Cerpen, Gde Aryantha Soethama, Kompas

Belukar Pantai Sanur

Belukar Pantai Sanur - Cerpen Gde Aryantha Soethama

Belukar Pantai Sanur ilustrasi Deden Hendan Durahman/Kompas

4
(2)

Cerpen Gde Aryantha Soethama (Kompas, 15 November 2020)

DUA orang pecalang bergegas mendekati tiga lelaki hendak ke pantai, masing-masing menggendong ransel dengan tangkai pancing menyembul. Petugas keamanan desa adat itu menghentikan langkah mereka, persis tatkala kaki mereka menyentuh pasir.

“Kami mau mancing, Pak.”

“Boleh, tapi tetap pakai masker, jaga jarak,” perintah pecalang yang tubuhnya kekar dan berewok.

Tiga pemancing itu saling pandang, mengeluarkan joran dari ransel, memegangnya seperti menggenggam senapan serbu, untuk meyakinkan joran itu sungguh-sungguh untuk mancing, bukan buat alasan agar bisa lolos ke pantai.

“Pasti, Pak. Tidak diperintahkan menjauh kami pasti jaga jarak. Dekat-dekat bisa membuat tali pancing kami melilit.”

Jawaban itu tidak membuat dua pecalang tersinggung, malah tersenyum, pemancing juga tersenyum. Tapi senyum itu ngumpet di balik masker, cuma dahi dan alis mata mereka tampak sedikit bergerak-gerak. Itu cukup pertanda mereka saling mengerti, dan tetap mencoba riang dalam kesusahan menghadapi wabah korona.

Pantai Sanur dipagut sepi sejak wabah korona merebak. Joging trek yang biasanya riuh oleh pejalan kaki dan suara bel kring… kring… pesepeda, sudah lama sepi sendiri. Jalan berpaving yang membentang sepanjang pantai tertimbun pasir, karena tak seorang pun diizinkan melintas. Hotel, vila, dan warung-warung tutup. Celah-celah masuk ke pantai yang mudah dijumpai di antara warung dan penginapan, dijaga ketat para pecalang mengenakan baju, kain dan destar hitam, serta saput poleng hitam-putih menyerupai papan catur. Hanya nelayan dan orang-orang melakukan kegiatan upacara adat dan keagamaan diperkenankan ke pantai.

Jika petang mulai turun, sepanjang pantai Sanur biasanya diguyur senda gurau, gelak tawa dan goyangan riang gembira, indah oleh redup cahaya dari restoran atau pub, menemani turis-turis makan malam dimanjakan live music seperti blues, country, didendangkan dengan perkusi, gitar, saksofon, biola, cello atau akordion. Tapi, kini pantai benar-benar sunyi, sungguh-sungguh sepi. Senda gurau dan kebahagiaan itu tiba-tiba lenyap. Warung, rumah makan dan beranda hotel kumuh berdebu. Taman-taman tak terurus, kolam renang lumutan, dikotori daun-daun gugur.

Anjing-anjing yang biasanya bermain-main di pantai tak tampak seekor pun. Entah ke mana mereka. Cuma pecalang duduk berteduh di bawah pohon-pohon waru atau ketapang menjaga pantai sepanjang hari, seperti dilakukan pecalang berewok dan temannya yang jangkung itu.

Mereka bertugas menanyai dengan rinci siapa saja yang hendak ke pantai. Siapa tahu ada yang mengaku-ngaku nelayan atau berpura-pura memancing cuma agar bisa berendam di laut. Yang hendak menghaturkan sesaji untuk upacara biasanya lebih dari seorang. Tapi, dua pekan lalu, mereka mengusut seseorang yang mengaku hendak sembahyang ke laut. Ia memakai kemeja dan kain putih-putih, destar putih, mengenakan kacamata gelap dan masker hitam.

Baca juga  Sepasang Lembu Ibu dan Wak Lam

“Maaf, Pak,” ujar orang itu takzim mencakupkan tangan. “Saya hendak meditasi di pantai.”

“Meditasi di rumah saja, situasi genting, korona lagi gawat,” saran pecalang jangkung.

“Sudah saya coba, tapi tidak bisa sekhusyuk kalau meditasi di Pantai Sanur. Saya mendapat wahyu harus merenung di pantai. Maaf, izinkan saya, hanya setengah jam.”

Laki-laki itu mengeluarkan genta dari balik baju, menggoyangnya, menimbulkan bunyi nyaring berkelining. Mungkin untuk meyakinkan dua pecalang itu, ia berniat bermeditasi sepenuh hati. “Saya mau berdoa agar korona cepat berlalu, kembali ke asal, atau ke mana seharusnya mereka pergi, cukup sudah membuat gaduh di bumi. Saya berdoa buat kedamaian jagat raya.”

Dua pecalang itu saling pandang, akhirnya mengangguk bersamaan.

