa yang disembunyikannya, yang selama ini terus menyiksanya berbarengan keluar menghantamnya seperti hendak membalas dan menjerumuskannya pada titik kesakitan yang selama ini begitu ditakutinya, begitu dihindarinya. Tubuhnya bergetar. Bapaknya tahu itu.
Bapaknya tersenyum. Dieratkannya genggamannya pada tangan anak semata wayangnya itu. “Ba-pak ta-hu ka-mu tak se-nga-ja me-laku-kan-nya. Wak-tu i-tu ka-mu ma-sih ter-la-lu ke-cil un-tuk me-maha-mi-nya. Se-mua-nya s-al-ah Ba-pak. Se-andainya Ba-pak meng-ambil a-lih dir-rimu da-ri pang-kuan i-bu-mu wak-tu i-tu se-mua-nya tak a-kan ter-ja-di. Ba-pak-lah yang sal-ah. Ba-pak ter-la-lu e-gois. Ba-pak ma-lah me-marahi-mu,” bisiknya lagi. Lalu lenyap. Sudah payah ia mengatakan semuanya. “Ba-pak minta ma-af.”
Isak dan sedu dari anak semata wayang yang masih saja memeluknya terdengar beberapa saat setelahnya. Dirasakannya pundak anaknya itu naik turun begitu cepat dan ia membiarkan semuanya berlangsung. Ia biarkan anaknya itu menumpahkan segala apa yang dirasakannya kini lewat tangisan. Ia ingin melihat anaknya itu mengadu padanya. Ia ingin, setidaknya untuk terakhir kalinya bisa menjadi orang yang dibutuhkan oleh anaknya itu. Ia juga ingin anaknya itu tahu bahwa ia tak sendirian menanggung rasa bersalahnya itu. Ada dirinya yang juga sama menderita. Ia rindu putra kecilnya.
***
Sementara itu, dalam kepala anak semata wayangnya, kejadian yang berusaha terus dipendam dan disembunyikannya berputar kembali. Bayangan ibu yang dengan sabar membujuknya agar pindah dari pangkuannya ke pangkuan bapaknya, lengan keriput ibu yang tak lelah bergonta-ganti posisi, dari sibuk menyurungkan kayu bakar agar tungku di hadapannya tetap menyala, mengaduk nasi yang mulai tanak di kendil, hingga membolak-balikkan ikan asin yang tengah digorengnya sembari sesekali mengusap keringat yang menetes dari pelipisnya, juga air mata yang kadang menggenang akibat terkena kepul pega. Sementara diirnya kekeuh ingin tetap berada di pangkuan ibunya.
“Ibu mau ambil piring dulu sebentar, Mar. Perkataan ibunya barusan tak ayal membuatnya kesal. Ia tak mau membiarkan ibunya menurunkannya. Tapi, ikan asin dalam penggorengan yang nyaris hangus memaksa ibunya untuk mengeluarkan tangisan sekencangnya sembari tak henti memukul ibunya dengan kepalan tangan kecilnya.
“Jangan manja gitu, Mar! Kamu itu bocah lannag!” Melihat tingkah anak semata wayangnya barusan, bapaknya dongkol. Untuk menghilangkan rasa dongkolnya, ia memilih beranjak dari tempatnya menggelosor, meraih sarung yang tergantung di paku yang menancap pada dinding bilik rumahnya, lalu lekas melangkah menuju sumur di belakang rumah untuk mengambil wudhu.
Anak semata wayangnya sama sekali tak menggubris. Rengekannya justru kian menjadi. Kini ia tak hanya melampiaskan kekesalannya lewat pukulan tangan kecilnya, tapi juga lewat sepasang kakinya yang menghentak-hentak, menghantam lantai tak karuan, menahan langkah ibunya dengan cara menarik-narik samping yang dikenakannya hingga tubuhnya terseret. Padahal, letak piring yang akan diambil ibunya hanya berjarak beberapa langkah dari tungku.
Ibunya tak ambil pusing. Dibiarkannya anaknya itu menggelosor terseret-seret oleh langkahnya hingga ia mendapatkan piring yang ingin diambilnya. Setelahnya, ia mengangkat anaknya tadi ke dalam gendongannya kembali, namun rupanya anaknya itu terlanjur kecewa dan terluka. Tangisan dan pukulan dari tangan kecilnya tetap tak berhenti menghujani tubuh, bahkan wajah ibunya.
Dalam keadaan seperti itu, ibunya tetap melanjutkan pekerjaan memasaknya yang belum rampung. Ia kembali menuju tungku untuk mengangkatikan asin langsung ke piring yang diambilnyatadi.
“Mar mau makan? Emak suapin, ya?” tawarnya lembut dengan tangan kanan yang kembali sibuk menambahkan kayu bakar berukuran kecil untuk membuat nyala tungkunya tetap terjaga. Ia berharap anak dalam gendongannya berhenti merengek dan berhenti memukulinya. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya. Anak semata wayangnya itu malah menghantam piring berisi ikan asin yang dipegang di tangan kirinya hingga ada beberapa yang terjatuh.
“Mar!” Ibunya refleks menyentak. Merasa kembali dilukai dang ibu, Mar mengamuk dalam gendongan ibunya. Ia berontak memaksa turun sembari kembali begitu saja melayangkan pukulan tangan kecilnya ke wajah ibunya, hingga ibunya hilang keseimbangan, lalu menyenggol penggorengan yang masih berisi minyak panas bekas menggoreng ikan asin tadi dan mengenai lengannya. Belum sempat berusaha menghilangkan panas dan perih karena terkena tumpahan minyak panas, disadarinya ujung sampingnya terbakar. Ibunya bergegas bangkit, melepas Mar dari gendongannya lalu berusaha memadamkan api yang membakar ujung sampingnya. Nahas, alih-alih memadamkan, yang terjadi malah sebaliknya. Api yang membakar ujung sampingnya merambat dengan begitu cepat hingga membakar sebagian tubuhnya.
Bapaknya yang muncul dari belakang rumah pun terkejut dengan apa yang dilihatnya, lalu lekas berusaha memadamkan apinya dengan segala cara. Sayangnya, usahanya itu gagal.
Mar shock. Usianya yang masih terlalu kecil membuatnya tak tahu apa yang harus dilakukannya. Menyaksikan kejadian tersebut, ia hanya bisa menangis sejadinya sembari menjerit, memanggil-manggil ibunya yang kini jasadnya tengah diratapi bapaknya.
Jauh jalan yang harus kau tempuh
Mungkin samar bahkan mungkin gelap
Tajam kerikil setiap saat menunggu
Engkau lewat dengan kaki tak bersepatu
Suara penyiar radio yang menirukan kembali beberapa lirik awal lagu Iwan Fals dengan suara cemprengnya menarik Mar kembali pada kenyataan bahwa dirinya tak mungkin bisa kembali ke waktu di mana ia pada akhirnya harus menyembunyikan rasa sesal yang terus-menerus menikamnya untuk memperbaiki segalanya. Air matanya menderas. Foto buram kecokelatan di tangannya luruh di pangkuannya. (*)
Kosakata:
Pega: kepul asap yang hitam, yang menimbulkan jelaga
Keukeuh: terkesan memaksa
Lanang: bocah laki-laki
Poetry Ann, kelahiran Serang, 20 September. Kini tengah merampungkan buku kumpulan cerpen tunggalnya berjudul “Watusaka.” Bergiat di Rumah Dunia.
Leave a Reply