Rudi Rustiadi

Tanda

0
(0)

Cerpen Rudi Rustiadi (Republika, 31 Mei 2015)

Tanda ilustrasi Rendra Purnama.jpeg

Tanda ilustrasi Rendra Purnama

“Ini sudah yang kedua kalinya,” ucap Siti dalam hati. Ada perasaan takut yang bergejolak menyelimuti pikirannya. Sibiran kaca dari bingkai foto keluarga yang terjatuh mulai ia bersihkan. Meski, perasaannya masih diliputi prasangka buruk yang akan terjadi kepada keluarganya. Siti lantas meminta pandangan ayah ihwal peristiwa yang baru saja dialaminya.

“Itu hanya prasangkamu.” Ayah tidak menganggap itu hal genting. Ia malah berasumsi anaknya sudah menjadi korban sinetron di televisi. Itu tersirat karena mata ayah tetap terpusat pada lembaran koran yang ia baca. Sesekali mulutnya meneguk kopi pahit panas yang Siti buat, sebelum peristiwa jatuhnya bingkai foto keluarga yang tergantung di dinding ruang tamu terjadi. Foto dirinya bersama ayah, ibu, dan Ratna, kakak Siti.

Setelah menikah, Ratna ikut bersama suaminya yang bekerja di Kalimantan. Sedangkan, Siti yang memang mendapatkan jodoh di daerah sendiri memilih tinggal di Serang, menemani ayah. Ia tak tega jika harus meninggalkan lelaki gaek itu sendirian setelah kepulangan ibu ke sisi Tuhan.

Seketika Siti teringat kakaknya yang kini tinggal di luar pulau itu. Dulu mereka sangat akrab, sering bercerita tentang segala hal. Perihal nilai jelek yang tertera di kertas ujian, ihwal murid pindahan yang tampan, atau masakan mereka yang terlalu asin.

“Ayah, apakah itu bukan satu pertanda buruk akan terjadi? Aku mengalaminya berturut-turut.” Siti duduk bersila bersama pikiran yang kalut di emper rumah, menyampingi ayah yang sedang membaca koran. Awan tersibak dan sinar matahari langsung menerpa dari timur. Sejenak tak ada sepotong suara pun yang keluar dari mulut keduanya. Melihat anaknya yang pasi karena dihinggapi rasa kecemasan ayah kemudian angkat bicara.

“Sudah, lupakan saja! Hilangkan prasangka buruk di kepalamu. Bingkai itu jatuh, pertama karena kamu jatuhkan saat membersihkan debu dengan kemoceng, yang tadi itu karena tertiup angin.” Ayah meyakinkan Siti.

“Tapi?…”

“Kamu percaya saja itu sebagai peristiwa yang alami! Tadi angin bertiup cukup kencang, jadi wajar jika bingkai itu jatuh.” Sergah ayah, sebelum Siti melanjutkan ucapannya.

“Benarkah ini bukan pertanda buruk akan terjadi? Aku sangat cemas.”

Baca juga  Bulir-bulir Rindu

Ayah kembali tak menggubrisnya. Siti beranjak dari emper rumah. Ia merasa kecewa firasatnya tidak dihiraukan ayah. Siti masih menyimpan prasangka-prasangka buruk dalam hatinya. Dua kali berturut-turut bingkai foto luruh di hadapan Siti dalam waktu beruntun, itu membuat dirinya diselimuti rasa ketakutan. Terlebih lagi ini bukan pagi yang biasa. Saat ini adalah hari yang bersejarah dalam hidup Siti, saat ia dipersunting oleh Beno, suami Siti. Ini hari ulang tahun pernikahan Siti yang kedua. Maka dari itu, ia sangat khawatir sekali.

“Semoga tidak akan terjadi apa-apa. Ya Allah, lindungilah keluargaku!” Harap Siti dalam hati, ketika melangkahkan kaki menuju dapur.

***

Senja mulai meremang. Suami Siti pulang seusai kerja dengan keadaan baik-baik saja. Kesibukannya di kantor pun berjalan dengan lancar. Tidak ada kejadian-kejadian yang dicemaskan Siti terjadi padanya. Lega. Dada Siti terasa lapang. Mata istri karyawan bank itu justru terbeliak saat Beno pulang tidak dengan tangan kosong. Beno tidak lupa membawa hadiah berupa cincin emas, kado untuk istri tercintanya. Serta beberapa buah tangan lainnya: seloyang martabak dan buah-buahan segar untuk ayah.

Kedua ujung bibir mungil Siti meruncing. Riang. Pipi Siti serta-merta merona kemerahan. Beno pulang membawa kebahagiaan untuk Siti, sama sekali tak pernah ia bayangkan. Prasangka buruk yang sedari tadi pagi menggelayuti pikirannya sirna dan bertukar menjadi perasaan yang gembira, mendapati kejutan dari suaminya. Siti mengucap syukur kepada Yang Mahakasih karena dianugerahkan keluarga harmonis.

“Wajahmu semringah. Apa yang diperbuat mantuku kepada putri tercintaku ini?” Ayah menggoda Siti yang sedang mencuci piring kotor sehabis makan malam tadi.

Siti menanggapinya dengan selembar senyum. Tidak ada yang membahagiakan hati seorang wanita selain mendapat hadiah dari orang yang dicintainya.

“Bagaimana, masih percaya kalau bingkai foto jatuh itu pertanda tidak baik?”

Siti menggelengkan kepalanya. Rambutnya yang diikat kuncir kuda bergoyang ke kanan dan ke kiri. Senyum kembali terlukis di bibir mungilnya. Dadanya dipenuhi rasa senang.

“Teruslah berdoa! Agar Allah senantiasa melindungi keluarga kita. Menjauhkan kita dari semua mara bahaya.”

