Cerpen A Warits Rovi (Republika, 29 Maret 2015)
Tangan Enju yang lembut memilah kembang. Mengusap tanah pusara ibunya. Sesekali ia menjumput tanah itu, lalu diciumnya. Matanya terpejam. Helai-helai rambut legam menjuntai dari selembar kain jilbab yang ia kenakan. O, air matanya rembes dan ia terisak. Bahunya terguncang. Ada tangis mengiris senyap senja, angin menyaput dengan wangi kamboja. Enju tertunduk. Wajahnya tepat mencium tanah bagian selatan pusara, tak peduli di dekatnya tengah berserak sobek kelopak kembang basah dan sabut kelapa yang menguar wangi kemenyan dengan asap tipis dan putih. “Ibu…..,” suara Enju mengambang ringan di bawah lanskap langit merah, bersamaan dengan kepak burung menuju sarang di rimbun daun kesambi.
Ziarah Kamis sore memang jadi momentum spesial bagi Enju. Sebab, pada hari itu ia seakan bertemu almarhumah ibunya. Kurun waktu 21 tahun ia telah belajar tegar dalam cekik kehilangan. Erri, sang ibu, harus meninggalkannya pada saat Enju berumur dua tahun. Ia meninggal setelah petir menyambar tubuhnya ketika ia manjha’ di Saba Laok.
Dalam isak yang dalam, Enju melirik pohon Angsana yang berdiri tepat sebagai batu kijing pusara bagian utara. Daunnya lebat dan hijau merindang seakan bungkuk menggapai tanah. Enju ingat kalau pohon itu hampir seusia dengan dirinya. Enju tiba-tiba berpikir bahwa pohon itu sama dengan dirinya; hidup di bumi sekadar pelengkap bagi lagu sunyi.
Ia bangkit dan berdiri di dekat pohon itu. Betapa daun-daun yang tanggal sama dengan air matanya, selalu setiap hari. Sejak kecil ia hanya hidup dalam asuhan kakek dan neneknya yang sudah tua. Ayahnya beristri lagi. Sejak akil baligh, ia malu untuk curhat dengan teman-temannya ketika dadanya sesak oleh kerinduan kepada almarhumah ibu. Itulah sebabnya ia lebih suka berbagi dengan pohon Angsana yang tumbuh tepat di atas pusara ibunya pada bagian utara. Ia lebih suka berlama-lama di dekat pusara itu.
Dengan kebiasaan itu akhirnya Enju hanya punya dua keinginan besar. Pertama, ia ingin membangun pagar untuk pusara ibunya. Kedua, ia ingin mengajak Haris datang ke lokasi pusara itu untuk minta restu dari ibu kalau mereka saling mencintai. Siapa tahu dengan restu ibu suatu saat takdir bisa berubah sehingga ayahnya tidak keras lagi dan mau menerima Haris sebagai menantunya. Enju selalu pusing ketika ingat kata-kata ayahnya agar tidak menjalin hubungan dengan Haris. Alasannya sederhana: karena Haris orang miskin.
Azan Maghrib mulai berkumandang. Malam berangsur kelam. HP Enju bergetar di saku roknya. Cepat-cepat ia mengambil HP itu. Haris memanggil. Enju mengangkat dengan senyum. Sebelum melangkah pulang sambil berbincang dengan Haris, Enju tak lupa mengecek pusara ibunya. Enju takut ada benda mistis si tukang sihir yang kerap diletakkan di pusara itu sebagai bahan jampi-jampi.
Pusara Ibu Enju yang tersohor sebagai orang mati disambar petir memang menimbulkan kebahagian tersendiri bagi kalangan penganut ilmu hitam. Sebab, pusara orang yang mati disambar petir bisa dijadikan tempat mengasah kemanjuran alat-alat sihir. Malam hari tak jarang warga melihat sesosok tubuh manusia bertelanjang diri duduk bersila di pusara itu. Kalau siang hari warga sering menemukan benda-benda aneh. Pak Madun pernah menemukan pisau berbalut kafan bertulis lam alif. Bu Rabiya pernah menemukan boneka penuh tusukan jarum. Rahmat pernah menemukan selembar foto dioles darah.
Enju yang remaja sudah mendengar kabar ganjil mengenai benda-benda aneh di pusara ibunya. Ia amat gelisah meski tak pernah menemukan sendiri benda-benda itu. Ia ingin pusara ibunya aman dan tidak mau hanya dijadikan bulan-bulanan oleh para penganut ilmu hitam. Enju bahkan sering menangis bila ingat ibunya di alam sana, khawatir ia terganggu dengan ulah penganut ilmu hitam. Itulah hal mendasar yang membuat Enju ingin membuat pagar permanen di pusara ibunya.