Hampir setiap menjelang tengah hari laki-laki berpakaian dan berdestar putih menutupi ubun-ubun itu ke pantai. Jika ketemu pecalang berewok dan jangkung itu, ia berhenti, mencakupkan tangan menyampaikan salam namaste, mengambil genta, menggoyangnya, menimbulkan suara klininggg… klininggg… mulut komat-kamit sejenak, seakan mendoakan kedua pecalang itu sehat dan selamat dari sergapan korona selama bertugas. Dan juga persetujuan ia diizinkan ke pantai.

Tapi pada hari kelima belas, pecalang jangkung itu curiga. “Kuingat-ingat setiap tiga orang pemancing itu ke pantai, laki-laki dengan genta pasti datang. Jarak kedatangan mereka tak lebih dua jam.”

Pecalang berewok tak mengerti. “Maksudmu, mereka janjian?”

Pecalang jangkung mengangguk. “Bisa ya, mungkin juga tidak. Boleh jadi juga tidak ada hubungan satu dengan yang lain.”

Dua pecalang itu kemudian mengingat-ingat, seorang dari tiga pemancing itu selalu berteduh di bawah pohon ketapang, kemudian masuk ke semak-semak yang berbatasan dengan beberapa pohon cemara laut. Menjelang tengah hari laki-laki berdestar putih itu pun muncul, mengikuti joging trek, duduk di pantai. Tak lama kemudian ia masuk ke belukar. Dua pecalang itu tak pernah menyaksikan laki-laki itu kembali ke jalan ia masuk. Pasti ia ke luar lewat jalan lain, menerobos belukar pantai itu untuk mencapai jalan utama.

Si berewok dan si jangkung saling tatap, sepakat bergegas ke semak belukar, kurang seratus langkah untuk mencapainya. Berewok sesungguhnya enggan menerobos belukar dengan pohon pandan itu, yang dulu ditumbuhi perdu ket-ket, di beberapa tempat tumbuh rumput hijau empuk. Ia terkenang di semak itu dulu sering mengencani penyanyi pub asal Filipina.

Berewok baru sampai pada lamunan wanita Filipina itu keranjingan masakan Bali, ketika si jangkung berteriak memanggilnya.

“Lihat… lihat…!” teriak si jangkung menunjuk ranting perdu. Ada tiga klip plastik berisi bubuk putih, mungkin kurang dua gram, ditempel dengan selotip di ranting katang-katang. Berewok memeriksa sekitar, menemukan dua bungkus lagi ditempel di batang waru, tempat ia dulu menyandarkan penyanyi Filipina itu, untuk membangkitkan gairah sebelum dengan rakus mengulum bibirnya yang tebal dan padat.

Baca juga  Ikan-ikan Penolong Bapak

“Ini sabu-sabu… pasti…. Kita harus lapor polisi. Aku mau ke polsek!” Berewok setengah berteriak. Tubuhnya merinding, dulu belukar ini buat bercumbu, kini tempat transaksi narkoba.

Di polsek ia diterima seorang intel. Berewok disarankan jangan bertindak sendiri, jangan gegabah. Ia pikir itu polisi belum lama bertugas di polsek. Sebagai pecalang yang sering terlibat mengamankan wilayah desa adat, membantu mengatur arus lalu lintas, Berewok kenal semua polisi dan intel di Sanur.

“Tapi polisi berpakaian preman itu baru kali ini kulihat di polsek,” ujar Berewok pada Jangkung.

“Terus, kita harus bagaimana?”

“Intel itu minta kita menjauh, bersembunyi saja, biarkan laki-laki itu tanpa curiga mengambil sabu-sabu. Polisi akan menyergapnya.”

Dua pecalang itu berlindung di balik pohon flamboyan di depan resto yang menjual makanan Indonesia, terkenal berkat sate ayamnya gurih, dan ikan bakarnya enak. Lewat tengah hari belum juga mereka melihat laki-laki itu muncul.

“Jangan-jangan ia curiga,” tebak Jangkung.

Berewok tak menjawab, pandangannya tak lepas-lepas ke arah semak belukar. Sekian saat berkelebat kembali pergumulan asmaranya dengan wanita Filipina itu. Jangkung berdebar-debar, dan heran bagaimana bisa Berewok dengan pandang penuh selidik terpaku terus ke belukar. Ia kemudian menepuk bahu Berewok, ketika laki-laki berpakaian dan berdestar putih itu berkelebat.

Laki-laki itu berdiri di bibir pantai, mustahil dikenali karena mengenakan masker hitam, kacamata gelap, seluruh tubuhnya dibungkus pakaian putih. Kepalanya ditutup destar. Beberapa kali ia menoleh kiri-kanan, memeriksa dan memastikan keadaan sekitar. Ia melangkah langsung ke semak, tanpa merasa perlu berpura-pura ke pantai bermeditasi.

“Pasti ia merasa aman karena tak melihat kita,” tebak Berewok berdebar menunggu dan membayangkan apa yang akan terjadi, bagaimana penyergapan itu, berapa polisi akan terlibat hanya untuk membekuk seorang pengedar narkoba?