“Tak terasa sekarang sudah dua tahun, Siti menjadi istri mas Beno.” Sekali lagi Siti tersenyum.

Baca juga  Suara Muazin dari Menara

Barakallah.”

Siti kembali membersihkan piring-piring kotor di hadapannya. Membayangkan hal-hal indah yang bakal terjadi di tahun-tahun mendatang bersama suaminya.

Malam membalut Kota Serang. Kelam begitu rakus melahap suara hingga suasana begitu senyap. Siti mengunci pintu rumah, menyelimuti jendela dengan gorden. Ia kemudian berjalan ke kamar mandi. Beno terlihat sudah berpiama sedang membaca majalah di atas tempat tidur dengan kacamatanya. Sedangkan, ayah sudah terlelap seusai menunaikan shalat Isya.

Di kamar mandi Siti berteriak kegirangan saat keluar. Kegembiraan Siti memuncak setelah ia melihat dua garis merah di test pack yang ada di tangannya. Rupanya Siti memeriksa kehamilannya setelah sepekan ini telat kedatangan tamu bulanan. Beno yang mengetahui itu ikut larut dalam kegembiraan. Sebuah kecupan mesra kemudian mendarat di kening Siti.

Sebelum tidur, Siti kembali teringat dengan Ratna. Ia ingin berbagi kebahagiaan dengan kakaknya yang sudah lama tidak bersitatap itu. Dengan perasaan teramat bahagia Siti mengirim pesan singkat kepada kakaknya untuk datang ke Serang besok. Ratna membalasnya dengan ucapan rasa syukur dan doa perihal kehamilan adiknya. Serta menyanggupi permintaan Siti untuk berkunjung ke Serang. Sudah lama juga ia tak pulang ke kampung halamannya. Rindu dengan ayah dan Siti. Kangen makan ketan bintul, makanan khas Serang yang digemari para raja semasa kejayaan Kerajaan Banten. Dulu ketika Ratna dan Siti masih kecil ibu sering membuatkannya.

Setetes air menitik di sudut mata Siti, air mata bahagia. Wajar jika Siti menyambutnya dengan sukacita. Ini merupakan hal yang ditunggu-tunggu selama dua tahun pernikahannya.

Ketika akan menaruh handphone di meja rias dekat ranjang, tak sengaja tangan Siti menjatuhkan bingkai foto yang dipajang di atasnya. Bingkai foto yang menghias gambar dirinya dengan Ratna yang sedang berlenggok di depan area reuntuhan Baluarti. Kaca yang melindungi foto itu pecah. Sibirannya tercecer berhamburan di atas tegel.

***

Tidak lama lagi Ratna akan datang. Pertemuan ini akan menjadi pertautan dua jiwa yang penuh dengan kerinduan. Siti ingin menjamu kakaknya dengan istimewa. Tadi pagi ia sudah pergi ke pasar membeli ketan bintul kesukaan kakaknya. Ia juga sudah menghidangkannya di meja makan. Apa yang ia sajikan sungguh menggugah selera. Sebakul kecil nasi putih, pecak bandeng, rabeg, sop, sambal goreng, lalapan hijau, dan tiga piring ketan bintul dengan taburan serundeng. Hmm… sungguh nikmat!

Baca juga  Ketika Angin Berhenti Mengalun

Siti kemudian mendampingi ayah yang sedang larut menghadap televisi di atas lincak bambu di ruang tengah. Sedang asyiknya menikmati acara musik pandangan Siti tertuju pada sebait running text: Sebuah pesawat terbang dari bandara … menuju Soekarno-Hatta terjatuh di Laut Jawa.

Siti terhenyak. Matanya tak berkedip. Mulut setengah terbuka dengan bibir bergetar, setelah melihat berita tersebut. Segera ia berusaha mengambil ponselnya, menghubungi kakaknya. Tak ada sahutan. Handphone Ratna tidak aktif. Wajah Siti terlihat pasi bercampur panik.

Mata Siti berkaca-kaca. Isakan datang menyusul. Dan ayah terbatuk, kemudian menarik napas panjang. Selebihnya hanya ada kelengangan yang mencekam seluruh penghuni di ruang tengah. Ayah kembali terbatuk. Lelaki paruh baya itu tahu dirinya adalah rujukan dan narasumber untuk dimintai pendapat. Maka ayah ingin berkata sesuatu. Namun, lidahnya terasa kelu.

Untuk ketiga kalinya ayah terbatuk dan gagal mengucapkan sesuatu. Bahkan, orang tua itu hanya termangu ketika Siti menatapnya, meminta nasihatnya. Suasana masih hening. Kecuali desah-desah panjang kedua bapak-beranak.

“Mungkin masih di pesawat.” Ayah berbaik sangka. “Dugaan hanyalah kekhawatiran. Tidak selalu pertanda buruk akan terjadi. Teruslah berdoa! Agar Allah senantiasa melindungi keluarga kita.”

Siti kemudian mulai teringat bingkai foto yang terjatuh untuk ketiga kalinya di kamar menjelang tidur. Bukan hanya tadi malam, melainkan tiga kali berturut- turut kemarin. Pikirannya kembali dirasuki prasangka buruk. Apakah ini adalah pertanda akan terjadinya sesuatu yang jelek? Rasa takut kembali hadir di pikiran Siti. Ia sangat yakin peristiwa kemarin merupakan sebuah tanda, entah baik atau buruk. Namun, kali ini Siti berusaha berbaik sangka akan takdir Allah. Ia menghapus air mata yang mengalir di ceruk pipinya. (*)

 

Rudi Rustiadi, tim Tur Literasi Jawa 2014. Belajar menulis di Rumah Dunia.

 

Loading

Average rating 0 / 5. Vote count: 0

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!