***
Kamis sore jelang Jumat legi. Enju menjinjing keranjang bunga di pusara ibunya.
Ia bersimpuh dan membuka Majmu’ warna hitam. Lalu mengaji. Suaranya terpantul merdu menunggang angin, dilengkapi ritme suara lesapan kembang kemboja yang tanggal bertapak ke tanah. Matahari berpendar jingga di datar jilbab Enju yang dilambai angin.
Usai mengaji, seketika tangisnya pecah. Ia kini benar-benar dihadapkan pada masalah rumit. Ayahnya sakit keras, kata orang-orang ia kena santet, tapi ia tetap ngotot melarang Enju dekat dengan Haris. Sedang Enju tak kuasa mengalihkan perasaannya kepada lelaki lain. Sungguh dadanya renyuh. Belum lagi kabar warga yang tiba di telinga Enju perihal pusara ibunya yang jadi tempat benda-benda sihir. Kini warga malah sering mencibir pusara ibu Enju, bahkan sebagian bersikeras agar mayat Ibu Enju dipindah ke luar desa agar warga terbebas dari sihir. Enju masih ingat perkataan Pak Mujahri pada saat rapat di balai desa.
“Karena pusara itulah santet jadi ramai lagi di desa ini. Itu pusara terkutuk, sebaiknya dipindah saja ke luar desa. Kalau perlu tempatkan di lokasi rahasia yang tak boleh diketahui banyak orang.”
Enju semakin tersedu ketika ingat kalimat yang terlontar dari bibir Pak Muhajir. Air matanya mengucur ke pusara ibunya. Angin mulai pelan, saat tepat matahari karam ke balik barisan pohon siwalan. Azan Maghrib terdengar menggetar kampung. Tapi, Enju masih duduk di dekat pusara ibunya dengan Majmu’ terdekap di dada. Sehelai rambutnya menjuntai di kedua matanya yang bengkak karena tangis dahsyat.
Pelan mata Enju menemukan sebentuk tusuk gigi berbalut kafan tersembunyi di sisi barat pusara yang tanahnya sedikit membongkah. Ia tidak mengambilnya, ia memilih bersembunyi ke balik rimbun dalupang yang mulai lindap. Enju bermaksud hendak mengetahui siapa orang yang meletakkan benda sihir itu. Rasa takutnya sebagai perempuan hilang karena cintanya kepada sang almarhumah ibu. Ia rela duduk menunggu meski alam kian kelam hanya diterangi sesabit bulan.
Dua puluh menit kemudian Enju dengan pandangan yang samar melihat sesosok pemuda bergegas ke arah pusara ibunya. Orang itu melihat sekitar lalu mengambil benda sihir itu dengan cepat. Enju bangkit dan mendekati orang tersebut, sebelum melangkah jauh, Enju memanggilnya.
“Hei! Berhenti! Siapa kau?”
“Lho! Enju! Mengapa kamu ada di sini, Sayang?”
“Mas Haris? Tolong jelaskan apa yang sedang Mas Haris pegang itu?”
Lelaki itu bingung dan seketika suara lelaki lain terdengar dari sebelah utara lengkap dengan lampu senternya.
“Nak Enjuuuu! Nak Enju ada di sini, ya?”
“Iya!”
Lelaki bersenter itu cepat menghampiri Enju. Napasnya tersengal-sengal dan batuk- batuk. Tapi, ia tampak semringah. Terlihat bibirnya menyungging senyum dibias tipis cahaya bulan.
“Bapakmu tiba-tiba sehat, Nak! Dia sekarang kembali normal dengan sangat ajaib. Katanya dia bermimpi kalau penyakitnya hanyalah kekuatan sihir. Dalam mimpi itu dia bertemu dengan almarhumah ibumu. Ibumulah yang memberi tahu kalau penyakitnya berasal dari sihir. Ibumu bisa tahu karena benda-benda sihir itu katanya diletakkan di pusara ibumu. Dalam mimpi itu ibumu juga mengatakan bahwa yang menyihir bapakmu itu anak muda bernama Haris, pemuda itu membeli sihir karena dia teramat benci kepada bapakmu.”
“Apa????” Bulan telah tenggelam. Malam benar-benar kelam. (*)
Dik-kodik, 03.03.15
Manjha’: menanam padi (Madura)
Warits Rovi. Lahir di Sumenep, Madura, 20 Juli 1988. Karya-karyanya dimuat di berbagai media nasional dan lokal. Kini aktif di Komunitas SEMENJAK dan membina penulisan sastra di Sanggar 7 Kejora serta mengajar seni rupa di Sanggar Lukis DOA (Decoration of Al-Huda). Ia juga guru bahasa Indonesia di MTs Al-Huda II Gapura.
Leave a Reply