Jangkung merasa ada yang tidak biasa setelah memperhatikan langkah laki-laki itu dari jauh. “Ini bukan laki-laki biasanya, bukan yang kemarin-kemarin,” tebak Jangkung. “Perhatikan ayunan tangannya, goyang pantatnya, beda. Jangan-jangan….”

Jangkung belum menyelesaikan omongan, ketika dua letusan bergema dari belukar. Cukup keras terdengar, karena pantai sangat sepi, laut lagi surut, ombak jauh di tengah, hanya menyisakan suara debur sayup-sayup sampai ke pantai, tak ada terdengar langkah orang melintas.

Mereka bergegas ke belukar, menyaksikan polisi itu muncul dari balik pohon sukun. Tangannya menggenggam pistol masih menuding langit. Di semak-semak, lelaki berpakaian dan berdestar putih terkapar bersimbah darah. Dua peluru mengoyak dadanya.

Berewok mendekati polisi berkaos oblong hitam itu, dengan tas melingkar di pinggang.

“Kenapa harus menembaknya, Pak? Bapak membunuh dia!” jerit Berewok.

“Saya teriak angkat tangan, malah dia mengambil senjata dari balik baju. Ya… saya habisi.”

Berewok mendekati tubuh tergeletak itu, membuka destarnya. Dadanya bergetar, rambut dan dahi lelaki seperti itu ia kenal. Ia tak percaya dengan siapa ia berhadapan ketika membuka masker laki-laki itu. Berewok berteriak memanggil Jangkung. “Sini…. lihat sini…!”

Baca juga  Malamnya Malam

Jangkung mendekat, berteriak. “Ini Jalu…. Benar Jalu…!”

“Iya Jalu… Jaluuuu…!” Berewok mendekap jasad hangat itu, temannya, pemimpin mereka.

“Kalian kenal dia?”

“Ini Jalu, Pak… Jalu!”

“Jalu? Siapa Jalu?”

“Kelian pecalang!”

“Kelian? Mana tahu saya itu Jalu. Kalau saja ia tidak merogoh senjata dari balik baju….”

Berewok mengambil genta yang masih dalam genggaman Jalu. Bunyi klining… klining… memecah sunyi ketika ia mengangkat genta itu, menunjukkannya dengan kesal kepada polisi yang ceroboh, dan tengah sibuk menelepon markas. Mereka tak pernah tahu mengapa Jalu mengeluarkan genta. Mungkin hendak memberi tahu dan meyakinkan, ia mau melantunkan doa diiringi genta.

Jalu sosok murah hati, senang berbagi, tapi tak betah bekerja di satu tempat. Ia berpindah-pindah bekerja di sekian restoran, hotel, vila, yang ada di Sanur. Mungkin karena ia tidak menikah kendati sudah empat puluh lebih, penghasilannya sering habis untuk membantu teman-teman. Karena begitu baik, ia dipilih menjadi ketua pecalang. Semua warga senang Jalu terpilih sebagai kelian pecalang. Sejak itu ia tidak bekerja di mana pun, hari-harinya semata buat mengurus seka pecalang.

Berkali-kali Berewok memejamkan mata, terus memeluk tubuh Jalu, bagai tak hendak melepaskan. Jangkung berusaha menenangkan Berewok yang tidak mengerti mengapa belukar ini menyodorkan kisah romantis, juga bencana besar. Dosa apa telah ia perbuat, sehingga harus menerima karma seburuk ini? Berewok seperti berada di alam mimpi berlapis-lapis. Mimpi berbingkai mimpi. Seperti khayal yang gelap berputar-putar, tapi nyata.

“Kalau saja aku tak melapor ke polsek… seharusnya tidak…!” jerit hati Berewok berulang-ulang. ***

.

.

Gde Aryantha Soethama, lahir di Bali, 15 Juli, pemenang Kusala Khatulistiwa Award tahun 2006. Ia jurnalis kawakan dengan karya seperti Menjadi Wartawan Desa, buku yang dipakai referensi menjalankan tugas-tugas jurnalistik sampai ini. Gde juga menulis buku-buku esai, seperti Basa Basi Bali (2002), Bali Tikam Bali (2004), dan Bolak Balik Bali (2006).

Deden Hendan Durahman, lahir di Majalaya, 6 Desember 1974. Menempuh kesarjanaan seni rupa di Institut Teknologi Bandung (ITB) dan pascasarjana seni rupa di Braunschweig, Jerman. Kini mengajar di Fakultas Seni dan Desain ITB serta UKM Maranatha Bandung. Berpartisipasi pada sejumlah pameran. Menjadi finalis Sovereign Asian Art Award 2020.

.
Belukar Pantai Sanur. Belukar Pantai Sanur. Belukar Pantai Sanur. Belukar Pantai Sanur. Belukar Pantai Sanur.

Loading

Average rating 4 / 5. Vote count: 2

No votes so far! Be the first to rate this post.

Leave a Reply

error: Content is protected !!